26.1 C
Jakarta

Mengetengahi Polemik Eksklusivisme Politik di Kemenag

Artikel Trending

Milenial IslamMengetengahi Polemik Eksklusivisme Politik di Kemenag
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang menyebut Kementerian Agama sebagai “hadiah khusus” dari Pemerintah Republik Indonesia untuk Nahdhatul Ulama (NU), menuai polemik. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyayangkan pernyataan Menag tersebut. Sekjen MUI Anwar Abbas—yang juga Muhammadiyah—bahkan mengusulkan pembubaran Kementerian Agama dengan alasan “suka bikin gaduh”.

Sebenarnya, pernyataan Gus Yaqut tidak simplistis begitu. Perdebatan awal adalah tentang tagline Kemenag, yaitu “Ikhlas Beramal” yang menurut Gus Yaqut kurang cocok. Agar jelas, berikut penyataan lengkapnya sebagaimana dilansir Kompas,

Waktu itu kan perdebatannya bergeser ke kementerian ini adalah kementerian semua agama, melindungi semua umat beragama. Ada yang tidak setuju, kementerian ini harus kementerian Agama Islam, karena kementerian agama adalah hadiah negara untuk umat Islam. Saya bilang bukan. Kementerian Agama adalah hadiah negara untuk NU, bukan untuk umat Islam secara umum, spesifik NU. Jadi wajar kalo sekarang NU memanfaatkan banyak peluang di Kemenag untuk NU. Kemudian lahir Kemeterian Agama karena itu. Wajar sekarang kalau kita sekarang minta Dirjen Pesantren kemudian kita banyak mengafirmasi pesantren dan santri juga. Wajar saja. Tidak ada yang salah. Ada lagi yang mempermasalahkan kenapa mengafirmasi Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Saya bilang NU itu banyak dan besar. Banyak umatnya dan besar secara fisik badannya. Orang yang besar itu cenderung selalu melindungi yang lemah, yang kecil, dan itu sifat NU. Kalau sekarang Kemenag menjadi kementerian semua agama, itu bukan menghilangkan NU-nya tapi justru menegaskan ke-NU-annya. NU itu terkenal paling toleran, moderat. Saya kira tidak ada yang salah. Saya kira itu menjadi landasan cara berpikir kami di Kemenag sekarang.

Kalimat bercetak tebal adalah poin penting yang akan didiskusikan di sini. Jika dianalisis, Gus Yaqut tidak sedang berusaha menabrakkan latar belakang dirinya, NU, dengan ormas Islam yang lain seperti Muhammadiyah yang reaktif dalam polemik ini. Pernyataannya lebih merupakan upaya universalisasi ajaran NU ke dalam kerja-kerja Kemenag, yakni mengakuisisi bahwa Kemenag jadi terbuka untuk semua agama itu karena pengamalan ajaran NU.

Dengan dialog imajiner yang lebih gamblang, Gus Yaqut hendak mengatakan, “Kemenag harus inklusif untuk agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha karena Kemenag hadiah untuk NU yang memang mengajarkan pandangan keagamaan yang inklusif. Andai tidak begitu, maka Kemenag boleh saja jadi eksklusif untuk umat Islam. Tapi karena Kemenag adalah hadiah untuk NU, ya kita NU jangan membiarkan itu terjadi.

Cukup bagus, bukan? Sampai di sini, Gus Yaqut memang benar. Namun, dengan statemen tersebut, Gus Yaqut sudah membuat Kemenag terjerat eksklusivisme politik.

Eksklusivisme sebagai Bias

Ada pembedaan yang cukup serius, dalam imajinasi Menag Yaqut, antara “NU” dan “umat Islam” (lihat frasa bergaris pada kutipan langsung di atas). NU dia pandang sebagai satu-satunya komunitas yang bisa menerima agama lain, yakni bersikap inklusif, sementara umat Islam secara umum dia pandang sebagai kalangan tertutup—sehingga berpotensi mengambilalih Kemenag. Eksklusivisme semacam ini, harus diakui, tidak baik untuk Kemenag sebagai lembaga pemerintahan.

Beda dengan mengatakan, “GP Ansor milik NU,” maka tidak akan ada yang protes karena ia bukan lembaga pemerintah. Tampaknya bias tersebut yang belum terlepas dari Menag, sehingga meminjam bahasa salah satu teman dari Muhammadiyah, “dia Menag rasa Ansor.” Eksklusivisme sebagai bias latar belakang bisa disebabkan banyak faktor, tidak bisa digeneralisasi sebagai upaya memecah-belah umat. Gus Yaqut pasti tidak bermasud begitu.

BACA JUGA  Cara Berislam dengan Damai

Kalimat wajar kalo sekarang NU memanfaatkan banyak peluang di Kemenag (lihat teks bergaris di atas) memang memperkeruh suasana, seolah membocorkan bahwa Kemenag adalah tempat orang NU cari hidup. Bahkan sekalipun program-program Kemenag sarat ke-NU-an, dan semua orang melihat kecondongan yang demikian, kalimat tersebut selaiknya tidak keluar demi menjaga stabilitas lembaga. Pendeknya, biar menjadi rahasia Nahdliyyin.

Ada dua hal yang menjadi dampak kurang baik dari eksklusivisme politik di Kemenag ini. Pertama, memantik kegaduhan karena kecemburuan politik. Respons reaktif Anwar Abbas dari Muhammadiyah bahwa Kemenag harus dibubarkan adalah respons yang berlebihan. Namun demikian, kekesalan Abbas mungkin dapat dimaklumi karena ia memandang Kemenag tengah dieksklusifkan untuk NU. Apalagi, Muhammadiyah tidak ada di pucuk kursi kabinet.

Kedua, menstigmatisasi NU sebagai ormas yang tidak konsisten. Ini karena satu alasan yang sederhana: NU mengklaim moderat tapi ternyata juga bermain secara eksklusif. Apalagi, ini kursi Kemenag, bukan kursi Ansor. Pihak PBNU melalui Helmi Faishal telah meluruskan statemen Yaqut, itu tidak lain karena PBNU menyadari, NU dirugikan dalam polemik ini. Eksklusivisme politik Menag mewujud sikap moderat kepada non-Muslim tapi justru tidak untuk sesama Muslim.

NU Itu Moderat!

Salah satu tanda moderat adalah inklusif. NU melalui Kemenag, seperti diakui Gus Yaqut, yang telah sudi menjadikan Kemenag sebagai payung bagi seluruh umat beragama di Indonesia, harus diapresiasi karena memperlihatkan inklusivisme. Tapi itu inklusivisme di bidang keagamaan. Padahal, inklusivisme politik juga mesti diperhatikan. Moderat di ranah keagamaan dan politik akan meniscayakan satu hal: kebijaksanaan sikap.

Artinya, NU tidak hanya perlu moderat kepada saudara non-Muslim, melainkan juga kepada sesama Muslim. Dalam konteks Kemenag, prioritasnya adalah gotong-royong antarkalangan, antarormas, dan tidak terjebak pada narasi tribalisme, baik NU-sentris maupun Muhammadiyah-sentris. Hubungan kepada orang luar harus inklusif, begitu juga sesama orang dalam. Jika tidak, eksklusivisme politik akan mengaburkan makna moderat itu sendiri.

Eksklusivisme politik, dengan demikian, merupakan sinyal buruk bagi kerukunan. Muhammadiyah dan NU adalah sayap keberagamaan untuk RI. NU tidak bisa mengklaim moderat dari cermin egoisme. Bahkan jika pun orang NU banyak cari peluang di Kemenag, Kemenag tetap bukan punya NU. Secara historis memang benar bahwa Kemenag dijatahkan untuk NU, tetapi kemoderatan NU seharusnya mencegah arus dikotomis demi sesuatu yang lebih besar: kerukunan.

Akhir, statemen Menag Yaqut adalah pernyataan yang benar. Hanya saja, ia salah konteks, harusnya itu tidak bocor ke publik dan biarkan menjadi rahasia orang NU. Di publik, apa yang Gus Yaqut sebut “umat Islam secara umum” tidak selalu orang radikal, non-moderat, dan eksklusif.  Moderat dalam keberagamaan selaiknya mewariskan sikap moderat dalam berpolitik. Eksklusivisme politik, selain berbahaya bagi kerukunan, juga akan jadi tontonan kaum sebelah.

Jangan sampai begini: orang-orang moderat bertengkar sesama kalangan moderatnya, sementara para kaum islamis menonton sambil berujar, “sekarang kami semakin mantab untuk ikut ustaz A dan ustaz B yang tidak terafiliasi ormas, karena orang ormas terjebak fanatisme dan saling bertengkar”.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru