31.9 C
Jakarta

Meneroka Masa Depan Beragama Kita

Artikel Trending

KhazanahMeneroka Masa Depan Beragama Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Agama merupakan suatu cara manusia menemukan makna hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya. Tapi, hidup kita dan lingkungan abad modern ini, untuk kebanyakan orang, termasuk para pemeluk agama sendiri, semakin sulit diterangkan maknanya.

Kesulitan itu terutama ditimbulkan oleh masalah-masalah yang muncul akibat dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, ciri utama abad modern yang secara tak terbendung mengubah bentuk dan jaringan masyarakat serta lembaga-lembaganya. Pada abad modern, nilai berganti dengan cepat, demikian pula cara hidup, dengan akibat timbulnya rasa tidak menentu serta kejutan-kejutan, dan memisahkan manusia semakin jauh dari kepastian moral etis tradisonal mereka. Inilah tantangan yang dihadapi agama-agama.

Melihat berbagai bentuk kehidupan keagamaan dengan yang kita kenal sekarang, barangkali dibenarkan membuat generalisasi, bahwa semua agama mengajarkan tanggung jawab. Agama Islam, misalnya, mengajarkan dengan sangat kuat tanggung jawab pribadi di hadapan Pengadilan Tuhan di Hari Kemudian.

Selanjutnya, tanggung jawab pribadi itu membawa akibat adanya tanggung jawab sosial, karena setiap perbuatan pribadi yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan adalah sekaligus, dan tidak bisa tidak, perbuatan yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan sesama manusia. Dengan menggunakan istilah keagamaan Islam yang lebih khusus, iman yang pribadi itu membawa akibat adanya amal saleh yang memasyarakat.

Sebab, kebenaran bukanlah semata-mata persoalan kognitif. Kebenaran harus diwujudkan dalam tindakan. Dari sinilah, implikasi keagamaan yang harus diperankan oleh agama dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan mereka pada abad modern ini.

Tidak seorang pun dibenarkan memutlakkan diri akan suatu kebenaran (truth claim), mengkafirkan agama lain (takfiri). Sebagaimana dianut oleh para “pengantin” pelaku bom bunuh diri di Polrestabes Medan, Sumatera Utara (13/11/2019).

Dan peristiwa penghentian paksa upacara doa umat Hindu di Bantul (14/11/2019) juga menjadi potret buruk beragama kita hari ini. Seolah-olah kebenaran hanya miliknya. Padahal hal ini akan berakhir dengan tindakan menyaingi Tuhan.

Sebaliknya masalah-masalah antar manusia harus diselesaikan bersama, melalui proses take and give, mendengar dan mengemukakan pendapat yaitu proses musyawarah.  Konsultasi dan bukan pendiktean, adalah yang secara orisinal diajarkan oleh agama-agama, disebabkan oleh adanya prinsip ketuhanan yang ada pada agama-agama itu.

BACA JUGA  Manifesto Perbedaan Hari Raya Idulfitri, Masih Perlukah Penetapan?

Dalam perkembanganya, meskipun manusia tidak mungkin mengetahui hakikat Tuhan, manusia diperintahkan dan bisa menindakkan untuk bergiat memahami alam, semata yang mungkin. Justru adanya kemampuan berilmu itu yang menjadi dasar penunjukkan manusia menjadi wali pengganti Tuhan di Bumi.

Dalam eskatologi Islam, misalnya mengajarkan bahwa masa depan manusia terbuka, sampai akhirnya manusia bisa mengetahui “tanda-tanda” Tuhan di seluruh cakrawala (makrokosmos) dan dalam diri manusia sendiri (mikrokosmos), yang pengetahuan akan tanda-tanda itu kan mengantar manusia ke pengakuan tulus akan kebenaran Tuhan.

Masa depan beragama kita tentu masih terbuka, lalu apa yang hendak diajukan? Jika agama benar-benar merupakan sesuatu yang vital, tidak hanya bagi perseorangan tapi juga untuk masyarakat, mengutip pendapat Nurcholish Madjid—ia  merupakan suatu way of life yang dapat dirasakan secara mendalam oleh pribadi maupun masyarakat.

Dan sebagaimana sekarang ini pun telah ada masyarakat-masyarakat agama atau jamaah-jamaah, maka demikian pula, agama pada masa mendatang memerlukan organisasi sendiri sabagai rangkanya. Dan akhirnya inilah yang sering hilang pada masa lalu akibat pertentangan antara dasar-dasar religius dan ilmiah.

Masyarakat agama dan kehidupan individual orang-orang agama harus mempunyai suatu hubungan organis dengan masyarakat secara keseluruhan dalam hal yang berkenaan dengan pikiran, moral dan perasaan. Hal itu berarti bahwa keagamaan harus relevan dengan kehidupan nyata, bahwa dunia ini sebenarnya senantiasa berkembang, dalam setiap perkembangan tentu berarti terdapat perubahan.

Agama harus mampu menampung perubahan masyarakat (social change). Maka penting untuk dicatat bahwa agama diciptakan untuk manusia dan kemaslahatannya. Idealnya beragama itu menciptakan kedamaian bukan kekerasan. Peringatan Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada tanggal 16 November 2019 adalah momentum yang baik untuk menanamkan pada diri kita masing-masing bahwa beragama berarti juga kesediaan untuk hidup, bergaul, dan bekerja sama membangun bangsa ini menjadi lebik baik dan semakin toleran.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru