27.2 C
Jakarta

Menemukan Makna Perdamaian Bangsa dalam Agama dan Cinta

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenemukan Makna Perdamaian Bangsa dalam Agama dan Cinta
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Memaknai Agama Sebagai Sebuah “Perdamaian”, Penulis: Bima Satria Hutama, dkk, ISBN: 978-623-309-327-9, Tahun terbit: Januari 2021, Penerbit: Guepedia, Peresensi: Muhammad Nur Faizi

Harakatuna.com – Agamawan selalu berpesan kepada ribuan jamaah agar menggunnakan rasa cinta dalam setiap laku ibadahnya. Memang, agama dan cinta bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan (hal. 12). Agama tanpa cinta akan dipenuhi kekerasan, begitu pula cinta tanpa adanya agama akan menjadi buta. Keduanya menyatu, tidak bisa terpisahkan. Dan saling menguatkan untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam.

Berbicara agama dan cinta, maka akan relevan dengan konsep “kemanusiaan”. Dalam buku Moral Man in Immoral Society, Reinhold Nie-buhr menyatakan jika agama harus sejalan dengan konsep kemanusiaan. Agama harus menjadi jembatan bagi tegaknya keadilan dan kemaslahatan umat manusia. Tanpa adanya kontribusi bagi kemanusiaan, agama patut diremehkan. Sehingga agama yang tidak sejalan dengan konsep kemanusiaan bisa ditinggalkan.

Namun sering kali pemasalahan agama dan cinta dikaburkan oleh pemeluknya. Umumnya mereka tidak menyadari akan tidakan yang diperbuatnya (hal. 24). Mereka terbuai oleh rasa cinta buta hingga melalaikan aspek kritis pada ideologi sempalan. Asalkan pemikiran itu sesuai pemikiran dan dianggap benar oleh pemahaman, maka tunduklah mereka pada ideologi sempalan itu.

Padahal apa yang mereka amini tidak pernah diterapkan oleh ajaran agama yang bersangkutan. Lantas, mengapa mereka bisa terperosok oleh jurang penyimpangan? Jawabanya, mereka tidak menggunakan ketulusan saat mengungkapkan cinta.

Biasanya mereka mengungkapkan kecintaan setelah terlebih dahulu adanya jaminan ekonomi, politik, kepentingan sosial, dan hal sejenisnya. Sehingga cinta yang dihasilkan didorong oleh nafsu ambisi yang menyebabkan kaburnya tujuan mulia yang dilakukan.

Dalam masa pandemi, pendalaman konsep cinta akan mengubah segala hal menjadi lebih baik. Seseorang tidak melihat ras, suku, agama, ataupun jenis lain dalam memberikan bantuan, melainkan karena satu alasan, yaitu rasa kemanusiaan.

Bersemainya rasa cinta akan mengikat toleransi didalamnya. Tidak perlu melihat kepentingan apa yang ada pada hubungan sosialnya, cukup melihat sisi kemanusiaan saja, cukuplah itu yang menyatukan rasa. Cukuplah itu sebagai jembatan penghubung antar keduanya.
Mungkin dalam masa pandemi ini, masalah provokasi, adu domba, dan sentimen antar golongan mencuat tinggi ke permukaan.

Permasalahan tersebut terus menerus menggerus durasi penyelesaian masalah dari pandemi itu sendiri. Kepentingan adalah tokoh paling besar yang duduk di belakang dari permasalahan tersebut. Sehingga semua orang hanya mementingkan ego untuk memenangkan pendapat, bukan mencari solusi yang paling tepat. Menaikkan egoitas diri demi dianggap menjadi yang lebih baik, dan segala macam ketinggian hati untuk menaikkan status pribadi.

BACA JUGA  Menelaah Isu Khilafah dari Kacamata Sosial-Politik Indonesia

Padahal jika dirinci lebih jauh, problem dari semua permasalahan tersebut adalah hilangnya rasa cinta sejati. Bagaimana mereka tidak bisa saling memahami, tidak bisa menggabungkan pendapat, sehingga berakhir pada saling menjatuhkan untuk menunjukkan siapa yang paling benar (hal. 46).

Tindakan tersebut terus menerus berulang, misalnya dalam permasalahan tata cara ibadah, protokol kesehatan, pengadaan vaksin, dan beberapa permasalahan lainnya.

Tindakan tersebut, semakin menjauhkan bangsa Indonesia dari keberhasilan melawan pandemi Covid-19. Jika berkaca dari negara-negara yang sudah mengusir virus corona dari negaranya, kunci perlawanan mereka ada pada nilai kekompakannya. Bagaimana mereka secara serempak menjalankan solusi secara bersamaan.

Tidak peduli solusi tersebut berasal dari pemikirannya atau tidak. Tidak peduli solusi tersebut memberikan keuntungan yang besar atau tidak. Asalkan bisa mengusir Corona dari negaranya, maka sudah cukup untuk menjalankannya secara bersama-sama.

Maka hal paling penting yang harus dijaga dalam masa pandemi ini adalah nilai-nilai toleransi. Sebuah nilai yang dipupuk atas rasa penerimaan dan ketulusan dalam hati. Kemudian diwujudkan dalam tindakan, disertai dengan kesungguhan. Menjadi nilai yang bagus tentunya, apabila dipahami dan dilaksanakan oleh semua elemen negara (hal.60).

Dalam praktiknya, nilai toleransi bisa didukung oleh 2 hal, yaitu agama dan cinta. Agama sebagai doktrin bahwa manusia diciptakan untuk membantu sesama tanpa melihat kepentingan dibelakangnya. Dan rasa cinta yang menunjukkan ketulusan dalam memberikan bantuan.

Kita membutuhkan cinta yang bisa menjadikan spirit persatuan bagi seluruh manusia. Menjadikannya sebagai sosok lembut dan ramah terhadap kaum lemah. Tidak mudah menindas, menegakkan keadilan, dan berperilaku sesuai kaidah kemanusiaan.

Agama dan rasa cinta akan memberikan dorongan lebih pada nilai toleransi. Menjadikannya lebih bertenaga dalam membangun persatuan bangsa. Manusia bisa dikuatkan dengan rasa cinta dan digerakkan oleh doktrin agama, maka toleransi muncul di tengahnya untuk melebur semuanya jadi satu kesatuan gerakan. Tanpa melihat kepentingan, tanpa melihat jabatan, tanpa melihat ras, suku, ataupun agama yang ada, hal paling penting adalah penyelesaian solusi secara cepat (hal.78).

Nilai itulah yang nantinya akan menyatukan manusia dalam satu rasa, yaitu rasa saling mengasihi. Tidak peduli sejauh apapun perbedaan diantara keduanya, asalkan mempunyai prinsip kuat tentang agama dan mempunyai rasa cinta, hubungan keduanya tidak akan pernah goyah.

Prinsip ini harus dipegang, karena keberlangsungan kerukunan beragama bergantung dengan prinsip tersebut. Dan agama tidak lagi dimaknai hanya sekedar formalitas menjalankan ibadah; sholat, zakat, puasa, haji. Akan tetapi, agama juga dimaknai dengan rasa kemanusiaan, toleransi, dan rasa persaudaraan yang kuat.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru