29.2 C
Jakarta

Menaruh Kebanggaan pada Islam Indonesia

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenaruh Kebanggaan pada Islam Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Islam Rahmatan Lil ‘Alamin: Berasal dari Arab, tapi Islam Bukan Arab, Penulis: Gus Muwafiq, Penerbit: Al Barokah, Cetakan: Pertama, 2019, Tebal: xii + 224 halaman, ISBN: 978-602-52406-4-5, Peresensi: Muhammad Muzadi Rizki.

Harakatuna.com – Sudah tidak asing terdengar, para alim ulama menyeru kepada umat untuk menanamkan jiwa nasionalisme dan cinta tanah air. Urgensinya lantaran fenomena belakangan ini, umat berada pada taraf merisaukan.

Banyak dari mereka menampakkan sikap mulai pudar atas khazanah–jiwa nasionalisme. Rujukan kebudayaan yang dianut bergeser merujuk ke dunia luar. Masyarakat modern melirik mode kebaratan. Sedangkan masyarakat beragama (Islam) mengikuti mode kearaban.

Gus Muwafiq adalah salah satu ulama yang sangat vokal menggaungkan pemahaman bahwa jati diri, identitas bangsa kita harus selalu dijaga dan dirawat. Mantan asisten pribadi Gus Dur itu selalu memberi motivasi kebangsaan bahwa, kebudayaan Nusantara yang sudah mengkristal sejatinya tidak kalah dengan kebudayaan eksternal. Bahkan, dalam segmen-segmen tertentu, kebudayaan kita justru jauh lebih mulia, adiluhung dan bermartabat.

Misalnya, saat melewati orang lebih tua, kita berucap “nuwun sewu atau punten” sambil membungkukkan badan. Kemudian kalau di Arab, sekalipun itu perbuatan melangkahi kepala orang saat sujud, hal tersebut dinilai suatu kelaziman.

Sangat berbeda jika di Indonesia. Disini, saat menjumpai orang sedang sholat apalagi dalam keadaan sujud, pasti akan memutar jauh lewat dibelakangnya. Berjalannya pun dilakukan penuh dengan ketenangan, kehati-hatian dan tidak memunculkan kebisingan. Moral-etis seperti ini tidak bakal ditemukan di negara manapun.

Kedistingsian bangsa ini tidak lepas dari serapan budaya dan kearifan lokal yang telah mengakar kuat sejak dulu menjadi jalan hidup. Ketika Indonesia terbentuk menjadi negara secara de jure, spektrum valuenya memancar ke belahan dunia. Banyak yang kemudian takjub. Salah satunya datang dari ahli ilmu Metalurgi Jerman. Ia kagum karena di Indonesia memiliki alat musik gamelan (alat musik terbuat dari logam)–instrumen dakwah Walisongo–.

Sang ilmuwan tertegun bagaimana Indonesia melangsungkan proses pembuatan logam menjadi gamelan. Pasalnya, di zaman prakolonial, peralatan masih sangat terbatas dan belum secanggih seperti sekarang. Juga sekaliber negara-negara besar, seperti Eropa baru memiliki gitar (terbuat dari kayu dan tali) dan Arab mempunyai rebana (alat terbuat dari kayu dan kulit).

Bila melihat Indonesia telah mampu membuat gamelan yang memiliki tingkat kesukaran lebih tinggi dibanding gitar dan rebana. Ini artinya, sebenarnya kita telah selangkah lebih maju dibanding bangsa lain. Sebab hanya bangsa dengan kompetensi ilmu pertambangan dan ilmu metalurgi yang dapat memproduksi alat musik dari logam. Dan itulah Indonesia (hlm. 96).

Lebih lanjut, Indonesia juga dikagumi sebagai negara yang berhasil mengelola keberagaman (managing diversity). Suatu prestasi yang tidak didapatkan negara-negara lain. Di Arab asalnya terdiri satu bangsa tapi kemudian pecah kongsi menjadi puluhan negara.

BACA JUGA  Menelaah Isu Khilafah dari Kacamata Sosial-Politik Indonesia

Begitu juga dengan Eropa, merupakan satu bangsa akhirnya berujung memikul puluhan negara. Sementara, Indonesia, berasal puluhan bangsa, suku tapi mampu berkomitmen menjadi satu negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (hlm 73).

Prestasi prestisius di atas, tidak bisa lepas karena eksistensi Islam yang mayoritas diarahkan secara intuitif, arif, dan inklusif. Sejak dulu, para ulama (Walisongo) secara hati-hati mendidik umat untuk tidak memiliki laku keberislaman pada ego dan sikap tirani mayoritasme. Sehingga terciptalah hubungan saling menghormati, nirkekerasan dan menjaga perdamaian. Segala ragam warisan budaya bangsa pun tidak dipertentangkan dan terjalin sangat akomodatif.

Islam Indonesia kesemuanya, hakikatnya, mengadopsi paradigma Rasulullah Saw. Dalam bernegara, Rasulullah mengusung konsep baladil amiin dengan ejawantah Piagam Madinah. Di Indonesia pun demikian.

Konsep baladil amiin (suatu kondisi bangsa-negara berbentuk keamanan dan ketentraman), dengan dasar negaranya Pancasila. Kedua platform –Piagam Madinah dan Pancasila– sama-sama lahir sebagai payung hukum kebebasan beragama, demokratis, keadilan dan menjunjung semangat toleransi.

Dalam interaksi antar umat, Indonesia juga merujuk sebuah konsep Nabi. Yakni, kullukum ra’in wakullukum mas’ulun an raiyyatihi (setiap dari kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya). Kata raiyyah diserap bahasa Indonesia menjadi ‘rakyat’. Dari lahirnya ‘rakyat’ inilah, semua entitas berubah menjadi sama dan berkedudukan setara. Mereka terbebas dari belenggu sekat-sekat sistem kasta (raja-hamba, abdi, bendoro).

Tidak berhenti disitu, konsep ‘rakyat’ itu berkembang menghasilkan tatanan saling kumpul dan kebersamaan (musyarakah). Musyarakah diserap lagi ke bahasa Indonesia menjadi ‘masyarakat’. Adapun nama forum diskusi dari raiyyah didalamnya yaitu ‘musyawarah’. Dari rentetan itu kemudian memunculkan lembaga legislatif tertinggi bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dengan demikian sangat clear, bahwa sejarah bangsa ini dibangun atas struktur Islam yang kuat. Semuanya mengadopsi dari konsep ajaran Nabi Saw. Jadi sangat keliru ketika ada yang melabeli Indonesia sebagai negara thogut atau kafir. Bisa dipastikan, mereka yang menggembor-gemborkan akan hal itu adalah entitas ahistoris (hlm 160).

Dari paparan di atas, masihkah belum meyakini dan berbangga akan kehebatan Islam Indonesia? Apakah ingin merusak keindahan pluralitas yang berwarna nan damai dengan memaksakan ideologi–kebudayaan transnasional?. Buku berjudul Islam Rahmatan Lil ‘Alamin: Berasal dari Arab, tapi Islam Bukan Arab karya Gus Muwafiq ini, sangat cocok jadi pijakan suplemen penggugah kecintaan dan rasa kebanggaan pada NKRI.

Membaca buku ini dapat merenung-insyafi bagi diri pribadi yang masih suka menyepelekan dan menganggap remeh keanekaragaman budaya bangsa. Laku demikian sangatlah tidak etis dimiliki oleh seorang warga negara. Karena itu, mari, sebagai generasi penerus, kita rawat dan jaga marwah peradaban bangsa untuk terus eksis hingga lintas generasi. Dan hingga menjadi referensi bagi peradaban dunia.

Muhammad Muzadi Rizki
Muhammad Muzadi Rizki
Senang berliterasi, membahas persoalan moderasi, keberagaman, dan kebangsaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru