27.2 C
Jakarta

Memberantas Ekstremisme Melalui Tiga Jurus Wasathiyah

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMemberantas Ekstremisme Melalui Tiga Jurus Wasathiyah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Citra Al Washliyah: Histori, Moderasi dan Jihad Untuk NKRI, Penulis: Dr. Ja’far M.A, ISBN: 978-623-98804-1-5, Tahun Terbit: Januari 2022, Penerbit: Centre For Al Washiliyah Studies (Pusat Kajian Al Washiliyah), Judul Resensi: Memberantas Ekstremisme Melalui Tiga Jurus Wasathiyah, Peresensi: Muhammad Nur Faizi.

Harakatuna.com – Perkembangan kontemporer masyarakat Indonesia, mengantarkan Islam sebagai agama mayoritas. Islam di masa kontemporer menurut As’ad Said Ali terafiliasi ke berbagai gerakan, baik varian ideologi, pandangan, maupun orientasi politik (hal. 55). Maka apabila dilihat dari kacamata besar, Islam di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua gerakan, yaitu Islam mainstream dan Islam non-mainstream.

Islam mainstream dapat dipahami sebagai gerakan Islam yang mengedepankan prinsip moderat. Sedangkan Islam non-mainstream adalah kebalikan dari Islam mainstream, dan biasanya dijadikan gerakan basis bagi kelompok terorisme. Moderat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat dipahami sebagai menghindari perilaku yang ekstrem dan fokus ke arah jalan tengah. Sedangkan ekstrem dapat diartikan sebagai tindakan paling keras dalam mengatasi permasalahan.

Di sini sikap moderat dipandang sebagai gerakan yang tepat untuk menghadapi segala bentuk problematika keumatan di Indonesia. Hal ini dikarenakan posisi moderat yang berada di tengah-tengah (al-wasath), tidak terlalu ke kanan (ifrath) ataupun lebih condong ke kiri (tafrith).

Dikuatkan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Muktamar ke-22 Jam’iyatul Washilah yang memuji spirit dakwah Al Washilah yang mengutamakan persatuan dan memperkuat persaudaraan di tengah-tengah perbedaan serta mengembangkan budaya moderasi dalam kehidupan (hal. 58). Gerakan-gerakan dakwah yang demikian dianggap paling relevan untuk mengatasi masalah kebangsaan di zaman ini.

Waspada Ekstremisme

Meski Islam merupakan agama yang mengajak semua manusia menuju jalan yang lebih cemerlang dengan mengutamakan perdamaian dan persaudaraan, namun ada saja yang memanfaatkan Islam sebagai kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan, jabatan, ataupun kekayaan (hal. 34). Di sini sikap moderat tidak lagi diperhatikan sebagai bagian yang suci. Akan tetapi, ambisi-ambisi untuk menaikkan derajat pribadi menjadi lebih penting, dan hal tersebut bisa lebih mudah dicapai dengan agama.

Sifat ekstrem yang diperlihatkan oleh kelompok radikal mengacu pada ambisi pribadi. Sehingga sering kali aspek terpenting dari agama tidak tersampaikan oleh umat. Perspektif umat digiring ke tempat yang cenderung kompetitif. Antar kelompok harus saling menjatuhkan untuk menunjukkan eksistensi kelompok yang lebih tinggi pada masyarakat (hal. 31). Akibatnya, agama menjadi terpecah belah dan dipenuhi dengan pertengkaran-pertengkaran yang seharusnya tidak penting dilakukan.

Sifat ekstrem ini tidak hanya membahayakan bagi keagamaan saja, dalam level yang serius ekstremisme dapat menggeser ideologi yang sudah ada. Tujuannya tidak lain adalah untuk melakukan politisasi pada sejumlah kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Masa kontemporer gerakan ini semakin mencuat dan memiliki perkembangan yang pesat di lingkup masyarakat. Kita bisa melihat bagaimana tersisihnya sedikit demi sedikit budaya nusantara dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran agama.

BACA JUGA  Menelaah Isu Khilafah dari Kacamata Sosial-Politik Indonesia

Padahal apabila ditengok ke akar histori terbentuknya nusantara, budaya lokal justru menjadi pembentuk dari Islam itu sendiri. Sifat dari budaya lokal yang mengandung kebajikan dijadikan oleh ulama zaman dahulu (baca: Walisongo) untuk menguatkan keyakinan masyarakat akan keberadaan agama itu sendiri (hal. 38).

Misalnya jimat diubah oleh Walisongo menjadi bacaan-bacaan dzikir yang harus terus diamalkan. Disini Walisongo tidak mengubah substansi dari jimat itu sendiri, di mana jimat menjadi barang yang diyakini memberikan kebajikan pada diri seseornag. Akan tetapi, Walisongo merubah tata amalan, yang semula ditujukan pada barang menjadi ke arah Tuhan.

Sudah barang tentu apabila muncul sekelompok orang untuk membenci budaya lokal, dapat dicurigai bahwa dirinya mempunyai agenda bawaan untuk kepentingan kelompoknya. Kelompok tersebut cenderung kaku dan tidak bisa menempatkan diri di tengah kehidupan masyarakat yang plural. Maka Islam seperti itu cenderung bersikap sempit terhadap suatu permasalahan, sehingga acap kali menimbulkan permasalahan.

Tiga Jurus Moderasi

Di sinilah sikap moderasi menjadi penting dilakukan untuk menggiring umat manusia menjadi sosok yang mampu menempatkan diri. Walaupun dirinya merasa tidak nyaman, namun bisa beradaptasi dan membawa ide-ide kreatif. Karena begitulah cara Nabi Muhammad saw menyebarkan agama Islam; dimulai dari agama yang asing, yang terus diadaptasikan pada permasalahan masyarakat, dan bisa diterima oleh banyak manusia.

Maka dalam konsep moderasi nusantara, dapat dilakukan tiga agenda berikut (hal 65). Pertama, relasi agama dan budaya lokal. Bagaimana agama menjadi tonggak berdirinya budaya yang ada. Kemudian bagaimana agama mampu memposisikan diri pada nilai kebudayaan yang ada. Semua itu menjadi penting karena agama harus mampu beradaptasi pada setiap problematika yang ada pada umat, termasuk pada aspek budayanya.

Kedua, relasi antara agama dan negara. Beberapa kelompok menganggap bentuk negara yang saat ini tidak sesuai dengan agama. Ideologi Pancasila dianggap sebagai pelanggaran karena ada beberapa nilai yang dianggap bertentangan dengan syariat. Maka persoalan seperti inilah yang harus diluruskan menggunakan sikap moderasi. Menempatkan agama di tengah-tengah (al-wasath), tidak terlalu ke kanan (ifrath) ataupun lebih condong ke kiri (tafrith), sehingga dapat melihat permasalahan sosial lebih kompleks.

Ketiga, hubungan antar agama. Hal ini menjadi penting karena beberapa kelompok saling menunjukkan kelebihan dengan menjatuhkan kelompok lainnya. Menjadi sangat buruk untuk menjalin kerukunan beragama. Satu hal yang harus dipahami bahwa antar kelompok bertugas untuk saling menyempurnakan bukan untuk saling memusnahkan. Maka prinsip moderasi harus diterapkan agar setiap kelompok mampu mellihat keaslian tujuan agama.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru