27.2 C
Jakarta

Memberantas Bola Liar Narasi Radikal KM50

Artikel Trending

Milenial IslamMemberantas Bola Liar Narasi Radikal KM50
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakir, menilai ada kesamaan skenario kasus Brigadir J dan KM50. Walaupun kasus KM50 telah menyeret dua anggota Polri dengan hukuman dan vonis bebas, namun kasus tersebut dianggap masih janggal. Sebagian orang melihat, ada kesamaan pola di situ, yang menewaskan enam laskar FPI. “Kesalahannya apa sampai harus membututi orang seperti itu? Kan pertanyaan ini sampai sekarang tidak terjawab,” ujarnya, dilansir dari Republika.

Selain itu, Ketua Bidang Advokasi DPP Front Persaudaraan Islam (FPI) Aziz Yanuar mengatakan, timsus kepolisian yang sedang mengawal kasus Brigadir J harus juga melihat beberapa kasus janggal lain yang sempat ditangani Ferdy Sambo. KM50 misalnya, yang Yanuar yakini sebagai extrajudicial killing, yakni pelanggaran HAM berat. Karena itu seharusnya dilakukan dalam kerangka UU 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Penyelidiknya harus tim ad hoc yang melibatkan unsur masyarakat.

Yanuar menilai, sangat aneh bila ada pihak yang terus menerus menutup kasus KM50 hanya karena sudah ada putusan pengadilan. Apalagi Komnas HAM juga bisa kembali membentuk tim ad hoc kasus Munir yang juga sudah ada putusan pengadilan. “Dan akan semakin aneh bila Komnas HAM juga menolak menyelidiki kasus KM50, tapi berani membentuk tim penyelidik ad hoc untuk kasus Munir,” tegasnya.

Sebelumnya, kasus KM50 menyeret dua anggota Polri yang diduga menembak mati enam anggota FPI. Kasus ini diperiksa Kadiv Propam yang saat itu dijabat Ferdy Sambo. Namun dalam pemeriksaan dan putusan pengadilan, kedua terdakwa tersebut, yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin, divonis bebas karena dianggap membela diri saat terjadi tembak menembak. Bola liar narasi radikal KM50 bermain di sini: tembak-tembak menembak hanya skenario polisi.

Lalu bagaimana cara memberantasnya? Atau dibiarkan saja dan akan hilang sendiri dari muka publik? Sebenarnya terserah. Tetapi yang jelas, selama kasus KM50 tidak tuntas, atau masih ada pihak yang merasa putusan atas kasus tersebut janggal, ia akan jadi bola liar yang siap menggelinding ke publik kapan saja. Ia akan jadi hantu setiap waktu, akan terus memprovokasi publik menuju radikalisme dan ketidakpercayaan terhadap aparat dan negara.

Dendam FPI

FPI tidak akan pernah melupakan siapa yang telah membunuh laskar mereka, terlepas dari apakah laskar tersebut berada di pihak yang benar atau salah, terlepas dari apakah apakah keenam laskar tersebut layak ditembak mati atau tidak. Bagi mereka, para laskar adalah para pejuang. Sebab, selama ini, FPI memang mempersonifikasi diri sebagai penegak kebenaran dan pencegah kemungkaran. Aparat yang membunuh enam laskar akan jadi musuh FPI selama-lamanya.

BACA JUGA  Polarisasi dan Disintegrasi: Residu Pemilu yang Harus Diantisipasi

Sayangnya, FPI hari ini tidak lagi punya kekuatan. Yang mereka bisa lakukan ialah bersuara sekeras mungkin di media sosial, dan menempuh apa pun untuk membayar dendam mereka kepada eksekutor enam laskar FPI. KM50, bagi mereka, tidak semata-mata untuk mengungkap kebenaran peristiwa penembakan laskar, melainkan juga membayar pelakunya dengan kekejaman yang sama. Andai hukum rimba yang inkonstitusional itu boleh, FPI jelas akan menempuhnya.

Itulah mengapa narasi radikal KM50 jadi bola liar hingga hari ini. Narasi tersebut adalah akibat, atau musabab, sementara sebabnya adalah penembakan laskar di satu sisi dan anggapan kezaliman aparat-pemerintah di sisi lainnya. Karenanya, untuk memberantas radikalisme yang menyelimuti narasi KM50, ada dua cara yang paling efektif.

Pertama, mengatasi penyebabnya. Ini jelas tidak mungkin ditempuh karena peristiwanya sudah terjadi dan enam laskar yang tewas kadur jadi pemantik dendam FPI untuk aparat. Dalam konteks ini, narasi radikal KM50 merupakan konsekuensi logis yang tidak menemukan penyelesaiannya. Kedua, mengadili penyebabnya. Cara ini masih bisa ditempuh selama kepolisian benar-benar beriktikad untuk memperbaiki citra mereka di seluruh masyarakat, terutama masyarakat FPI itu sendiri.

Namun cara kedua ini juga tidak mudah. Demikian karena mengadili aktor yang terlibat dalam peristiwa KM50 artinya mengonstruksi kembali perkara tersebut. Pada saat yang sama, FPI punya rekam jejak sebagai organisasi yang memang suka menggonggong. Artinya, sekalipun satu masalah ini selesai, dan KM50 sudah tuntas kasusnya, FPI akan menggonggong dengan narasi radikal lainnya. Cara terakhir untuk memberantas bola liar narasi radikal KM50 tersebut ialah mengambil ketegasan aparat.

Sikap Tegas

Tegas yang dimaksud di sini ialah bertindak seobjektif mungkin dengan tujuan mencari kebenaran dan menegakkan keadilan. Ketegasan di sini menyasar kedua pihak, yaitu aparat kepolisian dan FPI itu sendiri. Tegas artinya menerima seluruh konsekuensi yang mungkin akan terjadi, seberat apa pun. Sigap tegas tersebut akan membuka mata seluruh masyarakat untuk melihat siapa yang benar dan siapa yang sengaja mamainkan narasi radikal di Indonesia.

Sikap tegas ini ditempuh oleh aparat. Bagaimana caranya? Membuka kembali kasus KM50, menyelidikinya secara akurat dan transparan, mengumumkan kebenarannya ke ruang publik tanpa ada yang ditutup-tutupi. Setelah itu, jika narasi radikal KM50 masih menggeliat di media sosial, maka penebar provokasi tersebut harus ditangkap dan diberikan hukuman seberat-beratnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru