27.5 C
Jakarta

Mahasiswa Hati-Hati! Media Sosial Rawan Jadi Penyebaran Radikalisme

Artikel Trending

AkhbarNasionalMahasiswa Hati-Hati! Media Sosial Rawan Jadi Penyebaran Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Jakarta: Direktur Pencegahan Densus 88 Antiteror Polri, Brigjen Tubagus Ami Prindani, menyebut banyak cara penyebaran paham radikal dan terorisme, mulai dari kajian agama, hubungan keluarga, bahkan media sosial. Penyebaran radikalisme di media sosial memiliki kerawanan lebih besar ketimbang media konservatif lainnya karena bersifat terbuka dan nyaris tanpa saring.

Laporan We Are Social menunjukkan, pada Januari 2023 jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 167 juta orang. Dari sisi usia, pengguna aktif media sosial didominasi generasi milenial dan generasi z, termasuk kelompok mahasiswa.

Tubagus mengatakan kebiasaan tanpa menyaring bisa membuat penyebaran paham radikal cepat meluas. Masyarakat, terutama mahasiswa harus waspada dan berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan berita yang tidak bisa dipastikan tingkat kebenarannya.

“Sempat ditemukan kasus fenomena mahasiswi terlibat dalam terorisme di salah satu perguruan tinggi swasta di Indonesia. Kasus itu sangat kompleks pasalnya pelaku tidak pernah bertemu dengan kelompok radikal, tetapi terdoktrin paham radikal melalui media sosialnya,” beber Tubagus dalam Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB), Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dikutip dari laman unesa.ac.id, Senin, 28 Agustus 2023.

Dia mengingatkan radikalisme dan terorisme sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan keutuhan suatu negara. Dia mengungkapkan data yang sangat mencengangkan.

BACA JUGA  BNPT Fokus Lindungi Perempuan, Anak dan Remaja dari Paparan Radikalisme

Sampai 2023, warga negara Indonesia (WNI) telah membakar identitasnya untuk bergabung dengan kelompok radikal di luar negeri. Jumlahnya tak main-main sekitar 500-600 WNI yang menjadi orang tanpa kewarganegaraan (stateless) dan menjadi anggota kelompok radikal.

“Sebenarnya terorisme itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Dia itu punya proses dari paham intoleran yang menumbuhkan sikap radikal. Dari sikap itulah kalau dibiarkan akan membuahkan sebuah aksi teror untuk menyakiti orang agar tujuannya tercapai,” beber dia.

Tubagus mengungkapkan bentuk karakter paham intoleran dan radikal sebanyak 24 dan 10 karakter terorisme. Menurutnya ada satu kategori terorisme yang sangat bahaya, yakni karakter yang sangat mudah mengkafirkan dan mengharamkan orang lain.

“Saking kuatnya bahkan orang tuanya sendiri yang melahirkan, mengurus, dan membesarkan itu dikafirkan,” beber dia.

Dia menyebut jaringan teroris di dunia sekarang tidak pandang bulu bahkan melibatkan wanita dan anak-anak. Keterlibatan kelompok itu dipilih karena lebih mudah berkamuflase dan tidak mencurigakan.

Sehingga sering digunakan oleh beberapa kelompok radikal dalam aksinya. Dia mengatakan di Indonesia telah ditemukan belasan kelompok teror terbesar.

Paham anti-radikalisme menjadi suatu keharusan untuk melindungi masa depan pendidikan dan mewujudkan lingkungan kampus yang aman dan inklusif. Dia mendorong mahasiswa menjadi bagian dari garda depan gerakan anti-radikalisme di kampus dan masyarakat.

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru