28 C
Jakarta

Lebaran, Beranjak dari Lahiriah ke Batiniah

Artikel Trending

KhazanahOpiniLebaran, Beranjak dari Lahiriah ke Batiniah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pandemi Corona berhasil menjelma menjadi ketakutan. Bayang-bayang Ramadan di tengah berseliwerannya virus baru, benar-benar kita jalani, hingga akhirnya akan berganti bulan Syawal. Pertanda Lebaran Hari Raya Idul Fitri hadir sebagai puncak kesabaran berpuasa satu bulan lamanya.

Hari Raya Idul Fitri atau lazim disebut Lebaran, adalah puncak kemenangan umat Islam. Tidak ada hari yang lebih spesial daripada Lebaran. Lebaran mengekspresikan haru dan bahagia yang berkelindan. Dua-duanya menyatu dalam spirit yang tergambar dari beragam pernak-pernik. Mulai dari hidangan yang digelar di meja, atau uang-uang yang diberikan kepada anak-anak kecil.

Ada pula kultur unik Indonesia seperti mudik, dan membeli pakaian serba baru untuk dikenakan saat Lebaran. Istilah ‘kembali ke fitrah’ yang selalu disyiarkan oleh uztaz ketika mengisahkan Hari Raya Idul Fitri, dimaknai beragam oleh masyarakat muslim. Salah satunya ialah memakai pakaian baru. Hal ini menandakan – secara lahiriah, seseorang telah memperbarui dirinya dari segala dosa setelah berhasil meraih kurva tertinggi Ramadan.

Sementara mudik merupakan aktivitas ‘pulang kampung’ untuk bertemu dengan sanak-famili, terutama orang tua. Tujuannya untuk memulangkan rindu, mengurai kebahagiaan dengan orang-orang tercinta, dan yang paling sakral, adalah bermaaf-maafan.

Lebaran Corona

Namun adanya Corona mengakibatkan semua yang tergambar di atas, tidak lagi bisa dilaksanakan. Imbauan pemerintah agar tidak mudik senantiasa digalakkan. Jika nekat, di lokasi tujuan telah disiapkan tempat khusus isolasi yang disediakan oleh pemerintah setempat (daerah atau desa). Akhirnya tidak sedikit umat Islam di perantauan, mengurungkan niatnya untuk mudik.

BACA JUGA  Menjaga Toleransi: Refleksi Keberagaman di Bulan Ramadan

Meski ada yang nekat mudik, suasana lebaran kali ini tentu sangat berbeda. Orang-orang tidak bisa sembarangan berjabat tangan sebagai simbol berdamai (bermaaf-maafan). Atau bersimpuh di hadapan orang tua, untuk sungkem. Akibat lain Corona yang berdampak bagi sektor ekonomi, bisa juga menyebabkan tradisi bagi-bagi uang ke anak-anak di keluarga, ditiadakan. Pakaian serba baru, rasanya tidak lagi diprioritaskan. Yang paling gamblang, adalah kosongnya masjid di tanggal 1 Syawal, karena salat Id dipindahkan ke rumah masing-masing.

Barangkali masih banyak hal berbeda di lebaran tahun ini. Jarak terisolir, interaksi terbatasi protokol kesehatan, memaksa untuk meminimalkan kontak lahiriah. Tidak ada mudik, tidak ada pertemuan, tidak ada salaman. Akhirnya, Lebaran tahun ini menjadi hari penuh haru.

Ketika segala yang lahiriah terbatasi, maka batiniahlah yang dimaksimalkan. Keikhlasan memaafkan tanpa salaman, ketulusan merindu tanpa perjumpaan, dan keyakinan ‘kembali ke fitrah’ tanpa embel-embel serba baru.

Ramadan adalah kawah candradimuka umat Islam memupuk kesabaran, dan Lebaranlah waktu untuk memanennya. Tapi khusus tahun ini, Lebaran lebih tepat menempati posisi tertinggi kesabaran itu. Terlebih bagi siapa pun umat Islam, yang tertahan di kota orang. Betapa tidak ada keinginan apapun bagi mereka selain bersua dengam keluarga. Semoga kita masih diizinkan Allah, bertemu dengan Lebaran lain, dalam euforia kebahagiaan layaknya tahun-tahun sebelumnya.

Indarka Putra
Indarka Putra
Alumni Fakultas Syariah IAIN Surakarta, Ketua Umum Generasi Baru Indonesia (GenBI) Jawa Tengah periode 2020-2022, bermukim di Telatah Kartasura.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru