Harakatuna.com – Sebagai umat Islam, tentu kita yakin bahwa agama kitalah yang paling benar. Umat-umat agama lain pun demikian, meyakini penuh kebenaran ajaran agamanya masing-masing. Apa hal semacam ini diperbolehkan? Tentu saja, boleh. Perkara yang tidak diperbolehkan adalah keyakinan terhadap ajaran agama tersebut dibarengi dengan sikap tidak memberi ruang hidup kepada mereka yang berbeda agama. Ironisnya, berita soal penghilangan hak hidup umat agama lain kerap kali pelakunya adalah umat Islam. Ini tentu akan menimbulkan pertanyaan, “Apakah Islam mengajarkan umatnya untuk membunuh mereka yang berbeda?”.
Kita yang merupakan followers dari seorang Nabi yang mengemban misi rahmatan li al-‘alamin, jelas menolak pertanyaan di atas. Kita tahu faktanya bahwa makna kata “Islam” itu ialah “selamat”—lebih tepatnya “menyelamatkan”—yang tampak jelas kontradiktif dengan pertanyaan tadi. Jika memang seperti itu, lalu mengapa ada oknum umat Islam yang mempraktikkan bom bunuh diri? Sependek saya mengamati, hal keji termaktub lahir dari interpretasi (terhadap teks suci) yang eksklusif-egoistis. Alih-alih menggunakan tafsir yang manusiawi/akhlaki, mereka justru melegitimasi tindakan kejam mereka dengan nash-nash yang mereka pahami secara personal (dan cenderung tekstualis).
Tindakan tak manusiawi dari pelaku bom bunuh diri itu jelas menyakiti hati dan membuat takut umat agama lain, di sisi lain juga merendahkan nama Islam sendiri. Oleh karena itu, banyak pihak yang lantas meneriakkan narasi tandingan dengan sangat lantang supaya seluruh orang tahu seperti apa wajah Islam yang sebenarnya. Pihak-pihak ini amat menyadari bahwa meskipun mereka kesulitan untuk menghentikan pelaku bom bunuh diri, setidaknya mereka bisa melakukan hal lain guna menghambat penyebaran paham ekstrem. Narasi damai yang mereka suarakan setidaknya bisa memengaruhi sebagian besar orang sehingga mereka akan berpikir berulang kali sebelum menceburkan diri ke dalam kelompok radikal.
Pengamatan sekilas saya, kasus bom bunuh diri lebih banyak terjadi di perkotaan. Apa mungkin ini didasari gereja-gereja besar itu ada di kota? Bisa jadi. Tapi, “mengapa sasarannya seolah hanya gereja?”, ini yang masih belum saya temukan jawabannya. Adapun di desa, tempat-tempat ibadah seperti pura dan vihara tampaknya tak pernah terdengar berita penghancuran terhadapnya, apalagi bom bunuh diri di 2 tempat ibadah tersebut. Saya kira ini adalah hal yang cukup menarik untuk diselami lebih jauh. Masyarakat kota yang sering disebut terdidik, ternyata ada segelintir dari mereka yang menjadi pelaku bom bunuh diri. Sementara itu, masyarakat desa yang kerap dipandang tak tahu apa-apa, ternyata kehidupan di lingkungannya diliputi harmoni. Sebuah realitas yang paradoksal.
Mengacu pada kenyataan di atas, pertanyaannya sekarang, sebenarnya siapa yang lebih butuh pemahaman moderasi beragama? Kaum yang terdidik atau masyarakat awam? Sebenarnya, virus radikalisme itu tidak memandang latar belakang pendidikan individu yang akan dijangkitinya. Ada begitu banyak kaum terdidik yang beragama di jalan tengah. Pun ada pula segelintir masyarakat awam yang jatuh dalam ekstremisme beragama—meskipun wujudnya bukan bom bunuh diri. Jadi, pemahaman moderasi beragama itu diperlukan oleh siapa saja. Namun, kita tentu perlu memperhatikan kepada siapa narasi itu akan disampaikan. Jika sasaran kita kaum terdidik, kita bisa menggunakan narasi teoretis. Adapun masyarakat awam, kita jelas harus membawa narasi praktis.
Kita telah melihat bahwa radikalisme di perkotaan itu biasanya tampil dalam wujud bom bunuh diri. Lalu, bagaimana dengan di desa? Umumnya sikap beragama secara berlebih-lebihan di desa itu berupa mengafirkan secara lantang umat agama lain, bahkan ada juga yang secara semena-mena memfitnah bahwa praktik ritual agama lain adalah penyebab terjadinya suatu bencana. Bagaimana pun sikap semacam itu sangat menyakitkan. Hanya karena ia tidak menghilangkan nyawa orang lain, bukan berarti ia lebih baik dari praktik bom bunuh diri. Kedua sikap itu sama-sama merupakan representasi keengganan individu untuk memberi ruang bagi umat agama lain menjalankan apa yang mereka yakini.
Melihat lanskap ekstremisme beragama di desa termaktub, rasanya penting bagi kita untuk merenung. Andai kita adalah umat agama minoritas, lalu umat agama lain menghardik kita dengan berucap, “Semua bencana ini karena ritual/ibadah yang kalian lakukan sehingga Tuhan murka”. Tentu perkara ini terasa begitu kejam di mata kita. Oleh sebab itu, sangat tak pantas bila kita melakoni tindakan yang itu juga membuat kita sakit (dan marah) saat orang lain melakukannya pada kita. Sampai sini kita mafhum bahwa pemahaman moderasi beragama di kalangan masyarakat awam itu harus melalui pembacaan terhadap realitas.
Narasi moderasi beragama akan selalu menempati posisi penting di setiap kalangan, meski wujud narasi tersebut tak sama antara satu dengan yang lainnya. Moderasi beragama itu bukan sekadar tentang tidak melakoni bom bunuh diri, tapi juga tentang memberi ruang umat lain untuk mengekspresikan keberagamaannya sebagaimana kita ingin bebas melakukannya pula. Baik generasi yang menempuh pendidikan formal maupun masyarakat awam, sama-sama berpotensi terjatuh dalam ekstremisme. Sebagai pihak yang sadar terhadap urgensi moderasi beragama, kita perlu terus bersuara tentangnya. Tentu tujuan utamanya ialah supaya semakin banyak orang terbebas dari belenggu egoisme beragama.
Wajah Islam ialah wajah yang meneduhkan. Ini selaras dengan tugas Nabi Muhammad saw sebagai rahmat bagi semesta alam, bukan umat Islam semata. Oleh karena itu, sangat tidak patut apabila kita menempatkan Islam sebagai legitimasi terhadap tindakan yang tak manusiawi. Narasi moderasi beragama perlu kita bawa di mana saja, entah itu berwujud teori ataupun praktik. Sekecil apa pun upaya kita untuk mengamplifikasi narasi moderasi beragama, itu akan selalu berarti. Sebab, bagaimana pun upaya kecil pasti lebih baik daripada tidak sama sekali. Wallahu A’lam.