Harakatuna.com – Isra’ Mi’raj adalah peristiwa luar biasa dalam tradisi Islam. Suatu perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem (Isra’), dan kemudian dilanjutkan dengan perjalanan ke sidratul muntaha (Mi’raj). Dalam perjalanan ini, dikisahkan Nabi juga bertemu dengan para nabi terdahulu, sebelum kemudian mengalami pengalaman langsung “berbincang” dengan Allah Swt.
Peristiwa ini, jika kita mau merenunginya, sesungguhnya mengandung pesan simbolis yang mendalam tentang keberagaman, universalitas Islam, dan relasi manusia dengan Tuhan yang berada di luar batas-batas ruang dan waktu—melingkupi seluruh lingkaran kehidupan manusia di alam semesta dalam payung rahmatan lil alamin.
Dengan kata lain, Tuhan tidak terbatas pada satu tempat, satu kaum, atau satu ideologi tertentu belaka. Hal ini berlawanan dengan cara pandang radikal yang sering kali berusaha “mengurung” Tuhan dalam kerangka eksklusif yang rigid dan sempit—sambil menampakkan eksistensi-Nya dalam nuansa yang penuh kesan kejam dan nir-kemanusiaan.
Tuhan tidak kejam, tentu saja. Karenanya, Tuhan juga tidak netral. Buya Syafii Maarif menuliskan dalam buku Membumikan Islam, Tuhan (justru) berpihak pada manusia yang bertakwa dan berbuat baik. Ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan itu (Al-Ankabut (29): 69; Al-Baqarah (2): 194; Ali ‘Imran (3): 76; At-Taubah (9): 4, 7, 36, dan 123; serta An-Nahl (16): 128, dan seterusnya.
Dengan demikian, sudah menjadi tugas dan kewajiban manusia untuk bertakwa dan terus berbuat baik. Sekaligus, menjadi tugas dakwah kita untuk senantiasa mendidik umat (Islam) agar kembali memulihkan “harga diri” umat yang sebagian telah tercemar oleh nilai-nilai yang menyimpang dari nilai-nilai Islam dan kemanusiaan, dalam pengertian yang sebenarnya.
Di tengah medan wacana Islam yang sibuk dengan fundamentalisme dan masalah-masalah intoleransi, sudah sepatutnya umat Islam berupaya mengubah dan mengarahkan kekuatan-kekuatan sejarah menuju terbentuknya satu tatanan kehidupan yang bermoral, egaliter, dan sejahtera. Begitulah kira-kira pesan yang dituliskan Buya Syafii Maarif (h. 145).
Kita pasti tahu, bahwa mengarahkan kekuatan-kekuatan sejarah merupakan tugas para Nabi dan Rasul serta mereka-mereka yang mengikuti jalannya. Dalam hal ini, Nabi Muhammad menjadi contoh terbaik. Muhammad Iqbal dalam Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, secara cermat dan tajam membedakan visi seorang Nabi dengan visi seorang sufi, demikian:
“Muhammad telah naik ke langit tertinggi (mi’raj) lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, bahwa kalau aku yang telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali”. Inilah kata-kata yang telah diucapkan oleh Abdul Quddus, seorang sufi besar Islam, dari Ganggah. Dalam semua rangkaian sumber-sumber sufi, agaknya sukarlah kita bisa mendapat kata-kata, yang dalam satu kalimat saja dapat menyimpulkan sebuah tanggapan yang begitu tajam mengenai perbedaan psikologis antara kesadaran dunia rasul dan dunia mistik. Seorang sufi tidak ingin kembali dari suasana tenteramnya “pengalaman tunggal” itu, dan kalaupun ia kembali, karena mesti demikian, maka kembalinya itu pun tidaklah memberi arti yang besar bagi umat manusia.” (h. 145)
Namun, seperti juga ditulis Iqbal, “kembalinya seorang Nabi memberi arti kreatif. Ia kembali akan menyisipkan diri ke dalam kancah zaman, dengan maksud hendak mengawasi kekuatan-kekuatan sejarah dan dengan cara itu pula ia mau menciptakan suatu dunia baru” (h. 145). Dalam hal ini kita bisa pahami bersama, seturut yang dituliskan Buya Syafii Maarif pula, bahwa misi dakwah seorang Nabi ialah misi kemanusiaan, karenanya, sekaligus misi sejarah dengan dimensi yang sangat luas.
Hal demikian itu bisa dengan jelas kita cermati dari peristiwa Isra’ Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad Saw. Bahwa beliau tidak lantas tinggal menetap di langit tatkala melakukan selesai melakukan mi’raj, tetapi kembali ke bumi untuk mendakwahkan dan melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Kerja-kerja dakwah yang kiranya amat kontras dengan nilai-nilai radikalisme dan intoleransi.
Seperti sering kita temui, kelompok-kelompok radikal cenderung memiliki pemahaman teologis yang eksklusif dan literalistik. Mereka beranggapan bahwa Tuhan hanya dapat dipahami dalam satu cara tertentu—yakni, menurut interpretasi mereka sendiri—dan menolak pandangan lain sebagai sesat atau menyimpang.
Isra’ Mi’raj sebagi Kontra Radikalisme
Kita tahu, fenomena radikalisme dalam banyak hal telah mempersempit konsep Tuhan. Di antaranya, pertama, dilakukannya reduksi Tuhan ke dalam dogma tunggal. Mereka melihat Tuhan dalam batas-batas hukum syariat yang amat kaku dan puritan, sehingga itu berdampak pada penolakan-penolakan aspek spiritual yang lebih luas seperti kasih sayang dan keindahan-Nya.
Kedua, mereka mengklaim monopoli kebenaran. Dalam hal ini, Tuhan ditafsiri seakan-akan hanya berpihak pada kelompok tertentu, yakni kelompoknya sendiri, sehingga keberagaman yang hidup di sekelilingnya diabaikan bahkan dimusnahkan. Ketiga, mereka mengabaikan sifat Tuhan yang senyatanya Maha Luas. Radikalisme melupakan bahwa Tuhan dalam Islam memiliki sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) yang merangkul seluruh ciptaan-Nya tanpa diskriminasi.
Pandangan semacam itu sudah tentu sangat kontras dan bertolak belakang dengan nilai-nilai universal yang diajarkan dalam Isra’ Mi’raj. Mari kita pahami bahwa Isra’ Mi’raj senyatanya menunjukkan bahwa perjalanan menuju Tuhan adalah sebuah proses bertahap yang membutuhkan pemahaman luas dan mendalam, bukan sekadar kepatuhan pada aturan formal semata.
Dalam perjalanan Mi’raj, misalnya, Nabi Muhammad bertemu dengan para nabi sebelumnya seperti Nabi Musa, Nabi Ibrahim, dan Nabi Isa. Hal ini sebenarnya mengindikasikan bahwa Tuhan tidak terbatas pada satu agama atau satu kelompok saja. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mesti mengakui keberadaan agama lain sebagai bagian dari kehendak Tuhan, sunnatullah—bentuk tauhid itu sendiri.
Isra’ Mi’raj juga mengajarkan bahwa perjalanan spiritual jauh melampaui batasan duniawi. Artinya, dalam pemahaman ini, Tuhan tidak hanya hadir dalam bentuk hukum-hukum kaku, tetapi juga dalam nilai-nilai cinta, rahmat, dan keadilan. Hal itu menunjukkan bahwa jalan menuju Tuhan bisa ditempuh dalam berbagai bentuk yang berbeda sesuai dengan kondisi individu dan masyarakat. Jadi, khilafiyah, baik dalam hal hukum fiqh, muamalah, dan amaliyah itu biasa dan niscaya.
Pelajaran lain dari Mi’raj Nabi, dalam pertemuannya dengan Tuhan sesungguhnya juga menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dijangkau dengan pemikiran manusia yang terbatas. Ini adalah pelajaran amat penting, bahwa kita tidak boleh mengklaim pemahaman penuh atas Tuhan, sebagaimana dilakukan oleh kelompok radikal yang sering mengklaim seakan-akan hanya mereka yang memahami kehendak Tuhan dan Islam dengan sebenar-benarnya.
Tak kalah penting, salah satu hasil dari Isra’ Mi’raj adalah perintah shalat. Sesuatu yang diperintahkan bukan hanya sebagai kewajiban formal, tetapi juga sebagai bentuk keterhubungan manusia dengan Tuhan yang bersifat universal, tanpa mengenal batas-batas ras, bangsa, atau sekat ideologi—mencegah keji dan kemunkaran. Ini semestinya diarifi pula sebagai sebuah pengingat bahwa ibadah adalah jalan mendekatkan diri kepada Tuhan dalam semangat keterbukaan, bukan dalam doktrin fanatisme.
Memetik Hikmah Isra’ Mi’raj
Maka itu, mari kita pahami, arifi dan petik nilai-nilainya, bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj membawa esensi pesan mendalam kaitannya bahwa laku pengabdian dan spiritual seorang Hamba (baca: manusia) menuju Tuhan adalah perjalanan (menuju) keterbukaan, kebijaksanaan, dan pemahaman yang luas terhadap keberagaman.
Lalu, secara khusus, sebagai kontra-narasi terhadap radikalisme, Isra’ Mi’raj mengajarkan bahwa, pertama, Tuhan tidak eksklusif milik satu kelompok atau ideologi tertentu. Kedua, Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang menghargai keberagaman dan inklusivitas. Ketiga, perjalanan spiritual adalah proses yang mendalam, bukan sekadar mengikuti dogma yang kaku. Keempat, nilai-nilai utama seperti kasih sayang, keadilan, dan kebijaksanaan adalah esensi dari hubungan manusia dengan Tuhan.
Dengan memahami Isra’ Mi’raj secara lebih luas, kita semua berharap agar bisa menghadirkan narasi Islam yang damai dan inklusif, sekaligus sebagai kontra narasi “melawan” ideologi radikal yang menyempitkan makna ketuhanan dan kehidupan. Wallahu a’alam bisshawab []