28.4 C
Jakarta

Kontra-Terorisme Butuh Orang Piawai Menulis Esai, Yuk Belajar Pada Para Pesohor

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuKontra-Terorisme Butuh Orang Piawai Menulis Esai, Yuk Belajar Pada Para Pesohor
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul: Inilah Esai, Tangkas Menulis Bersama Para Pesohor, Penulis: Muhidin M. Dahlan, Penerbit: Penerbit I:BOEKOE, Cetakan: II (Revisi), Oktober 2019, Tebal: 206 halaman, ISBN: 978-979-1436-34-2, Peresensi: Akhmad Idris.

Harakatuna.com – Esai terkesan lebih istimewa dari karya ilmiah dan puisi—menurut Ignas Kleden—disebabkan oleh posisi esai yang lebih menghormati. Maksud dari istilah ‘lebih menghormati’ di sini adalah cara esai menyeimbangkan antara objektivitas dan subjektivitas.

Jika karya ilmiah mampu mengubah subjektivitas menjadi objektivitas dengan metode berpikir ilmiahnya dan puisi mampu mengubah objektivitas menjadi subjektivitas dengan metafora-metafora indahnya, maka esai mampu mempertahankan dua-duanya.

Tak berlebihan jika Muhidin M. Dahlan dalam karyanya Inilah Esai, menyatakan bahwa esai adalah bagian dari karya sastra jurusan nonfiksi (halaman 11). Oleh sebab itu, menulis esai adalah cara menyampaikan gagasan dengan cara yang indah (karena bagian dari karya sastra) sekaligus berbasis data (karena berjurusan nonfiksi).

Lewat Inilah Esai, Muhidin M. Dahlan ingin menuturkan kisi-kisi dalam menulis esai yang dapat menc(u)ari perhatian media-media seperti koran. Buku ini perlu dinikmati karena dua hal, yakni sebab penulis dan referensi yang dijadikan rujukan dalam tulisannya.

Muhidi M. Dahlan selaku penulis buku ini merupakan esais produktif nusantara dengan ratusan karya yang telah dimuat di media-media nasional. Hal ini berarti buku Inilah Esai ditulis oleh seseorang yang memang ahli di bidangnya, bukan seorang dokter hewan yang berbicara tentang cara efektif meningkatkan hasil pertanian atau seorang pengangguran yang sesumbar tentang cara mudah memperoleh pekerjaan.

Ditambah lagi, esai-esai yang dijadikan data untuk menjelaskan kisi-kisi menulis esai dalam buku ini diambil dari para esais kenamaan seperti A.S. Laksana, Budi Darma, Goenawan Mohamad, Benedict Anderson, H.B. Jassin, B.J. Habibie, Gus Dur, Joko Widodo, Moh. Hatta, hingga Soekarno.

Kisi-kisi dalam menulis esai yang dideskripsikan oleh Muhidin M. Dahlan dalam Inilah Esai meliputi cara menentukan topik yang menarik, cara mendapatkan data sebagai bahan dasar untuk mengelaborasi, menentukan gaya penulisan yang sesuai dengan minat dan kemampuan, membuat judul yang menarik untuk pandangan pertama.

Juga menulis paragraf pembuka agar memikat pembaca, menyajikan ‘tubuh’ esai (isi) agar membuat pembaca ketagihan membaca paragraf selanjutnya, dan cara mengunci esai dengan penutup yang manis. Semua bagian yang telah disebutkan tersebut diulas berdasarkan contoh esai yang telah dikumpulkan dan dipilah oleh Muhidin M. Dahlan sesuai dengan subbab yang dibahas.

Bagaimanakah Wujud Esai dari Mereka yang Sudah Piawai?

Di antara wujud esai dari para esais kenamaan adalah esai gaya surat yang telah dipopulerkan sejak lama oleh surat kabar Doenia Bergerak di tahun 1914 (halaman 40). Sebuah esai yang ditulis seperti seseorang yang ingin mengungkapkan segala perasaan dengan gaya bahasa surat-menyurat.

BACA JUGA  Menyingkap Kesesatan Terorisme, Jalan Tol Ideologis Menuju Surga

Kebanyakan esai surat cenderung berisi keluh kesah terhadap para presiden, seperti Surat Terbuka kepada Jokowi oleh A.S. Laksana; Surat Terbuka kepada Presiden oleh Suciwati (istri Munir), dan masih banyak lainnya. Selain gaya penulisan yang unik, para esais kenamaan juga mampu membuat judul yang menarik. Muhidin M. Dahlan menyebutnya sebagai judul yang menc(u)ari perhatian (halaman 60).

Banyak cara untuk membuat judul yang mencuri simpati, satu di antaranya adalah menghidupkan benda mati, seperti esai dengan judul Indonesia Menggugat oleh Soekarno. Indonesia yang notabenenya adalah sebuah benda mati (kata benda), berhasil disulap oleh Soekarno menjadi subjek hidup dengan ‘kemampuan barunya’ yang berupa menggugat ketidakadilan untuk menuju kemerdekaan.

Tak hanya judul yang menarik, beberapa esais dulu juga terkadang membuat pembuka paragraf yang menggelitik. Pembuka yang menggelitik memang akan membuat pembacanya tertarik, sebab kebanyakan manusia memang senang diajak tertawa.

Paragraf pembuka yang menggelitik dicontohkan oleh J. Sumardianta dalam esainya yang berjudul Melawan Budaya Casting (halaman 113-114). Lewat lelucon di dalam esainya, J. Sumardianta ingin menyindir para orang tua yang kerap berlaku kasar terhadap anak-anaknya, sebab tindak kekerasan orang tua selama di rumah akan berdampak buruk terhadap kemampuan belajar sang anak ketika di sekolah.

Paragraf pembuka esai dianalogikan oleh Muhidin M. Dahlan seperti teras atau ruang tamu dalam sebuah rumah (halaman 90). Ruang tamu cenderung menjadi ruangan yang paling diperhatikan daripada ruang-ruang yang lain, sebab ruangan inilah yang membuat setiap tamu tertarik untuk berlama-lama.

Oleh sebab itu, perabotan beserta tata letaknya dipilih dan disusun berdasarkan pertimbangan terbaik. Sebagaimana ruang tamu, paragraf pembuka esai juga seyogianya seperti itu. Artinya, membuat pembaca ‘kerasan’ dan ‘nyaman’ dalam menikmati sajian bacaan.

Buku Inilah Esai memang laik menjadi satu di antara buku yang direkomendasikan sebagai daftar buku yang perlu dibaca, namun sebagai buku edisi revisi, masih ditemui beberapa kesalahan ketik dan kesalahan ejaan.

Seperti kata ‘berudul’ yang seharusnya ‘berjudul’ di halaman 69, kata ‘bukankah’ yang seharusnya ‘bukanlah’ di halaman 115, dan penulisan kata depan di- yang tidak dipisah di halaman 127.

Akhir kata, selamat belajar menulis esai dari mereka yang sudah piawai. Kalau kita konsen melakukan kontra-terorisme melalui tulisan kontra-narasi, skill menulis esai adalah wajib. Buku ini recommended.

Akhmad Idris
Akhmad Idris
Alumnus Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya. Beberapa karyanya pernah dimuat di dalam Jurnal Pena (Universitas Jambi), jurnal Salingka (Kemendikbud), Jurnal Pembelajaran Bahasa & Sastra (Universitas Negeri Malang), dan Jurnal Efektor (Universitas PGRI Kediri).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru