31.9 C
Jakarta

Kemiskinan: Akar Penyebab Seseorang Terjerat Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahTelaahKemiskinan: Akar Penyebab Seseorang Terjerat Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Debat Capres dan Cawapres sudah dilaksanakan beberapa waktu lalu. Dari sekian banyak komentar netizen terkait debat yang sudah dilaksanakan, kita akan berada pada kesimpulan bahwa, yang paling dijunjung oleh para Capres dan Cawapres tentang gagasannya adalah kesejahteraan masyarakat Indonesia? Mengapa ini sangat penting dibahas?

Isu yang tidak banyak, bahkan tidak disinggung pada debat Capres dan Cawapres adalah potensi Indonesia menjadi sarang teroris di masa yang akan datang. Oleh karena itu, kita tidak mengetahui, strategi apa saja yang akan diambil oleh pemerintah ke depan dalam menanggulangi permasalahan terorisme di Indonesia. Meskipun topik ini tidak dibahas, paling tidak, kita tahu gagasan besar calon pemimpin Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. Apa hubungan kesejahteraan dengan tingkat terorisme di Indonesia?

Salah satu faktor seseorang menjadi radikal (gerbang menuju teroris) adalah kemiskinan. Selain kemiskinan, ada juga ketidakadilan yang dirasakan dalam beberapa bidang seperti: ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, dan pendidikan. Seseorang yang mengalami ketidakadilan di bidang hukum, seperti mendapatkan hukuman berat sedangkan kesalahannya terlihat kecil dibandingkan dengan para koruptor, akan merasa bahwa negaranya sangat tidak aman.

Seseorang yang mengalami kondisi tersebut, akan sangat mudah terprovokasi oleh kelompok yang menyerukan perubahan dengan melakukan propaganda terhadap pemerintah.

Sementara itu, kemiskinan yang dimaksud adalah kondisi seseorang yang belum memenuhi syarat: bisa makan dua kali sehari atau lebih, mempunyai pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan, lantai rumah bukan tanah, serta memiliki sarana yang mumpuni untuk berobat di rumah sakit/puskesmas.

Sama halnya dengan ketidakadilan, kemiskinan akan menjerat seseorang dalam lingkaran radikalisme. Mengapa demikian? Jika kita pernah mendengar bahwa kemiskinan dekat dengan kekufuran, maka sejalan dengan realita yang ada. Tentu, kekufuran yang dimaksud dalam tulisan ini adalah dengan bergabungnya pada kelompok teroris. Mereka sangat mudah diajak oleh kelompok-kelompok teroris dengan imbalan kesejahteraan. Imbalan tersebut nyata. Mereka mendapatkan kehidupan yang layak dan mendapat akses yang luas untuk meningkatkan taraf kehidupan yang diimpikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 25,90 juta orang. Meskipun data kemiskinan ini menurun dibandingkan dengan September 2022 silam, namun jutaan masyarakat Indonesia masih terjerat kemiskinan.

BACA JUGA  Dakwah di TikTok: Pertarungan Ideologi Salafi-Wahabi yang Berpotensi Merusak Persatuan

Pada kasus mantan Napiter, mereka kembali bergabung dalam kelompok ekstremis, salah satu faktornya adalah ekonomi. Dikucilkan oleh masyarakat, tidak mendapatkan pekerjaan, bahkan di PHK dan tidak mendapatkan kepercayaan, menjadi faktor pemicu utama mereka terjerat radikalisme kembali. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa proses deradikalisasi yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) gagal.

Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Kesejahteraan masyarakat harus menjadi target utama yang harus dilakukan pemerintah, salah satu tujuannya agar terhindar dari jerat radikalisme. Jika segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui keterbukaan lapangan pekerjaan, pemerataan ekonomi, serta meningkatkan kualitas pendidikan, maka masyarakat Indonesia bisa keluar dari jerat kemiskinan yang mematikan. Tentu, tujuan ini juga berbanding lurus dengan harapan hidup yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Menurut hemat penulis, kemiskinan adalah salah satu faktor yang sangat besar mengapa seseorang terjerat radikalisme. seseorang yang sedang kelaparan dan tidak tahu akan makan apa besok karena ketiadaan uang, dia akan menerima sepiring nasi untuk keberlanjutan hidupnya, dibandingkan dengan mendengarkan motivasi atau kata-kata semangat dari orang lain. Jika kelompok ekstremis berperan sebagai kelompok yang memberikan sepiring nasi tersebut, maka militansi terhadap kelompok radikalisme sangat kuat. Bahkan meskipun sudah menjadi mantan Napiter, ia akan tetap bergabung di kelompok tersebut. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru