26.6 C
Jakarta

Kelas Kursus Private Khilafah, Siasat Indoktrinasi HTI yang Harus Dihentikan

Artikel Trending

Milenial IslamKelas Kursus Private Khilafah, Siasat Indoktrinasi HTI yang Harus Dihentikan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ancaman Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk NKRI semakin nyata. Kebatilan terstruktur yang disebarkan oleh para aktivisnya terus menggerayangi negara dari segala sisi; ekonomi, politik, agama, hingga pendidikan. Yang terakhir ini terwujud melalui sekolah atau yayasan yang berafiliasi pada HTI. Namanya memang tidak memakai embel-embel HTI, namun yang jelas orang-orangnya adalah pegiat khilafah palsu HTI. Di dunia pendidikan, jajakan mereka beragam.

Yayasan Insantama menjadi basis yayasan afiliasi HTI untuk sekolah formal. Dengan modal yang cukup, bahkan mewah, yayasan-yayasan tersebut melakukan kaderisasi aktivis khilafah. Metode indoktrinasi melalui pendidikan masih menjadi yang paling efektif setelah forum-forum pengajian. Namun, setelah terendus sebagai afiliasi, Yayasan Insantama tidak populer lagi. Ia tetap berjalan sebagai yayasan HTI, namun para aktivisnya mulai menjajaki metode lain.

Paling tidak sejak tiga tahun lalu, kelas private digagas sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Ini menjadi terobosan baru HTI, setelah Yayasan Insantama kurang populer dan sebatas menarget kalangan tertentu—tingkat dasar sampai tingkat menengah saja. HTI ingin ada kaderisasi untuk umum, namun tidak terlacak sebagai agenda indoktrinasi. Kelas kursus private tersebut dibuka secara umum dan berlangsung pada waktu-waktu tertentu.

Misalnya, bulan Ramadan. Setiap bulan puasa, para aktivis HTI mempunyai dua kegiatan. Pertama, tadarus. Kedua, kelas peradaban Islam. Apakah tadarus yang dimaksud adalah tadarus Al-Qur’an? Tidak. Apakah peradaban Islam yang dikursuskan bertujuan mempelajari sejarah Islam? Tidak juga. Kedua kegiatan tersebut hanya kedok belaka untuk indoktrinasi. Siasat yang demikian dipakai untuk menyemarakkan spirit khilafah HTI di kalangan umat Islam.

Kedok Kelas Kursus

Efektivitas kelas kursus, dalam bidang apa pun, terletak pada intensitasnya. Berbeda dengan kelas kolektif, kursus dengan sifatnya yang individual memungkinkan penguasaan lebih terhadap apa yang dikursuskan. Idealnya, kursus memang personal. Namun, seiring naiknya kuantitas peminat, kursusan juga bisa berbentuk kolektif dengan jumlah terbatas dan intensitas yang sama dengan kursus personal. Kunci keberhasilan kursus adalah hubungan emosional antarsesama.

Hal tersebut juga yang diterapkan dalam kelas kursus oleh para aktivis HTI. Dalam kursus tersebut, berbeda dengan seminar biasa, dijalin juga hubungan dekat sehingga bernuansa kekeluargaan. Sebuah sumber yang tidak berkenan disebutkan identitasnya mengatakan, dalam setiap kursus peradaban Islam yang diselenggarakan, panitia membangun relasi emosional dengan peserta untuk memudahkan penyelipan doktrin-doktrin tertentu yang ujungnya adalah “khilafah”.

Jadi, misalnya, membahas sejarah keemasan Islam. Yang ditonjolkan adalah bahwa di bawah Dinasti Umayyah, Islam berhasil mengekspansi Eropa karena sistem pemerintahan mereka adalah “khilafah”. Contoh lain, ketika membahas sejarah Turki Utsmani, yang diangkat ke permukaan adalah penaklukan Konstantinopel sebagai simbol kekuatan Islam di bawah khilafah, juga keruntuhan Turki Utsmani sebagai simbol kelemahan Islam ketika khilafah tidak ditegakkan.

BACA JUGA  Remoderasi Pendidikan di Indonesia

Artinya, kelas kursus private peradaban Islam hanyalah siasat belaka. Alih-alih mentransfer ilmu keislaman agar umat paham sejarah, ia justru dijadikan sarana menyesatkan umat dari sejarah peradaban di satu sisi dan mengindoktrinasi mereka ihwal pentingnya penegakan sistem pemerintahan Islam di sisi lainnya. Kursus menjadi agenda indoktrinasi masif yang selain membutakan, ia juga menjerumuskan umat pada jurang khilafah.

Indoktrinasi yang Masif

Kelas kursus private yang temanya seputar sejarah Islam laik disebut indoktrinasi karena dua alasan. Pertama, para ustaznya merupakan tokoh HTI. Fahmi Amhar, Salman Iskandar, Yuana Ryan Tresna, Pompy Syaiful Rizal, Rokhmat Labib, dan beberapa lainnya adalah jelas merupakan para tokoh HTI yang selama ini aktif mempropagandakan penegakan khilafah di NKRI. Apakah dengan mengundang mereka, sebuah kursus diharapkan tidak memuat indoktrinasi khilafah? Mustahil.

Kedua, ada materi-materi khusus yang diorientasikan untuk mempromosikan sistem pemerintahan tertentu. Sebagaimana disinggung di awal, setiap materi sejarah sebenarnya ditujukan untuk memasarkan khilafah sebagai sistem pemerintahan wajib, negara sebagai thaghut, bughat sebagai politik alternatif, dan kemajuan Islam sebagai agenda utama umat saat ini. Adalah jelas di situ bahwa kelas kursus tersebut murni merupakan indoktrinasi.

Lalu, apakah kelas kursus private berpotensi membahayakan NKRI? Dalam waktu dekat, belum. Namun, seiring bertambahnya peminat khilafah HTI dan pemuja sistem Islam, negara akan semakin dekat dengan ancaman perpecahan maupun konflik sipil. Tidak ada yang tahu waktunya. Bisa jadi sepuluh tahun lagi atau bahkan lebih lama dari itu. Yang jelas, jika seluruh umat berhasil diindoktrinasi dan mayoritas mereka sudah rindu khilafah ala HTI, NKRI tidak akan bertahan lebih lama lagi.

Karena itu, menghentikan kelas-kelas kursus semacam itu adalah agenda wajib pihak terkait. Jangan sampai ada ruang-ruang khusus untuk menyesatkan umat akan peradaban Islam dengan cara membutakan mereka tentang sejarahnya sendiri. Tindakan penghentian tersebut bisa berupa pemboikotan program maupun pemidanaan para pelaku di baliknya. Itu tugas para stakeholders terkait. Yang jelas, indoktrinasi di kelas-kelas kursus HTI merupakan ancaman jangka panjang yang sangat nyata.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru