29.3 C
Jakarta

Kekeliruan Nalar Umat Islam Radikal dalam Menyikapi Pandemi Covid 19

Artikel Trending

KhazanahKekeliruan Nalar Umat Islam Radikal dalam Menyikapi Pandemi Covid 19
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di tengah Pandemi Covid-19 telah mentransformasikan beberapa tradisi di bulan puasa bagi umat Islam. Kebijakan social distancing atau phisycal distancing telah menyebabkan umat Islam di bulan puasa tidak bisa menjalankan beberapa ritual tradisi seperti shalat tarawih berjamaah, buka bersama, dan tradisi lainnya.

Pemerintah bekerjasama dengan MUI telah memutuskan bahwa untuk puasa tahun ini shalat tarawih dilaksanakan di rumah saja. Kebijakan lain yang sejak awal diterapkan adalah melarang berbagai bentuk kegiatan yang melibatkan sekumpulan massa. Kebijakan ini diambil dengan tujuan agar penyebaran virus corona bisa teratasi. Daerah-daerah yang memang menjadi pusat pandemi diharapkan memang benar-benar menerapkan kebijakan tersebut.

Tentunya kebijakan tersebut menuai pro dan kontra dalam internal umat Islam sendiri. Seperti yang diberitakan di media massa bahwa ketika bulan puasa datang, masih ditemukan massa yang tidak mengindahkan kebijakan tersebut. Misalnya pertemuan Ijtima Dunia 2020 di Gowa. Meskipun polisi telah melarang acara tersebut. Namun, himbauannya diabaikan begitu saja.

Nalar Umat Islam

Nalar yang dibangun oleh kelompok tersebut adalah bahwa manusia dan virus sama-sama ciptaan Allah SWT. Sebagai umat Islam takut kepada Allah adalah sebuah keniscayaan. Ketakutan atas Allah melebihi virus covid. Maka tidak heran apabila mereka tidak mematuhi aturan pemerintah untuk tidak menyelenggarakan pertemuan tersebut.

Kejadian serupa juga diperlihatkan ketika ada sebagian umat Islam yang memaksa melaksanakan shalat tarawih di zona merah. Lagi-lagi mereka berdalih bahwa yang ditakuti adalah Allah bukan virus itu. Dengan alasan itu lah, mereka memaksa melaksanakan shalat tarawih meskipun ia berada pada zona merah. Itulah umat Islam ekstrem dan radikal selalu menanggapi dan setiap apa yang dilakukan pemerintah dan ulama lain tidak pernah ada benarnya.

Perlu dipikir secara hati-hati apabila menemui fenomena seperti saat ini. Tidak salah apabila memang memiliki nalar seperti orang-orang yang memaksakan melakukan pertemuan di tengah wabah dengan dalih lebih takut dengan Allah ketimbang virus. Namun, juga salah apabila nalar tersebut tidak mempertimbangkan aspek lainnya yang bisa menyebabkan terancamnya jiwa apabila memaksakan pertemuan. Bagi umat Islam ekstrem dan radikal tidak heran tatkala beranggapan larangan pemerintah dan MUI merupakan diskriminasi, cara pandang kaum ekstremis dan radikalis memang sedemikian intoleran.

Dalam kaidah fikih telah disebutkan bahwa menolak bahaya lebih didahulukan ketimbang mengambil manfaat (dar ul mafasid awla min jalbi masalih). Seharusnya, kaidah fikih ini yang dijadikan patokan di tengah wabah virus Covid-19. Kita tahu bahwa berbuka puasa bareng, shalat tarawih, berkumpul dengan lainnya di bulan puasa dan syawal banyak manfaatnya. Akan tetapi, di tengah Pandemi seperti ini, manfaat-manfaat dari kegiatan tersebut perlu untuk ditunda dulu demi mencegah bahaya yang bisa mengancam nyawa manusia.

BACA JUGA  Moderasi Perguruan Tinggi dalam Rangka Kontra-Radikalisme

Namun, kaidah ini tidak dipahami secara benar oleh orang-orang yang tetap memaksakan kehendak untuk berkegiatan. Nalar seperti ini mengingatkan kita tentang kelompok Jabariyah  yang hanya percaya pada takdir. Sehingga mereka lebih mementing egoisme dan sikap intoleransinya dibandingkan ketaatannya pada anjuran pemerintah. Padahal, ini cukup maslahat sebagaimana dalam maqasidus syariah. Pun Islam juga mengatur tentang persoalan ini.

Koreksi Nalar

Dikatakan bahwa semua itu sudah diatur oleh Allah. Terkena atau tidak terkena virus itu sudah ada ketetapan dari Allah. Atas dasar argumentasi seperti ini lah mereka tetap melaksanakan apa yang sudah menjadi kebiasaan di bulan puasa. Nalar umat Islam semakin mengarah pada taqdir semakin menunjukkan pikiran mereka itu intoleran, ekstrem dan radikal.

Mengamini nalar Jabariyah seperti itu di tengah Pandemi Covid-19 tidak akan menyelesaikan masalah. Pandemi ini merupakan persoalan negara yang melibatkan seluruh warga negara Indonesia bahkan dunia. Pandemi ini juga tidak memilah-milah si miskin maupun si kaya, dokter maupun bukan, dan sebagainya. Semuanya berpotensi terkena Pandemi Covid-19.

Nalar Jabbariyah justru memperlemah upaya masyarakat dan negara dalam menghentikan penyebaran Pandemi Covid-19. Hal ini merupakan sebuah kekeliruan berpikir masyarakat muslim yang seharusnya lebih mengutamakan keselamatan jiwa dan nyawanya sendiri ketimbang memaksakan untuk berkumpul. Memang baik dan banyak manfaatnya, namun dia juga bisa terkena virus dan berpotensi menularkan ke yang lain.

Apabila sudah demikian yang terjadi, maka nalar berpikir yang Jabbariyah justru menjerumuskan sanak saudara, tetangga, dan keluarganya ke jurang kematian. Maka tidak salah apabila kaidah fikih di atas perlu untuk dipahami dan dilaksanakan untuk menghentikan penyebaran virus. Kalau virus itu sudah bisa diselesaikan maka umat Islam bebas untuk melaksanakan ibadahnya seperti sedia kala, namun apabila masih banyak orang-orang yang berpikir Jabbariyah maka semakin lama kita akan menunggu virus ini selesai. Jadi, nalar seperti demikian setidaknya mampu menjadi koreksi terhadap nalar umat Islam esktrem dan radikal yang masih memaksakan diri tidak taat pada Anjuran pemerintah dan fatwa Majelis Ulama Indonesia.

M. Mujibuddin SM
M. Mujibuddin SM
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru