26.3 C
Jakarta

Kalimah Sawa’ dan Misi Rasionalisasi Agama Anti-Radikal

Artikel Trending

KhazanahOpiniKalimah Sawa’ dan Misi Rasionalisasi Agama Anti-Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Modernisasi telah menjangkit hampir ke seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan, agama yang merupakan suatu warisan spiritual dan kultural, dihadapkan dengan perkembangan dunia dan segala inovasinya.

Tantangannya, bahwa agama perlu membawa pemahaman keagamaan yang mampu diterima oleh publik secara rasional. Lebih dari itu, agama perlu menyiratkan nilai-nilai pragmatis dalam ajaran dan tradisinya.

Rasionalisasi Islam

Al-Qur’an menjadi huda atau petunjuk bagi seluruh alam. Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril tersebut mengandung ajaran, hukum-hukum, dan hikayat masa lalu, yang dimaksudkan sebagai pedoman manusia untuk menjalani hidup.

Tidak hanya itu, petunjuk yang diberikan Al-Qur’an juga termasuk berbagai ide para ilmuwan untuk mengkaji gejala-gejala alam, sebagaimana yang disampaikan Agus Purwanto dalam bukunya Nalar Ayat-ayat Semesta.

Epistemologi Al-Qur’an mampu menjadi basis bagi konstruksi sains. Dalam Al-Qur’an terdapat 800 ayat yang berbicara perihal sains, yang mampu dijadikan bahan awal untuk meneliti pemahaman sehingga menjadi utuh. Sejak zaman Renaisans, sains telah melakukan risetnya tentang alam, lantas para agamawan mencari pembenarannya dalam Al-Qur’an.

Proses ini diistilahkan dengan “Islamisasi Sains”, yang pada intinya adalah bagaimana Al-Qur’an mampu diterima secara logis di masyarakat publik. Mengapa demikian? Karena itulah yang diharapkan oleh masyarakat luas, lebih-lebih umat non-muslim.

Secara epistemologis, Al-Qur’an telah memberikan ragam metode berpikir. Lafaz-lafaz yang menyebutkan adalah seperti عقل, فهم, فكر, ذكر, تدبر, تذكر, تفكر, dan lain-lainya. Semua lafaz tersebut berkaitan dengan kerja akal budi manusia, akan tetapi dengan metode dan objek yang berbeda. Artinya, Al-Qur’an telah mengisyaratkan epistemologi pengetahuan untuk manusia implementasikan sebagai jalan kebenaran.

Makna Kalimatun Sawa

Kalimatun sawa terdapat dalam surah Ali Imran ayat 64. Secara verbal-tekstual, ayat tersebut berarti “ucapan yang sama”. Dalam istilah politik modern, kalimatun sawa disebut dengan common denominator, yang artinya manusia harus tunduk dengan sunatullah, yang mengharuskan terciptanya kalimatun sawa.

Dalam suatu penjelasan yang dikutip dari Dawam Rahardjo, bahwa kalimatun sawa dikaitkan dengan wacana kerukunan bangsa. Kerukunan akan menjadi stabilitas sosial sehingga berpotensi terwujudnya masyarakat madani.

Berbeda dengan itu, Zuhairi Misrawi berpendapat bahwa kalimatun sawa’ merupakan suatu wadah yang mempertemukan keragaman dan perbedaan. Sedangkan, untuk mampu menemukan titik temu yang dimaksud ini adalah dengan kejernihan hati dan sinkronisasi antara kepercayaan dan sistem logika. Dalam artian, proses bertemunya suatu keragaman tidak akan berjalan tanpa fondasi pikiran rasional.

Merasionalkan Ajaran Agama

Melihat dua pendapat dari Dawam Rahardjo dan Zuhairi Misrawi di atas, ditemukan bahwa kalimatun sawa merupakan suatu wacana keagamaan yang bertujuan sama, yaitu kerukunan dengan meditasi nalar dan logika. Wacana seperti itulah yang dibutuhkan oleh publik di era kontemporer yang menuntut agama untuk bersikap bijak dan rasional. Islam sudah memiliki nilai-nilai epistemologis tersebut.

BACA JUGA  Memaknai Toleransi Beragama dan Menyudahi Radikalisme

Sebagai contoh, larangan dalam Al-Qur’an tentang meminum khamr. Dalam surah al-Maidah ayat 90:

يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اِنَّمَا الۡخَمۡرُ وَالۡمَيۡسِرُ وَالۡاَنۡصَابُ وَالۡاَزۡلَامُ رِجۡسٌ مِّنۡ عَمَ الشَّيۡطٰنِ فَاجۡتَنِبُوۡهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ‏ 

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.

Masyarakat kontemporer tidak akan puas dengan penjelasan tekstual sesuai dengan teks ayat tersebut. Akan tetapi, masyarakat membutuhkan penjelasan logis sesuai logika yang berlaku di era sekarang. Semisal, larangan meminum khamr diberlakukan karena hal itu menyebabkan rusaknya jaringan saraf otak atau dampak buruk lainnya.

Contoh lain adalah tentang larangan berzina, bukan hanya sekadar pertimbangan agama. Akan tetapi, juga akan ada pertimbangan sosial dan psikologi terhadap pelakunya, serta berdampak buruk pada sanak keluarganya. Pada intinya, Islam sangat menganjurkan permainan logika untuk menunjang kepercayaan publik kepada ajaran-ajarannya.

Bernalar Menjadi Media Jihad di Era Kontemporer

Mengenai implementasi jihad, masih berkecamuk dalam kepala umat manusia. Apakah implementasi jihad adalah sebagaimana hikayat-hikayat nabawiah yang menghunuskan pedang di leher para lawannya, ataukah terdapat model baru di era kontemporer ini.

Banyak model jihad yang bisa diimplementasikan di era sekarang. Dalam buku Fiqh Jihad karya Yusuf Qardhawi, salah satu bentuk jihad yang bisa dilakukan di era sekarang adalah dengan berbuat ihsan, yaitu memberikan kebermanfaatan pada orang lain. Sedangkan, jihad dengan senjata perang atau al-jihad bi al-qital, merupakan opsi yang paling terakhir, yaitu jika sudah tidak ada lagi opsi lain untuk melawan kekufuran.

Kembali kepada pengertian ihsan, yaitu mampu menebarkan nilai-nilai kebermanfaatan kepada orang lain. Beragam cara untuk mampu menebarkan kebermanfaatan, salah satunya adalah dengan berpikir logis. Apa yang bisa diberikan oleh seseorang yang mampu bernalar secara logis?

Jawabannya, seseorang yang mampu berpikir secara logis mampu memberikan jalan menuju kebenaran kepada orang lain. Entah itu jalan hukum, politik, sosial, atau bahkan agama itu sendiri. Dengan kecakapan bernalar, seseorang bisa membawa pikirannya ke dalam ruang publik sehingga bisa diterima oleh masyarakat luas.

Hal ini bisa digolongkan ke dalam bentuk jihad, karena informasi yang disebarkan merupakan media untuk meluruskan jalan pikiran masyarakat yang salah. Hal itu pula mencegah adanya perpecahan, kegaduhan, dan tindakan-tindakan lain yang tidak diinginkan.

Maka inilah salah satu bentuk implementatif dari penggalan ayat kalimatun sawa’, yaitu mampu membawa pemahaman agama secara valid ke hadapan masyarakat.

Mahfudhin
Mahfudhin
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an dan Sains Al-Ishlah. Peminat kajian tafsir Al-Qur’an, filsafat, linguistik, pendidikan, dan sosial-budaya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru