31.2 C
Jakarta

Jihad Toleransi dan Kemanusiaan Kita untuk 600 WNI Eks ISIS

Artikel Trending

Milenial IslamJihad Toleransi dan Kemanusiaan Kita untuk 600 WNI Eks ISIS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Polemik pemulangan 600 WNI Eks ISIS timbul pro kontra di kalangan elit negara, dan stakeholder masyarakat. Sikap pro kontra itu semata-mata ibarat perang Baratayuda yang penuh emosi, rasa benci. dan intoleransi. Sehingga, sikap toleransi kita yang kontra hanya membawa masalah besar dalam cara pandang beragama dan bernegara.

Kontra alias menolak, itu menunjukkan sikap kita yang radikal. Harusnya kita sebagai umat beragama lebih berpikir moderat. Caranya, membuka hati nurani sedalam-dalamnya untuk memaafkan sebagian warga Eks ISIS yang telah menyadari dan ingin berhijrah ke jalan yang benar. Karena jalan kebenaran lazimnya membangun masyarakat adil dan perdamaian (islah).

Negara dalam hal ini pemerintah dan civil society memang dituntut memiliki pendirian yang tegas demi stabilitas nasional. Namun, dengan cara pemerintah cuci tangan dan menolak kepulangan mereka sama saja menunjukkan pemerintahan dianggap lemah oleh negara-negara lain, sebab tidak memiliki kemampuan melindungi 600 WNI Eks ISIS.

Lalu, penulis bartanya. Di mana toleransi dan kemanusiaan kita untuk 600 WNI Eks ISIS?  Apakah negara dan masyarakat yang kontra berlagak layaknya orang yang tidak beragama? Negara harus melindungi agama. Begitu pula, masyarakat sebagai warganya meskipun pernah melakukan kesalahan. Akan tetapi, itikad baik itu muncul dengan cara mereka sadar, hijrah, dan meminta maaf.

Hadis Nabi menegaskan terkait siapa pun di antara kita sebagai makhluk Tuhan yang maha pemaaf (العفو) tidak akan pernah luput dari dimensi kesalahan maupun kekhilafan. (الإنسان محل الخطأ والنسيان). Artinya, manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Dan setiap kesalahan itu lumrah terjadi pada diri kita sendiri.

Dalam konteks ini, penulis mencermati rasa benci, dan intoleransi masyarakat sudah berkarat hingga menutup kebenaran hati nurani dan tujuan kita dalam beragama. Jika parameternya adalah ISIS lantas tidak kemudian menggeneralisir rasionalitas penilaian warga yang sebagian sudah sadar dan meminta maaf.

Oleh karena itu, agama hendaknya sebagai nasehat untuk saling mendamaikan, dan memaafkan. Sungguh pemikiran kita yang emosional tidak mampu berpikir dengan bijaksana dan terlalu mentuhankan kesalahan mereka yang kita sendiri bukan Tuhan. Kita sebagai umat alias masyarakat biasa yang tidak memiliki kesempurnaan hanya bisa menilai kesalahan orang dan menghakimi hingga menvonis 600 WNI Esk ISIS itu bersalah seumur hidup.

Krisis Toleransi dan Kemanusiaan

Terkadang pemerintah dan masyarakat itu tidak bisa membedakan antara lemah dan bijaksana, antara toleransi dan intoleransi, antara kesalahan dan kemanusiaan, antara radikal dan moderat, serta antara beci dengan cinta. Benih-benih kata inilah yang membuat rasa cinta kepada kemanusiaan itu tertutup akibat kebencian tersebut.

Yusuf al-Qardawi sebagai ulama Mesir merumuskan tentang esensi persaudaraan dalam Kaifa Nata‘âmal ma‘a al-Qur’ân al-‘Aîm? (1999: 118-119). Pertama, persaudaraan kemanusiaan (ukhwah insaniyah), persaudaraan sesama umat Islam (ukhwah Islamiyah), dan persaudaraan kebangsaan (ukhwah wathaniyah).

BACA JUGA  Remoderasi Pendidikan di Indonesia

Kalau kita telaah, pemulangan 600 WNI Eks ISIS itu lebih dari sekedar persaudaraan keislaman dan kebangsaan. Yaitu, persaudaraan kemanusiaan yang selama ini Presiden ke-4 kiai Abudrrahman Wahid alias Gusdur mendeklarasi narasi politik kemanusiaan. Artinya, politik tidak ada yang lebih penting dari sekedar urusan kemanusiaan.

Selain itu, Ridwan Kamil Gubernur Jawa Barat menerima 600 WNI Eks ISIS untuk dipulangkan, “ingin warga kami kembali hidup normal seperti biasanya membangun negeri ini dengan ideologi Pancasila, tentunya sama-sama membangun dengan masyarakat. Ialah warga sendiri asal insaf dan tidak melakukan lagi kegiatan-kegiatan yang illegal”. (Kompas TV 06/02/20)

Sikap Ridwan Kamil tidak hanya mencerminkan pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan. Lebih dari itu, berpikir moderat dan proporsional, karena telah menerima semua kalangan. Terutama 600 WNI Eks ISIS walau masih sebagian sadar dan memiliki keinginan untuk kembali membangun NKRI.

Padahal, kewajiban kita sebagai umat yang diperintah oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun umat moderat (ummatan wasathan). Khususnya umat Islam yang memiliki agama untuk membawa moderasi di dalam cara berpikir umat peradaban manusia. Peradaban kemanusiaan itu bisa dengan bersikap rendah hati, dan bersikap pemaaf.

Menampung 600 WNI Eks ISIS di Pesantren

Pemerintah perlu mendorong pemulangan 600 WNI Eks ISIS, pemulangan ini tentu berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan negara agar ada penyaringan. Karena itu, sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah. Salah satunya dengan melakukan peratasan, dan membina dan mempesantrenkan warga yang telah terpapar.

Menurut hemat penulis, ada beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah pasca semua 600 WNI pulang ke Indonesia. Pertama, langkah deideologisasi. Artinya, seberapa besar pengaruh ideologi ISIS sudah tertanam dalam pemahaman mereka. Kedua, langkah deradikalisasi. Artinya, pemutusan pengaruh radikalisme dan terorisme ISIS yang selama ini tertanam dalam pikirannnya.

Ketiga, mendorong pemerintah untuk bekerjasama dengan pihak ormas Islam moderat, dan kiai Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam rangka memberikan edukasi terkait wawasan kebangsaan, dan keagamaan. Agar tidak lagi menganggap negara ini sebagai thaghut dan menentang ideologi negara. Yaitu, Pancasila.

Penulis meyakini bahwa pemerintah mampu melakukan tiga terobosan tersebut tanpa harus kemudian menolak kembalinya 600 WNI Eks ISIS ke Indonesia. Juga masyarakat yang masih bersikap kontra tentu harus lebih berpikir bijaksana, toleran dan berkeperimanusiaan. Karena jika hanya emosi seolah-olah kita ibarat orang yang tidak beragama dan yang muncul hanyalah sikap balas dendam dan tidak mau memaafkannya.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru