27.8 C
Jakarta

Janji Politik dari Seorang Calon Wajibkah Ditunaikan?

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamJanji Politik dari Seorang Calon Wajibkah Ditunaikan?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. – Pesta demokrasi akhir-akhir ini telah menggeluti di seluruh fasilitas publik, mulai dari liputan televisi, koran, surat kabar dan bahkan di media sosial, untuk menarik perhatian masyarakat dalam memilih paslon yang diusung. Sementara itu tim suksesnya menggunakan cara yang sangat efektif, diantaranya adalah mengumbar janji-janji manis di hadapan masyarakat.

Untuk menarik simpati para pemilih mereka memakai beragam cara yang memang menjadi harapan masyarakat, mulai dari memberantas korupsi, memajukan ekonomi bahkan sampai memberikan makan dan susu secara gratis kepada masyarakat. Namun demikian dalam waktu yang lain, janji yang begitu manis belum tentu dapat direalisasikan dalam kehidupan.

Lantas apa hukum mengumbar janji manis seperti yang telah disebutkan?

Syaikh Syamsuddin bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdil Kholik dalam kitabnya yang berjudul Jawahir al-Uqud menyatakan bahwa ulama sepakat tentang memenuhi janji kebaikan merupakan hal yang diperintahkan.

وَأَجْمعُوا على أَن الْوَفَاء بالوعد فِي الْخَيْر مَطْلُوب وَهل هُوَ وَاجِب أَو مُسْتَحبّ فِيهِ خلاف ذهب أَبُو حنيفَة وَالشَّافِعِيّ وَأحمد وَأكْثر الْعلمَاء إِلَى أَنه مُسْتَحبّ فَلَو تَركه فَاتَهُ الْفضل وارتكب الْمَكْرُوه كَرَاهَة شَدِيدَة وَلَكِن لَا يَأْثَم وَذهب جمَاعَة أَنه وَاجِب مِنْهُم: عمر بن عبد الْعَزِيز وَذهب الْمَالِكِيَّة مذهبا ثَالِثا: أَن الْوَعْد إِن اشْترط بِسَبَب كَقَوْلِه: تزوج وَلَك كَذَا وَنَحْو ذَلِك وَجب الْوَفَاء بِهِ وَإِن كَانَ الْوَعْد مُطلقًا لم يجب

Artinya: “Ulama sepakat bahwa memenuhi janji kebaikan merupakan perkara yang diperintahkan, namun ulama masih berselisih apakah hukumnya wajib atau disunnahkan, imam Abu Hanifah, imam Syafii dan imam Ahmad serta mayoritas ulama berpendapat bahwa memenuhi janji kebaikan merupakan perkara yang disunnahkan dan andaikata janji tersebut diingkari maka dia telah meninggalkan keutamaan serta melakukan perkara yang sangat dimakruhkan namun dia tidak berdosa, sebagian kelompok yang lain berpendapat bahwa memenuhi janji kebaikan merupakan perkara yang diwajibkan dan ini merupakan pendapat Umar bin Abdul Aziz, sedangkan menurut kalangan madzhab Maliki berpendapat bahwasanya jika janji tersebut digantungkan dengan suatu syarat maka hukumnya wajib untuk memenuhi janjinya contohnya adalah menikahlah maka aku akan memberikan kamu demikian, dan jika janjinya mutlak dalam artian tidak digantungkan dengan suatu syarat maka tidak wajib untuk memenuhi janjinya”.

Dari keterangan yang telah disebutkan, terdapat sebagian ulama yang masih berselisih pendapat mengenai tentang hukum memenuhi janji. Ada yang mengatakan sunnah. Ada pula yang mengatakan wajib dan juga ada yang mengatakan wajib dengan beberapa rincian.

BACA JUGA  Bolehkah Driver Ojol Pria Membonceng Perempuan Bukan Mahram?

Namun jika pasangan calon berjanji hanya untuk menarik simpati masyarakat dan dia bertekad untuk tidak memenuhi janjinya maka hal ini disebut perbuatan yang munafik sebagaimana dicantumkan dalam kitab Tuhfat al-Ahwadzi.

فَإِنْ كَانَ عِنْدَ الْوَعْدِ عَازِمًا عَلَى أَنْ لَا يَفِيَ بِهِ فَهَذَا هُوَ النِّفَاقُ

Artinya: “Jika seseorang bertekad untuk mengingkari janjinya ketika berjanji maka ini merupakan kemunafikan”.

Perintah untuk menunaikan janji memang telah dijelaskan oleh Rasulullah. Rasullullah SAW menyebutkan bahwa ciri-ciri kemunafikan seseorang adalah mengingkari janji. Hal ini telah disebutkan oleh imam Bukhari dalam sebuah hadis di dalam kitab Shohih al-Bukhari.

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ خَالِدٍ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُرَّةَ، عَنْ مَسْرُوقٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا – أَوْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ أَرْبَعَةٍ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ – حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ “

Artinya: “Bisyr bin Khalid menceritakan kepada kita, Muhammad bin Jafar menginformasikan kepada kita dari Syubah dan Sulaiman dari Abdullah bin Murrah dari Masruq dari Abdillah bin Amr radliyalluanhuma, dari nabi Muhammad bahwa beliau bersabda: “Ada 4 golongan orang munafik (jika mengerjakan salah satunya maka disebut munafik) yang pertama adalah apabila dia berbicara maka dia berdusta, yang kedua adalah apabila dia berjanji maka dia mengingkari, yang ketiga adalah apabila ia melakukan kesepakatan maka ia ciderai, dan yang keempat adalah apabila dia bercekcok maka dia melakukan kecurangan”.

Terlepas dari itu semua, segala bentuk kebijakan dari seorang pemimpin haruslah berpijak kepada kemaslahatan umat, janji merupakan rencana ke depan bagi seseorang. Namun rencana bisa berubah sebab suatu kondisi yang mendasarinya sehingga memprioritaskan maslahat merupakan langkah yang tepat dari pada menunaikan janji jika nanti akan berujung kepada dampak negatif yang akan dirasakan, terlebih lagi bagi seorang pemimpin dimana dia mendapat amanah yang begitu besar dari masyarakat.

Menyikapi hal ini, terdapat kaidah yang masyhur dikalangan ulama bahwa segala bentuk kebijakan pemimpin harus bertendensi kepada kemaslahatan rakyat, sebagaimana disebutkan oleh imam Suyuthi dalam kitab Asyhbah wan Nadzair.

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Artinya: “Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus berpijak kepada maslahat”.

Oleh Muhammad Ali Imron

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru