27.2 C
Jakarta

Jalan Damai Wali Nusantara

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuJalan Damai Wali Nusantara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul: Wali Nusantara: Jejak Perjalanan Syiar, Penulis:  Jurnalis Tempo, Penerbit      : Kepustakaan Populer Gramedia, Tebal Buku: 118 halaman, Cetakan: Pertama, Juli 2020, ISBN: 978-602-481-442-7, Peresensi: Nur Kholis.

Harakatuna.com – Sudah jatuh ditimpa tangga. Begitulah kira-kira kondisi bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Ya, di saat badai pandemi meluluhlantakkan sendi kehidupan bangsa ini, baik ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya. Bersamaan dengan hal itu, kasus diskriminasi dan intoleransi di negeri ini semakin tumbuh subur. Ironisnya, dari tahun ke tahun kasus tersebut tidak semakin berkurang, malah semakin konsisten bertambah dan kian tinggi.

Diskriminasi dan Intoleransi Kian Subur di Masa Pandemi

Setara Institute dalam risetnya yang berjudul “Intoleransi Semasa Pandemi”, menyebutkan bahwa pandemi menjadi lahan subur tumbuhnya diskriminasi dan intoleransi. Lembaga yang memiliki jargon Institute for Democracy and Peace itu mencatat, sepanjang tahun 2020, terjadi 180 pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) dengan jumlah total 422 tindakan. Sementara pelanggaran KBB itu tersebar di 29 Provinsi di Indonesia, yang mana Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Aceh menduduki peringkat 3 besar.

Bahkan, baru-baru ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan viralnya video intoleransi yang terjadi di kawasan erupsi Gunung Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Dalam aksi tersebut terekam seorang pria menendang dan merusak sesajen sembari mengatakan bahwa keberadaan sesajen-sesajen inilah yang mengundang murka Tuhan.

Tentu saja aksi demikian sangat disayangkan sebab tidak sejalan dan bertentangan dengan spirit toleransi dan moderasi beragama yang dipegang teguh oleh bangsa Indonesia. Maka itu, tidak mengherankan apabila tindakan pria tersebut dikecam keras oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Menyadari akan maraknya intoleransi yang kian tinggi di negeri ini, agaknya menggugah hati redaksi Tempo untuk melakukan liputan khusus tentang para tokoh Islam di Nusantara. Yakni para tokoh penyebar Islam dengan jalan damai, tokoh yang memiliki andil dalam mewujudkan kehidupan yang toleran, harmonis, dan penuh welas asih. Liputan-liputan itu kemudian disatukan, menjadi sebuah buku dengan judul Wali Nusantara: Jejak Perjalanan Syiar (2020).

Bagi saya, apa yang dilakukan oleh redaksi Tempo dalam konteks ini merupakan ide yang brilian. Pasalnya, di tengah kondisi pengap, panas yang disebabkan oleh banyaknya aksi intoleransi dan diskriminasi, tentu dibutuhkan oase untuk meredamnya.

Dalam hal ini, langkah redaksi Tempo sudah tepat, mengisahkan para tokoh terdahulu yang dapat mendinginkan suasana, juga membuka sejarah dan cakrawala bagi bangsa untuk kemudian dapat dijadikan sebagai contoh atau role model dalam hidup bernegara dan beragama.

Jejak Wali Pembawa Kasih

Muhammad Khoiril Anwar dalam artikelnya yang berjudul Peran Ulama di Nusantara Dalam Mewujudkan Harmonisasi Umat Beragama (2016), menjelaskan bahwa para ulama nusantara dalam dakwahnya selalu menemukan cara-cara yang unik, harmonis, simpatik, dan selalu mengundang kekaguman masyarakat setempat.

Mereka sama sekali tidak pernah mengolok-olok atau bahkan menyerang keyakinan yang dipeluk oleh masyarakat kala itu. Sebab, menurutnya, menyerang keyakinan tidak akan membuat masyarakat mendekat malahan akan semakin menjauh atau minggat.

Alhasil, ulama-ulama dahulu berhasil mencuri hati masyarakat sehingga sebagian besar di antara mereka berbondong-bondong memeluk Islam. Agaknya tanpa keuletan, kepekaan sosial, dan kecerdasan para ulama, rasanya sulit untuk mewujudkan harmonisasi antar umat beragama.

BACA JUGA  Mengoreksi Kaum Jihadis dalam Memahami Hadis

Dalam buku ini terdapat 11 kisah ulama Nusantara penyebar Islam dengan jalan kasih. Mereka adalah sekian dari ulama yang mempunyai pengaruh besar pada zamannya. Di antaranya adalah Abdurrauf Al-Singkili, Syekh Burhanuddin Ulakan, KH. Tubagus Muhammad Falak bin Abbas, Syekh Abdul Muhyi, Sunan Prapen, Waliyah Zainab, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Patitimang, Datuk Ri Tiro, dan Syekh Yusuf al-Makassari.

Abdurrauf Al-Singkili, Tabib Kompleks Prostitusi

Di Aceh, tepatnya di Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh terdapat ulama yang sangat dihormati. Hingga saat ini makamnya tidak pernah sepi, selalu ramai diziarahi, ulama itu bernama Syekh Abdurrauf Al-Singkili.

Masyarakat Aceh menyebutnya dengan panggilan Syiah Kuala. Nama tersebut kemudian diabadikan menjadi nama kampus tertua di Aceh, yakni Universitas Syiah Kuala. Menurut Azyumardi Azra, Syiah Kuala adalah ulama besar yang menjadi guru dari banyak wali di Nusantara (hlm. 3).

Selain dikenal sebagai ulama yang alim, Abdurrauf Al-Singkili juga misuwur sebagai tabib. Ia mempunyai kesaktian yang tidak dimiliki seorang pun pada waktu itu. Berbekal kesaktian itu, ia berdakwah dan mengajarkan Islam di kompleks pelacuran. Melalui cara itu, sedikit demi sedikit, kompleks pelacuran tersebut berubah, menjelma menjadi tempat yang nyaman, pelacuran pun hilang tak berbekas.

Syiah Kuala merupakan perintis atau mursyid dari ajaran tarekat Syattariah di Nusantara. Selain itu, ia juga dikenal sebagai ulama yang produktif menulis. Di antara karya-karyanya adalah Mir’at at Tullab Fi Tashil Ma’rifat Ahkam Asy-Shar’iyyah Li al-Malik al-Wahab, sebuah kitab fikih sosial yang ditulis dengan aksara Arab-Melayu, menganut madzhab Syafii. Ia juga tercatat sebagai ulama pertama yang menulis kitab tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Melayu, kitab itu berjudul Tarjuman al-Mustafid.

Wali Perempuan dari Pulau Bawean

Tak banyak yang tahu akan kisah perjuangan ulama perempuan dalam penyebarkan Islam. Satu dari ulama perempuan yang terekam sejarahnya adalah Waliyah Zainab di Pulau Bawean, sebuah pulau yang letaknya di sebelah utara Gresik dan Lamongan, Jawa Timur. Masyarakat setempat meyakini bahwa Zainab adalah seorang wali. Makam Waliyah Zainab yang berada di kompleks Masjid Diponggo tak pernah sepi dari kunjungan peziarah.

Salah satu peninggalan Waliyah Zainab yang masih lestari sampai saat ini adalah puyahale. Puyahale adalah tradisi warga desa untuk memanjatkan doa keselamatan kepada Allah. Tradisi tersebut tak ubahnya seperti arak-arakan mengelilingi kampung.

Hanya saja, dalam tradisi ini masyarakat berjalan mengelilingi kampung dengan melantunkan zikir serta membawa pusaka peninggalan dari Waliyah Zainab. Konon, di sepanjang jalan, masyarakat menyediakan berbagai aneka makanan sebagai jamuan. Meski tradisi ini sempat vakum 20 taun, namun kini, Puyahale kembali dijalankan.

Alhasil, buku ini merekam sepak terjang para wali penyebar Islam dengan jalan damai dan penuh welas asih. Membaca buku ini kita akan tahu bagaimana cara dan pendekatan para ulama dahulu dalam menyemai perdamaian dan persatuan di Nusantara.

Nur Kholis
Nur Kholis
Mahasiswa KPI Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru