30.8 C
Jakarta

Isu Kekacauan Politik, Senjata Indoktrinasi Aktivis Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamIsu Kekacauan Politik, Senjata Indoktrinasi Aktivis Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ada yang menarik dalam situasi politik hari ini. Narasi tentang gemoy, asam sulfat, ndasmu, bahkan politik identitas sangat riuh seperti narasi cebong-kampret saat Pemilu 2019 lalu. Tak kalah menarik juga, para buzzerRp Jokowi pecah kongsi—berbalik melawan junjungannya. Sementara, segelintir tokoh islamis yang dukung Prabowo pada Pilpres lalu, seperti Haikal Hassan, justru dukung Gibran. Kondisi ini kemudian disebut “carut marut politik”.

Siapa dalang di balik isu soal kekacauan politik itu dan apa kepentingan mereka? Ada dua kemungkinan. Yang pertama adalah oposisi politik. Sementara yang kedua adalah oposisi ideologi. Dua pihak ini mesti dibedakan, karena narasi yang mereka ciptakan punya orientasinya sendiri. Oposisi politik punya tujuan mengalahkan lawan politik, sementara oposisi ideologi ingin merombak sistem politik secara keseluruhan.

Sebagai contoh, ketika Gibran dianggap sebagai strategi politik dinasti Jokowi. Indikasi ke arah kedinastian memang ada, karena cara-cara tidak etis yang digunakan untuk pencalonan Gibran. Masyarakat semuanya tahu hal itu. Namun yang perlu dicatat, di antara yang membesar-besarkan indikasi tersebut sebagai ancaman terbesar yang harus dilawan bersama, ada lawan politik Gibran yang juga memanfaatkan narasi tersebut.

Sementara oposisi ideologis tidak seperti itu. Mereka beranggapan bahwa kekacauan politik hari ini tidak berasal dari paslon tertentu, melainkan dari sistem politik itu sendiri. Bagi mereka, solusinya juga dengan memilih paslon tertentu, tetapi dengan merombak sistem tersebut. Lalu apa sistem politik yang tidak kacau, dalam pandangan mereka? Tidak lain adalah “sistem Islam”. Dan sistem Islam yang mereka maksud ialah “khilafah”.

Ujung-ujungnya khilafah. Namun strategi semacam itu sangat efektif, apalagi untuk kalangan remaja. Cara para aktivis khilafah melakukan indoktrinasi ialah berangkat dari kondisi aktual, baik fakta maupun bukan. Yang terpenting bisa meyakinkan semua orang bahwa saat ini, bersamaan dengan carut-marutnya politik tanah air, masyarakat butuh penegasan khilafah sebagai solusi sistem politik—yang dapat menyelesaikan permasalahan.

Infiltrasi Aktivis Khilafah

Sebagaimana telah disinggung dalam tulisan sebelumnya, bahwa dalam setiap momentum, Indonesia selalu disusupi aktivis khilafah. Hari ini, mereka menyebarkan narasi bahwa politik di tanah air sedang kacau, dan satu-satunya solusi adalah menerapkan khilafah. Memang tampak sebagai wacana islami, namun kita perlu mengajukan pertanyaan kritis dan menyelidiki dampak sebenarnya dari infiltrasi tersebut.

Narasi bahwa “politik kacau”, realitas atau propaganda? Aktivis khilafah kerap mengecam situasi politik di Indonesia sebagai kacau dan bobrok, tanpa memberikan pemahaman memadai tentang konteks dan tantangan yang dihadapi oleh negara ini. Sebagai masyarakat yang cerdas, kita perlu membedakan antara kritik yang konstruktif dan narasi politik yang hanya bertujuan untuk menyesatkan—sebatas propaganda.

BACA JUGA  Agresi Wahabi dalam Kamuflase Salafi, Awas Jangan Tertipu!

Bagaimana dengan solusi monolitik, bahwa khilafah merupakan jawaban atas segala kekacauan di Indonesia? Mengusulkan khilafah sebagai satu-satunya solusi politik jelas terlalu simplistis. Prinsip dasar negara, Pancasila, itu sudah final dan tidak bisa dilabrak. Sekalipun kondisi politik terkini kurang ideal dan tendensius, solusinya adalah perbaikan sistem, bukan perombakan sistem sebagaimana yang dipropagandakan.

Infiltrasi aktivis khilafah menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan multidimensional yang memerlukan solusi kompleks dan inklusif. Infiltrasi aktivis khilafah, dengan menawarkan solusi tunggal, tidak akan mampu mengatasi kompleksitas tersebut. Maka untuk menghadapi itu, dialog dan edukasi memegang peran penting. Ia membantu meredakan ketegangan dan mengajari masyarakat tentang nasionalisme.

Intinya, dalam menilai infiltrasi aktivis khilafah, kita harus menjaga kewaspadaan dan memahami bahwa solusi terhadap isu kekacauan politik tidak dapat disederhanakan menjadi satu konsep atau ideologi. Keberagaman dan kebhinekaan adalah kekuatan Indonesia, dan semuanya harus bersama-sama menjaga landasan ideologis negara Pancasila untuk mencapai kemajuan dan selamat dari indoktrinasi.

Memperbaiki Citra Politik

Citra politik senantiasa sesuai dengan situasi politik saat itu. Saat musim Pemilu dengan berbagai intriknya, sebagai contoh, citranya anjlok. Artinya, citranya fluktuatif. Bisa baik dalam suatu waktu, juga bisa buruk ketika itu juga. Untuk itu, memperbaiki citra politik tidak boleh bersifat insidental. Perbaikan yang dimaksud mesti bertolak dari prinsip dasar politik itu sendiri, bukan dari imejnya yang situasional.

Dalam perspektif Islam, prinsip dasar politik ialah kedaulatan, keadilan, musyawarah dan ijmak, kesetaraan, hak-kewajiban negara dan rakyat, dan amar makruf nahi munkar. Namun dalam perspektif hukum positif, prinsip dasar politik hanyalah kedaulatan, keadilan, musyawarah, dan kesetaraan. Jika situasi politik kontradiktif dengan prinsip-prinsip tersebut, maka citranya telah rusak dan mesti diperbaiki.

Misalnya, jika terjadi pelanggaran terhadap prinsip keadilan atau musyawarah dalam pengambilan keputusan politik, maka citra politik menjadi tercemar. Putusan MK yang melanggar etika beberapa waktu lalu? Itu termasuk pencemaran citra politik, namun belum cukup kuat untuk dianggap kekacauan politik nasional. Kalau pun mesti diperbaiki, pembenahan dilakukan pada penyelerasan atas prinsip, bukan perombakan sistem.

Itulah PR besar yang harus segera diselesaikan. Isu kekacauan politik selalu jadi senjata indoktrinasi aktivis khilafah, sementara masyarakat masih banyak yang tidak menyadari hal itu. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang terperosok ke jurang khilafahisme. Bayangkan betapa bahayanya, di tengah situasi politik yang butuh kiprah perbaikan, justru banyak yang ingin mendirikan khilafah sebagai politik alternatif. Hati-hati!Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru