30 C
Jakarta

Islam Ekstrem vis-à-vis Moderat tentang Makna Demokrasi di Medsos: Siapa yang Benar dan Siapa yang Harus Dilawan?

Artikel Trending

KhazanahPerspektifIslam Ekstrem vis-à-vis Moderat tentang Makna Demokrasi di Medsos: Siapa yang Benar...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Berbicara masalah konsep demokrasi di Indonesia, dengan masyarakatnya yang mabuk agama memiliki ciri khas bahwa segala aspek sosial acap kali juga dipotret dari segi agama. Terlebih tentang bagaimana respons kelompok-kelompok keagamaan (Islam?) yang hingga kini tidak memiliki titik temu, antara golongan ekstrem dan moderat dalam memandang suatu fenomena ataupun sistem pemerintahan, layaknya demokrasi.

Lalu, bagaimana keduanya memotret dan menafsirkan sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia?. Akankah cocok atau tidak sesuai dengan hukum Islam yang berlaku? Oleh karenanya, penting kiranya menilik lebih dalam bagaimana argumen mereka terkait sistem demokrasi dalam Islam, terlebih di media sosial yang menjadi wadah bertukar indormasi pada era modern.

Perlu kita pahami, bahwa kelompok ekstrem acap kali dijuluki militant, radikal, fundamentalis, jihadis dan fanatik. Akan tetapi, pandangan Abou el-Fadl lebih memilih mengunakan julukan puritan, yang artinya non-toleran terhadap banyaknya perbedaan sudut pandang dan cenderung menggunakan kekerasan atau paksaan dalam realitas dakwahnya. Bisa kita temui, keelompok ormas Islam Wahabi-Salafi, Front Pembela Islam, HTI, dan sejenisnya.

Sementara munculnya Islam moderat di Indonesia tidak lepas dari sejarah tersebarnya Islam melalui peran Walisongo, yang menggunakan media budaya tradisional dalam dakwahnya. Perbedaan dalam pandangan penganut Islam mederat dianggap sebagai keniscayaan yang harus disikapi dengan bijak, dan sunnatullah, demikian merupakan rahmah dalam berkehidupan sosial.

Sebagaimana yang juga diungkapkan Gus Dur yang juga membangun gagasan Islam yang ramah, sejuk, penuh kasih sayang dan damai. Bagi Gus Dur, terciptanya masyaakat yang demokratis, adil, toleran, beradab, dan tidak mendeskriminasi suku, agama, ras maupun golongan adalah inti beragama.

Pada pembahasan kali ini, sumber data tentang klaim perebutan makna dari kacamata Islam terkait “demokrasi” didapatkan dari akun media sosial kedua kubu tersebut. Dari kelompok ekstrem, penulis mencoba mengeskplore di website dan akun Instagram www.almanhaj.or.id, @almanhaj.or.id, @gemapembebasanjatim. Sedangkan golongan moderat dari www.nu.or.id, @ulama.nusantara, @nahdlatul.ulama.

Salafi dalam memandang sistem demokrasi tidaklah setuju, atau bahkan dianggap kafir, karena produk Barat. Pandangan mereka, demokrasi dinilai haram yang salah satunya diakibatkan dengan adanya sistem one man one vote, suara ulama sepadan nilainya dengan suara pezina, suara orang tidak sekolah setara dengan professor. Alasan lainnya karena adopsi dari dunia Barat, sehingga sistem demokrasi diklaim sebagai tasyabbuh terhadap golongan kafir.

Bertolak belakang dengan pendapat NU, bahwa pemilu merupakan mekanisme yang sah berdasarkan hukum agama dan negara. Di samping itu juga sebagai nashbul imamah, jalan memperbarui dan mengangkat mandat kepemimpinan. Golongan moderat NU pun mengajak seluruh masyarakat untuk ikut serta dalam pemilu dengan jujur, adil dan bersih.

Tanggapan kelompok Salafi terhadap demokrasi/politik sebagaimana di Indonesia dipandang sebagai tindakan dzalim, dan dikategorikan pelanggaran syariat. Hal ini karena kembali bersumber pada orang kafir Barat menurut mereka dan haram. Klaim Salafi di atas dalam hal ini mendapat respons yang bertolak belakang dari kaum moderat.

Sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Yahya Cholil Staquf atau acap kali dijuluki Gus Yahya, mengatakan bahwa pemilihan umum adalah momentum Nahdlatul Ulama dalam mengekspresikan aspirasi politiknya di berbagai daerah. Ini bisa dilimplementasikan warga NU dan menjadi kiblat yang baik di tengah-tengah masyarakat.

Nantinya menjadi bukti dunia luar bahwa sistem demokrasi Indonesia baik, beradap dan pelopornya merupakan NU sendiri. Dalam menyikapi panasnya pilpres 2019 lalu, golongan Islam moderat NU acap kali mengimbau untuk melakukan istighatsah dan doa bersama demi keselamatan bangsa dari keterpecahbelahan.

BACA JUGA  Bulan Ramadan Jadi Sarana Penyebaran Paham Radikal, Waspada!

Sementara politik dalam pandangan Salafi dianggap sebagai tindakan yang keji dan munafik. Dengan menyandarkan pada salah satu Imamnya, Syaikh Ali Bin Hasan Al-Halaby Al-Atsari As-Salafi, semakin membuat mereka anti politik di Indonesia. Syaikh Ali menghimbau para penganut manhaj Salafi untuk tidak masuk dalam kubangan politik bunglon.

Kemudian pernyataan Syaikh Al-Albani di website almanhaj.or.id, menyatakan bahwa jika politik merasuk ke dalam kelompok manusia, nantinya akan banyak mendatangkan kerusakan fiqih (fanatik mazhab), karena politik adalah permainan alias bunglon. Mereka juga meruju pada Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i yang menyatakan bahwa fanatik partai (hizbiyah) adalah penyebab pamungkas kebodohan umat Islam, karena mereka disibukkan hal tersebut dan tidak terpilih dari ilmu yang manfaat.

Salafi tidak perlu ikut gabung partai politik, rugi!” ujar Abu Qatadah dalam video berdurasi kurang dari satu menit di akun Instagram @almanhaj.or.id. Berpolitik/demokrasi menurut mereka tidaklah baik untuknya dan dipandang akan menimbulkan banyak kemudharatan.

Dalam hal ini, Emha Ainun Najib yang merupakan kalangan NU moderat yang pro-sistem demokrasi di Indonesia, dalam akun Instagram @ulama.nusantara ketika menanggapi pilpres 2019, ia menyatakan: “Apapun kesulitannya, apapun kekisruhannya, kita, khususnya warga NU, tetep berpihak pada persatuan bangsa Indonesia. Kita tetep berpihak pada kasih sayang satu sama lain”.

Data lain menunjukkan bahwa secara terang-terangan kaum ekstrem menyatakan bahwa sistem khilafahlah harus diterapkan di Indonesia, seperti halnya dalam postingan @gemapembebasanjatim berikut: “Khilafah ide pemuda”, Mahasiswa/Pemuda Adalah Penggerak Perubahan Menuju Sebuah Kehidupan Mulia Dengan Syari’ah & Khilafah”.

Meskipun khittah NU bukan pada ranah politik, akan tetapi menerima sistem demokrasi/pemilu dalam menentukan pemimpin negara/wilayah sangatlah penting, karena melihat realitas sosial di Indonesia masyarakatnya sangat beragam, baik agama, budaya, dan adat.

Bagi kalangan moderat NU, turut berpolitik bisa menjadi wajib kifayah yang kemudian bisa menjadi wajib ain, sebab hal ini yang mentukan the future of Indonesia, tidak hanya berkecimpung pada persoalan duniawi, namun juga pada persoalan agama.

Bagi Islam ala NU, kriteria pemimpin yang bisa dijadikan kepala negara/pemerintahan terdiri dari beberapa point yang layak dipilih, di antaranya yaitu: memiliki sifat adil, takwa dan jujur. Sebagaimana NU yang berpaham moderat, menurut Masdar Hilmy selaku Rektor UIN Sunan Ampel menyebutnya sebagai jalan tengah (midle-way atau middle-path).

Dari perebutan makna tersebut, manakah yang paling benar?. Akankah golongan Esktrem yang fanatik konservatif dan anti demokrasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa demokrasi adalah salah? Atau justru golongan moderat NU yang dinamis, pluralis, dan toleran, yang mampu meyakinkan muslim bahkan masyarakat Indonesia bahwa demokrasi adalah jalan yang tepat diterapkan dan tidak melanggar ketentuan Islam?

Lalu, sampai kapan perang pendapat semacam ini akan terus bergulir di tengah masyarakat. Sejatinya perlu disadari secara seksama bahwa salah satu langkah dalam mempertahankan negara yang juga menjadi wadah dalam menerapkan nilai-nilai dan norma adalah membangun sistem negara yang mampu diterima masyarakatnya, tidak hanya berpihak pada salah satu agama, namun lebih memberikan ruang pada yang berbeda keyakian dalam rangka merawat keharmonisan beragama dan bersosial.

Ali Mursyid Azisi, M.Ag
Ali Mursyid Azisi, M.Ag
Peneliti di Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation), Researcher di Nursyam Centre Indonesia & Pengurus Asosiasi Peneliti-Penulis Islam Nusantara se-Indonesia (ASPIRASI).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru