27.2 C
Jakarta

Ini Ternyata yang Sering Dilupakan Kelompok Radikal ketika Membaca Teks

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanIni Ternyata yang Sering Dilupakan Kelompok Radikal ketika Membaca Teks
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Dalam sebuah komunitas channel YouTube Ruang Tafsir Official terposting dua hal: Pertama, cadar bukan syariat Islam. Kedua, semua agama benar di sisi Tuhan. Saya pikir dua tema ini termasuk isu yang cukup sensitif diperbincangkan dari masa ke masa. Dulu seorang ilmuwan Nurcholish Madjid atau yang lebih akrab disapa dengan Cak Nur mengatakan dengan lantang bahwa semua agama memiliki kebenaran, karena agama itu bagaikan ragam jalan yang sama-sama mengantarkan pada satu tujuan, yakni Tuhan yang Esa.

Terlepas dari perdebatan stigma benar-sesat terkait isu cadar dan pluralisme agama, saya ingin menggarisbawahi isu tersebut: Pertama, Tuhan dan manusia sama-sama memiliki kebenaran, meskipun keduanya berbeda. Kebenaran Tuhan bersifat absolut (tidak dapat diganggu-gugat), sedang kebenaran manusia bersifat relatif (masih diperdebatkan). Sebagai kebenaran relatif, isu cadar dan pluralisme agama semestinya terus berlanjut diskusinya. Tidak dibenarkan, klaim penyesatan dan pengkafiran yang biasanya dialamatkan oleh kelompok fundamentalis yang cenderung berpikir terututup (eksklusif).

Saya memperhatikan dalam kolom komentar dipenuhi dengan mayoritas yang berpikir tertutup. Mereka dengan mudahnya menyerang argumentasi pluralisme agama dan cadar bukan syariat Islam dengan stigma sesat. Stigma negatif ini semestinya tidak disampaikan, karena argumentasi yang disampaikan oleh manusia bersifat relatif atau masih butuh didiskusikan. Meskipun isu itu didiskusikan dan menghasilkan suatu kesimpulan, sadarilah bahwa kesimpulan itu bukanlah sesuatu yang final. Masih perlu didiskusikan lagi dan lagi.

Kedua, argumentasi soal pluralisme agama dan cadar bukan syariat Islam hendaknya tidak melulu dipahami secara tekstualis. Pembaca atau, kalau di media sosial disebut dengan, netizen hendaknya melihat motivasi di balik teks tersebut. Motivasi ini biasanya diketahui dengan menanyakan langsung kepada penyampai teks. Pentingnya mengetahui motivasi ini persis seperti pentingnya mengatahui maksud teks Al-Qur’an yang sesungguhnya dari Tuhan sebagai pengarang.

Motivasi itu penting dilibatkan dalam membaca teks. Karena, kata Franz Magnis Suseno, kebenaran sesuatu hanya dapat dilihat dari motivasi (niyah) seseorang. Seorang yang berkata baik, tapi hati jahat, maka orang ini tidak dapat dikategorikan dengan baik, karena ia termasuk orang yang munafik. Apa yang ia katakan tidak seindah yang dilakukan. Kembali kepada persoalan pluralisme, bisa jadi penyampai memiliki motivasi untuk merangkul perbedaan agama yang ada di Indonesia, sehingga dengannya tidak ada agama yang paling dimuliakan dan yang lain dianaktirikan.

BACA JUGA  Berpuasalah, Agar Kamu Selamat dari Kejahatan Radikalisme

Ketiga, sebagai kebenaran yang relatif, isu pluralisme agama dan cadar dapat dipahami secara bebas. Istilah bebas ini bukan sekedar berargumentasi, tapi tidak memiliki landasan yang kuat atas argumentasi tersebut. Kebebasan berpendapat ini tentunya didukung dengan dua dalil, yaitu dalil aqly (imajinasi) dan naqly (teks). Kebebasan berargumentasi beririsan dengan kebebasan berpikir. Tuhan dalam Al-Qur’an sering mengajak dan menegur umatnya: Afala ta’qilun (Kenapa kamu tidak menggunakan akalnya?), afala tatafakkarun (Mengapa kamu berpikir?), dan seterusnya.

Nasehat Tuhan untuk menggunakan akal pikiran sehingga melahirkan argumentasi (ijtihad) yang bervariasi menjadi sesuatu yang penting diperhatikan. Pada masa dahulu banyak orang menjadi seorang filsuf dan sufi karena menggunakan akal pikirannya dengan bijaksana. Mereka merenungkan semesta, sehingga hadir imajinasi dan dari imajinasi itulah lahirlah ilmu pengetahuan. Begitu mereka menyatu dengan alam sementa, mereka semakin dekat dengan Penciptanya.

Tokoh yang saya maksud tak terhitung jumlah. Sebut saja, Imam Al-Ghazali. Al-Ghazali melalu pengembaran pengetahuannya dengan melewati langkap berpikir yang bijak. Sangat mustahil mengantarkan Al-Ghazali dikenal sebagai tokoh filsuf dan sufi bilamana ia tidak menggunakan akalnya. Berkat penggunaan akal pikiran tersebut, lahirlah banyak karya yang sebagian masih dapat dibaca sampai sekarang. Semisal, Ihya’ Ulum al-Din, Tahafudz al-Falasifah, al-Munqid min al-Dhalal, dan masih banyak yang lain.

Sebagai penutup, pembaca yang baik tidak pernah melupakan motivasi yang disisipkan dibalik teks. Sebab, motivasi itu adalah kebenaran yang sesungguhnya. Membaca teks tanpa menghadirkan motivasinya seakan manusia tanpa jiwa. Teks itu tidak bakal hidup sebagaimana yang diinginkan oleh pengarangnya. Lebih dari itu, dengan melihat motivasi di balik teks, pembaca akan dibawa dalam pengembaran yang luas, sehingga ia menjadi pembaca yang tidak gampang menyesatkan dan mengkafirkan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru