27.8 C
Jakarta

HUT Ke-78 RI: Merajut Kerukunan, Mencegah Perpecahan

Artikel Trending

Milenial IslamHUT Ke-78 RI: Merajut Kerukunan, Mencegah Perpecahan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tidak terasa besok adalah Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Republik Indonesia (RI). Setiap 17 Agustus, sejak sebulan sebelumnya biasanya sudah ramai. Tetapi entah kenapa, kali ini seperti adem ayem. Andai tidak lihat penanggalan, mungkin bakal ada yang lupa bahwa besok momentum kemerdekaan negara tercinta. Apa yang terjadi? Mengapa semarak kemerdekaan tidak seramai semarak Pilpres 2024 yang masih jauh?

Di Twitter, orang-orang seperti Ade Armando, Denny Siregar, Guntur Romli, dan sejenisnya, lebih giat membuat cuitan tentang Ganjar, Prabowo, dan segala narasi-narasi yang sehubungan dengan Pemilu. Sama sekali tidak ada cuitan tentang nasionalisme yang hari ini tampaknya semakin bergerak ke arah disintegrasi. HUT ke-78 RI bak tidak ada euforianya, atau ada tapi kalah telak dengan ramainya euforia politik.

Pada saat yang sama, kerukunan bangsa tidak menunjukkan tanda-tanda positif. Antarpartai juga sama. Antarumat beragama juga tidak ada bedanya. Jelas sekali bahwa perpecahan semakin menganga lebar dan tidak ada yang berupaya menambal hal tersebut. Di pelosok negeri, agama dijadikan senjata menebas kerukunan dari generasi ke generasi. Di ibukota, politik adalah segalanya: masa bodoh dengan persatuan.

Apakah negeri ini sudah benar-benar merdeka? Tampaknya, jauh panggang dari api. Sayang sekali bahwa pada momentum HUT ke-78, bangsa Indonesia masih seperti anak-anak rebutan kue: kue kekuasaan. Aspek lain, hukum misalnya, juga tidak kalah miris. Pemangkasan hukuman Sambo dan istri adalah preseden buruk hukum di negara ini. Tidak ada ketegasan. Uang menjajah segalanya.

Apakah itu saja masalahnya? Oh tentu tidak. Bersamaan dengan carut-marutnya realitas nasional, diam-diam para islamis pendukung khilafah juga tumbuh subur. Bisa dibayangkan, ideologi dan gerakan yang setua RI, ternyata masih eksis hingga sekarang. Hanya saja gerakannya lebih smooth, namun mereka sudah berhasil meradikalisasi masyarakat. Jadi jelas, PR besar kita pada HUT ke-78 RI adalah tentang integrasi.

Polarisasi Politik

Merajut kerukunan dan mencegah perpecahan memang terdengar klise. Namun apa yang dapat dilakukan di saat-saat seperti ini; ketika semuanya fokus terhadap politik kekuasaaan dan melupakan tugas-tugas nasionalisme? Tidak ada. Besok memang akan digelar upacara. Sayangnya, itu hanya seremonial belaka yang tidak lebih penting dari upaya merajut kerukunan dan mencegah perpecahan tersebut.

Nasionalisme hari ini masih mirip dengan nasionalisme emak-emak pengajian: hanya berlaku sementara. Saat upacara bendera digelar, mungkin semangat patriotisme membuncah, persis emak-emak yang saat pengajian berlangsung, religiusitasnya memuncak. Coba upacara selesai, esok hari dari 17 Agustus, buyar semuanya. Semua kembali ke setelan awal; saling bermusuhan, persis emak-emak pulang pengajian: lupa semua kata pak ustaznya.

Dahulu, saat negara ini menuju merdeka, rasisme itu tidak ada. Mau keturunan Arab, keturunan Tionghoa, semua bersatu memerdekakan Indonesia. Tapi hari ini, semua orang bisa melihat sesuatu yang bertolak belakang. Penghinaan kepada keturunan Arab menjadi-jadi, sama halnya juga yang menimpa keturunan Tionghoa. Jelas ini bukan contoh kecil. Ini masalah besar tentang pudarnya kerukunan akibat polarisasi politik.

BACA JUGA  Menciptakan Optimisme Politik, Memperbaiki Demokrasi

Kapan polarisasi ini akan berakhir? Mengapa yang semacam ini dirawat? Ini pertanyaan keheranan yang menyebalkan. Slogan HUT ke-78 RI adalah “Terus Melaju Untuk Indonesia Maju”, itu hanya slogan belaka. Laju bangsa kita hari ini bukan ke arah kemajuan, tapi ke arah perpecahan dan kehancuran. Dan semua itu karena politik yang tidak dewasa; saling sikut, saling bentrok, korupsi merajalela, dan lainnya.

Untuk itu, polarisasi akibat politik ini mesti segera diakhiri. Wajib. Fardu ain. Tidak dapat ditawar lagi. Ada sesuatu yang lebih besar daripada Pilpres 2024, yaitu menguatnya kebinekaan, Pancasila, dan UUD 1945. NKRI ini mesti dijaga tidak hanya dari aksi-aksi brutal teroris, tetapi juga dari intrik licik para politikus tamak dan koruptor. Tanpa itu semua, kemajuan hanya slogan belaka. Maka, upaya bersama menjadi niscaya.

Upaya Bersama

Perpecahan adalah ancaman yang selalu mengintai setiap negara, terutama yang memiliki keragaman seperti Indonesia. Di tengah perbedaan budaya, agama, dan suku, penting bagi Indonesia untuk terus merajut kerukunan bangsa sebagai fondasi yang kuat bagi kemajuan dan kesinambungan negara. HUT ke-78 RI ini menjadi saat yang tepat untuk merenung tentang bagaimana kita bisa menghadapi tantangan ini. Apa saja upayanya?

Pertama, keragaman sebagai kekuatan. Keragaman adalah salah satu aset terbesar Indonesia. Karenanya, HUT ke-78 RI ini mesti mengingatkan kita untuk tidak hanya merayakan kemerdekaan fisik, tetapi juga memupuk semangat kemerdekaan batin dalam bentuk kebebasan berpendapat dan beragama. Kedua, mengenali ancaman perpecahan. Ini harus segera disudahi, terutama yang digaungkan para buzzeRp.

Ketiga, menghadapi tantangan. Pendidikan tentang toleransi dan inklusivisme perlu dimasifkan sejak dini di sekolah. Selain itu, pemerintah dan masyarakat perlu kerja sama mempromosikan dialog antaragama dan budaya. Keempat, memiliki perspektif bersama. Seluruh bangsa Indonesia wajib memiliki mimpi dan harapan serupa, yaitu hidup dalam persatuan, perdamaian, keadilan, dan kemakmuran.

Kelima, menjaga semangat persatuan. Menghormati perbedaan dan gotong royong demi kesejahteraan bersama adalah kunci menjaga persatuan dan menghadapi segala tantangan yang ada. Ini mencakup upaya pemusnahan oligarki, karena mereka perampok kekayaan negara. Para oligarki itu derajatnya sama hina dengan teroris. Mereka sama-sama maling. Satu maling agama, yang satu maling negara.

Tentu, kelima upaya tersebut belum final. Masih ada upaya-upaya lainnya yang juga penting untuk dilakukan. Yang jelas, kerukunan harus dirajut kembali dan perpecahan harus dicegah bersama. Ini semua sebelum terlambat. Jika polarisasi politik kadung memorak-perandakan semuanya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Momentum HUT ke-78 RI ini mesti jadi titik tolak kesadaran bersama bahwa di tengah perpecahan, kemajuan hanya angan belaka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru