28.2 C
Jakarta

Hukum Perayaan Maulid Nabi dalam Islam

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamHukum Perayaan Maulid Nabi dalam Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. – Perayaan maulid nabi merupakan tradisi tahunan di berbagai belahan dunia khususnya Indonesia. Dari majelis ta’lim, masjid-masjid, lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, sampai pemerintah semua menggelar ritual tahunan ini. Bahkan di kampung-kampung, tak jarang seseorang secara mandiri mengadakan maulid nabi dengan mengundang tetangga dan sanak famili.

Namun demikian, masih saja terdapat beberapa pihak bahkan kelompok yang secara tegas mengharam-bid’ahkan perayaan maulid nabi. Alasannya tidak lain adalah karena tradisi tersebut tidak ada pada zaman nabi. Hal ini bisa jadi memicu keraguan di benak segelintir orang yang tidak punya wawasan keilmuan yang memadai sehingga dirinya pun ikut-ikutan membid’ahkan maulid.

Lantas bagaimana sesungguhnya hukum perayaan maulid dalam Islam?

Pernyataan bahwa tradisi perayaan maulid nabi yang kerap digelar saat ini tidak ada pada zaman nabi sesungguhnya benar. Akan tetapi dengan pengertian bahwa pada zaman nabi tidak ada perayaan maulid yang sama persis dengan perayaan maulid yang ada saat ini. Sebab nabi sendiri merayakan hari kelahirannya dengan cara berpuasa. Dengan demikian perayaan maulid sebenarnya sudah ada sejak zaman nabi hanya saja dengan format yang berbeda.

Terdapat satu hadis berkaitan dengan hal ini;

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ .” رواه مسلم

“Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (H.R. Muslim)

Dikatakan dalam kitab al-Hawi lil Fatawa bahwa perayaan maulid Nabi SAW besar-besaran dilakukan pertama kali oleh Raja Mudzafar, penguasa wilayah Irbil sekitar abad ke 6-7 Hijriyah. Ia seorang raja pemberani, pahlawan, alim, dermawan, dan adil. Ini menunjukkan perayaan maulid yang digelar bersama bukan sesuatu yang baru pada abad ini.

Kalaupun tetap dikatakan bid’ah, hukum perayaan maulid nabi tidak lalu otomatis haram. Sebab bid’ah terbagi menjadi dua macam; bid’ah sayyiah (harama dilakukan) dan bid’ah hasanah (boleh dilakukan). Dan perayaan maulid nabi tergolong bid’ah hasanah. Pasalnya, tak ada satu pun kemungkaran di dalam rangkaian acara perayaan maulid nabi yang ada saat ini. Yang ada hanyalah kebaikan-kebaikan, mulai dari shalawat, ceramah, hingga doa.

Abu Shamah, guru Imam Nawawi, menyatakan;

BACA JUGA  Bagaimana Hukum Fidyah Puasa Bagi Orang Hamil

”Termasuk hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah saw. dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah saw. dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah saw. kepada seluruh alam semesta”.

Bahkan Ibnu Hajar al-Haitami menyunahkan mengerjakan bid’ah hasanah dan perayaan maulid nabi, beliau mengatakan;

“Bid’ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah saw”.

Selain itu kita dianjurkan bergembira atas rahmat dan karunia Allah. Oleh karena itu perayaan maulid nabi merupakan ungkapan kegembiraan atas rahmat dan karunia Allah. Sebab kelahiran Nabi Muhammad Saw. membawa rahmat yang amat sangat besar. Allah berfirman;

قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS.Yunus:58).

Sebagai penutup, berikut ini adalah jawaban Imam Jalaluddin al-Suyuthi saat ditanya hukum merayakan maulid nabi;

عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبارالواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات، ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار  الفرح  والاستبشار بمولده الشريف

“Menurut saya, hukum pelaksanaan maulid Nabi, yang mana pada hari itu masyarakat berkumpul, membaca Al-Qur’an, dan membaca kisah Nabi SAW pada  permulaan perintah Nabi SAW serta peristiwa yang terjadi pada saat beliau dilahirkan, kemudian mereka menikmati hidangan yang disajikan dan kembali pulang ke rumah masing-masing tanpa ada tambahan lainnya, adalah bid’ah hasanah. Diberi pahala orang yang memperingatinya karena bertujuan untuk mengagungkan Nabi SAW serta menunjukkan kebahagiaan atas kelahiran Beliau.”

Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa perayaan maulid nabi yang saat ini bukanlah tradisi yang menyimpang melainkan sejalan dengan syariat. Minimal hukumnya mubah (boleh), tidak sampai makruh apalagi haram. Bahkan terdapat ulama yang menghukuminya sunah. Wallahu a’lam.

Oleh Faik

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru