31.9 C
Jakarta

Hindari Berpolitik dan Beragama yang Instan!

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanHindari Berpolitik dan Beragama yang Instan!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. perbincangan soal politik akhir-akhir ini menjadi isu yang cukup menarik. Pasalnya, pengangkatan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) cukup cepat sejak dia bergabung dengan partai berlambang bunga mawar ini selama dua hari sebelumnya. Selain itu, pendeklarasian Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto setelah menjabat sebagai wali kota Solo kurang lebih dua tahunan.

Beberapa pengamat dan politisi menilai seni berpolitik dua putra Presiden Jokowi ini cukup instan, jika meminjam bahasa politisi Adian Napitupulu, ”politisi karbitan”. Terlepas saya pendukung Gibran-Kaesang atau tidak, saya tetap tidak suka dengan sesuatu yang serba instan. Kata anak zaman sekarang aja, ”Maka mie instan saja, tidak instan, masih perlu dimasak”. Masak mie instan itu merupakan bagian dari proses panjang sampai benar-benar mie itu siap dimakan.

Instan itu membuktikan bahwa di situ tidak ada proses (bila enggan berkata ”tidak menghargai proses”). Manusia yang terlahir kosong, masih butuh belajar untuk menjadi tahu, butuh bekerja untuk menjadi keras, dan butuh diuji untuk menjadi tangguh. Mahasiswa akan layak menyandang predikat kelulusan jika melalui proses yang cukup panjang dari mulai ikut kuliah dengan dosen, hingga menyelesaikan tugas akhir berupa hasil penelitian yang disebut dengan skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3), bahkan penelitian ini harus dinyatakan lulus oleh beberapa penguji.

Instan dalam segala hal itu cukup membahayakan, apalagi dalam hal politik dan agama. Dalam hal politik, semua warga negara diberi amanah untuk mengelola sebuah negara. Bagaimana bisa negera sebesar Indonesia dipimpin oleh orang yang belum menguasai tata kelola suatu negara? Bukankah negara butuh pemimpin yang cerdas dalam melihat masa depan negara akan dibawa ke mana? Bahkan kecerdasan suatu pemimpin akan mengantarkan dia mengerti dalam membangun relasi dengan negara lain. Negara ini akan mampu bersaing dengan negara luar tanpa selalu menjadi konsumen saja, melainkan jadi produsen.

Kecerdasan dalam memimpin suatu negara membutuhkan perjalanan panjang. Pemimpin ini harus sudah melewati proses berdarah-darah dalam belajar. Dia bukan hanya belajar teori tapi mampu mempraktikkan dari teori itu. Belajar ini butuh guru dan guru itu tidak melulu manusia, tapi pengalaman yang mengajarnya menjadi pribadi yang mampu berpikir cerdas. Tentunya, pengalaman sebagai guru terbaik tidak bakal memberikan teori pembelajaran hidup dalam waktu yang relatif singkat. Perhatikan saja berapa lama Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam mengumpulkan dan menyeleksi hadis-hadis Nabi sehingga karya dari dua ulama ini mendapatkan penilaian sebagai kitab shahih dalam ranah hadis.

BACA JUGA  Hal Paling Penting Diperjuangkan daripada Ribut Soal Pilpres, Apa Itu?

Instan dalam hal agama pun tidak dibenarkan. Bayangkan saja bagaimana jadinya hidup ini jika ulama-ulama yang mengajar adalah mereka yang instan dalam belajar. Baru belajar dua tahun sudah ”sok” alim sehingga dengan congkaknya menyalahkan ulama yang sudah belajar berpuluh-puluh tahun dan memiliki konsentrasi di bidangnya. Buktinya, ada beberapa orang, yang oleh jamaahnya, dipanggil dengan sebutan ”ustaz” sudah berani menyalahkan argumentasi M. Quraish Shihab yang sudah belajar lama dari suatu pesantren hingga perguruan tinggi. Ini cukup berbahaya ustaz instan semacam itu!

Ulama yang cukup mendalam ilmu keagamaannya dan proses pembelajarannya ditempa dengan jangka waktu yang cukup panjang, bukan instan, tidak bakal dengan mudahnya menyalahkan orang lain yang berbeda pemikiran dengannya. Buktinya, Kyai Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan Kyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) tidak pernah saling menyalahkan atas perbedaan mereka. Bahkan, yang getol saling menyalahkan adalah pengikutnya. Para pengikut ini merasa organisasinya yang paling benar dan yang lain adalah salah. Padahal, kebenaran itu relatif, bukan absolut. Jadi tidak boleh memaksakan kebenaran kepada orang lain.

Sebagai penutup, hindari melakukan sesuatu secara instan. Karena, sesuatu yang instan belum teruji kualitasnya, sehingga rentan mengalami kerusakan di kemudian hari. Jika begitu, akan hadir sebuah penyesalan dalam diri. Ingatlah ”kun fayakun” Allah yang menunjukkan bahwa Allah dalam menciptakan sesuatu melalui proses, bukan instan, meskipun Dia Maha Kuasa dalam melakukannya.[] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru