Harakatuna.com. Mataram – Kurang dari sepekan, sebanyak enam terduga teroris ditangkap Densus 88 di tiga daerah di Nusa Tenggara Barat (NTB). Para terduga teroris itu bahkan terindikasi membuat sekolah atau pondok pesantren (ponpes) sendiri yang berpotensi menyebarkan paham radikalisme.
Hal itu diungkapkan oleh Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri (Kesbangpol) Provinsi NTB Ruslan Abdul Gani. Dia menduga bahwa para anggota jaringan terorisme di sana sengaja membuat sekolah non formal atau pesantren untuk menyebarkan paham radikalisme. Hal ini yang berusaha dicegah pemerintah.
“Kami usahakan jangan lagi dia (paham radikalisme) membuat sekolah sendiri. Nanti dia buat program sendiri. Nah ini yang akan kami coba lakukan pendekatan,” kata Ruslan, Selasa (24/10/2023).
Pendekatan yang dimaksud Ruslan adalah pendekatan masyarakat agar menghindari paparan paham radikal. Paham seperti ini bisa saja segi ekonomi, sosial, budaya, serta aspek lainnya.
“Kami masuki semuanya. Itu yang perlu terus berikan pemahaman. Caranya kami pertama mulai dari segi sekolah. Kami usahakan (anak-anak) masuk ke sekolah umum,” ujarnya.
Sejauh ini kata Ruslan belum ada sekolah umum di NTB yang teridentifikasi terpapar paham radikalisme atau paham terorisme.
“Itu tidak ada ya. Maksudnya saya. Jangan sampai misalnya kelompok-kelompok ini nanti akan membuat pondok sendiri, terus sekolah di sana,” ujarnya.
Dia pun meminta kepada seluruh anak-anak di NTB untuk bersekolah umum yang terdaftar di pemerintah.
Ruslan menyebut penyebab utama masyarakat NTB terkontaminasi paham radikalisme dan terorisme, ditengarai setelah belajar dari luar negeri. Enam terduga teroris yang ditangkap itu, sebut Ruslan, pernah belajar di luar negeri lalu membawa paham radikalisme ke NTB.
“Tapi ini misalnya pergi ke Pakistan dan luar negeri tujuan belajar. Jelas itu terkontaminasi dari luar. Nah, paham itu harus disaring jangan diterima ompol-ompol di sini yang sudah menerapkan Bhineka Tunggal Ika,” kata Ruslan.