31 C
Jakarta

Hilangnya Nalar Waras di Zaman yang Tidak Jelas

Artikel Trending

Milenial IslamHilangnya Nalar Waras di Zaman yang Tidak Jelas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Persoalan politik dapat menguras nalar kita. Bahkan ada yang dengan fanatik mendukung capresnya sampai membela mati-matian kalau ada yang mengkritik atau meragukan capres yang dikukung. Saat ini kita dirundung surlpus kegaduhan, defisit kesunyian.

Ada juga di antara kita yang mendukung pasangan capres dan cawapres dengan penuh cinta. Atau, seketika ada yang iri kalau pesaing capres pilihannya ada yang lebih baik.

Pesta demokrasi kali ini dirayakan ingar-bingar, kurang tuntunan etis dan estetis. Agama diekspresikan dalam kerumunan dan kebisingan, miskin perenungan.

Tetapi, kita harus mengikuti laju zaman yang ramai dan madeni itu. Kita tak bisa menghindar, justru kita dipaksa menunaikan segala urusan dalam keramaian, terutama perenungan atas Tuhan.

Itulah ajaran Ibnu Atha’illah dalam kitab al-Hikam yang disyarahi Ulil Absar Abdalla, menjadi buku Menjadi Manusia Rohani (2019). Bahwa meditasi di keramaian memberikan nilai besar. Karena harus melewati banyak ujian, yaitu macam godaan dunia yang menakjubkan. Godaan untuk bersikap curang, korupsi, lalai, atau gangguan “agyaar” (sesuatu yang bisa mengganggu pikiran dan rohani seseorang), lupa terhadap kehidupan spiritualnya kepada sumber segala hakikat: Tuhan.

Jujur kita memang sering lupa karena terjepit kehidupan. Hingga akhirnya menunda mengingat, karena tak menemukan cara menyiasati di banyak urusan. Lantas Ulil menuliskan, “Sebaiknya kita tak perlu menunggu situasi untuk tenang dahulu untuk mengingat Sumber Kehidupan. Mengingat esensi kehidupan justru dibutuhkan pada saat seseorang tenggelam dalam kehidupan yang sarat dengan “agyaar” di keramaian.”

Kini, keramaian tak sekadar di dunia nyata. Tetapi menjelma di dunia maya. Dunia yang bukan lagi ditentukan oleh data yang objektif, tetapi oleh keyakinan. Situasi yang disebut Tom Nichols sebagai zaman matinya kepakaran. Fakta yang jelas-jelas nir-kebanaran diterima dan dibagikan sebagai kebenaran karena keyakinan. Maka, kebenaran kesalahan berlanjut menjadi kebenaran yang semu bahkan palsu.

BACA JUGA  Politik Dinasti dan Politik Identitas, Bahaya Mana?

Keadaan itu dikhidmati Ibnu ‘Athaillah, “Mencari kejelasan di tengah-tengah kebingungan ini adalah sama dengan sorang sufi yang mencari kebenaran di tengah-tengah realitas yang maya yang sering berubah-ubah. Dengan itu, kita dituntut berupaya mencari kebenaran, baik berita maupun ajaran.”

Tugas kerohanian adalah menepis informasi tak jelas. Menyingkap ketersembunyian dan mencari kebenaran akan Tuhan, dunia nyata dan maya.

Ajaran rohani bermisi menanggulangi pesimisme dan kerapuhan batin di zaman ramai dan penuh madeni. Sebab, rohani ejawantah batin yang memberi suluh dalam melakoni hidup dengan olah rasa, sabar, mawas diri, yang mengandung refleksi berkaitan dengan waktu, ruang, alam, peristiwa, dan Tuhan. Rohani adalah situasi batin yang terjelmakan dalam keilahian.

Kendati, kita sudilah berislam dengan menempuh jalan-jalan sunyi mencari kebenaran dan kejujuran akan Tuhan. Sebab kesunyian dan kejujuran dapat membawa kepada ketenangan batin yang mengantarkan pada lelaku kebaikan, baik kepada Tuhan sekaligus baik kepada sesama manusia dan alam.

Barangkali itulah yang menjadi ajaran mausia rohani. Semuanya perlu kesadaran dan sebisa mungkin melakukan penyadaran. Dengan cara-cara demikian, maka tepatlah ia menjadi manusia rohani, manusia yang selalu menjaga kesucian dan memberikan pencerahan. Manusia rohani yang bisa menyingkap silopsisme di zaman madeni. Mau?

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru