28.4 C
Jakarta

HAM, Aktivis HAM, dan Simpatisan Teroris

Artikel Trending

Milenial IslamHAM, Aktivis HAM, dan Simpatisan Teroris
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Penangkapan Munarman beberapa hari yang lalu ternyata tidak hanya disikapi oleh internal FPI. Banyak aktivis HAM, atau paling tidak mengaku demikian, yang merilis pernyataan keberatan dan, dengan dalih keadilan, mereka menganggap penangkapan tersebut telah melanggar HAM. Padahal, Munarman ditangkap atas dugaan keterlibatan penggerakan terorisme. Artinya, secara tidak langsung, rilis para aktivis HAM tersebut setali tiga uang dengan membela dan menjadi simpatisan teroris.

Criminal Law Expert, misalnya, dalam surat Pernyataan Sikap Terhadap Penangkapan Munarman, mengatakan bahwa penangkapan pengacara Habib Rizieq itu bertentangan dengan HAM karena tidak mengikuti prosedur penetapan tersangka terlebih dahulu. Rilis tersebut juga menyebut Munarman sengaja dibidik oleh kepolisian dan dengan demikian, mereka, para aktivis HAM, menentang langkah kepolisian dan menuntut pembebasan terhadap Munarman.

Amnesty Internasional juga berpendapat serupa. Mereka menganggap Densus 88 telah menyalahi SOP dan melanggar asas praduga tak bersalah. Alasannya karena Munarman, saat penangkapan, tidak diperlakukan dengan adil; tidak memakai sandal dan mata tertutup. Di Facebook, seseorang yang mengaku aktivis HAM juga berkomentar sama. Bahkan, kalau kita mengamati video penangkapan yang beredar, sekilas tampak benar bahwa aparat relatif kasar kepada Munarman.

Namun apakah langkah tersebut laik untuk dikatakan melanggar HAM? Itu beda persoalan. Sebab, hak asasi sendiri berlaku selama ia tidak mengganggu hak-hak orang lain. Selain itu, pengamat sering kali bertolak dari sikap subjektif. Ini karena perspektif terhadap hukum bsa beragam tergantung bagaimana seseorang mengamatinya. Siapa pun yang tidak mengambil jarang dengan subjek, maka pandangan hukumnya terhadap objek pasti akan tendensius.

Aktivis HAM yang Tendensius

Aktivis HAM dan lembaga bantuan hukum di Indonesia berjumlah ratusan, karena setiap kelompok punya kepentingan individual dan lembaga hukum tersendiri. Pendapat Amnesty Internasional boleh jadi objektif, karena ia mengamati perlakuan Densus 88 tetapi tidak melangkah lebih jauh menuntut pembebasan Munarman. Dalam konteks ini, dengan sendirinya rilis Criminal Law Expert menjadi tendensius, bahwa mereka bersimpati kepada terduga teroris.

Aktivis HAM yang tendensius mengeluarkan apologi untuk membela partisan mereka sendiri. Alih-alih menuntut keadilan di mata hukum, mereka justru memperalat hukum demi tujuan subjektif kelompoknya. Mereka bertolak dari anggapan publik bahwa hukum merupakan sesuatu yang sakral, untuk kemudian bisa dimanfaatkan untuk menggiring opini publik. Ketika ada suatu kasus, mereka mengeluarkan sikap. Sayangnya, sikap tersebut manipulatif.

Tentu saja tidak semua aktivis HAM itu tendensius. Kendati demikian, perjuangan HAM paling objektif adalah bila berkenaan dengan masalah lingkungan, bukan berkenaan dengan politik. Menjadi aktivis HAM, dengan demikian, juga tidak bisa digeneralisir sebagai pilihan profesi yang salah. Justru mereka yang menyalahgunakan lembaga hukum dan hak asasi untuk kepentingan kelompok harus mendapat sanksi, demi sakralitas hukum dan hak asasi itu sendiri.

BACA JUGA  Riak-riak Kaum Radikal-Populis di Tengah Putusan MK

Membela hak asasi adalah tugas bersama, bukan tugas aktivis HAM belaka. Menjadi aktivis HAM juga selaiknya mengedepan idealisme hak asasi, bukan kepentingan pragmatis kelompoknya sendiri. Penangkapan Munarman boleh jadi salah menurut SOP, tetapi menuntut agar ia bebas itu sangat tidak masuk akal. Munarman tengah diperiksa atas kasus yang jelas-jelas ia sendiri terlibat. Menuntut ia dibebaskan padahal kasusnya terang, apakah itu yang disebut memperjuangkan keadilan?

Keniscayaan Keadilan

Aktivis HAM selaiknya tidak memprovokasi masyarakat. Hak asasi meupakan salah satu persoalan yang sensitif, di samping persoalan hukum dan agama. Menyalahgunakan pembelaan hak asasi tidak ubahnya menyalahgunakan agama. Munarman yang juga seorang aktivis HAM sangat berhak mendapat keadilan, tetapi sekawanan Munarman tidak selaiknya bersimpati kepada terduga teroris. Alih-alih membela keadilan, itu justru mencederainya.

Menyikapi Munarman tidak perlu membawa nama hukum dan hak asasi. Rekam jejak Munarmans sendiri kontroversial, dan hari ini ia sedang diperiksa untuk kasus terorisme yang menyeret namanya. Dugaan kebanyakan kita yang sentimental kepada aparat itu dilatari persepsi negatif kita sejak awal, bahwa pemerintah sangat represif ketika menumpas gerakan terorisme di satu sisi, tetapi lembek dalam kasus semisal separatisme Papua di sisi lainnya.

Terpenuhinya HAM merupakan esensi bernegara dan beragama. Sementara, aktivis HAM adalah pengontrol pelanggaran HAM, bukan pembela pelanggar HAM atas nama pelanggaran HAM. Keadilan merupakan keniscayaan, tetapi bukan untuk orang yang terlibat terorisme. Munarman, dengan kasusnya yang masih terduga, berhak mendapat keadilan dari asas praduga tak bersalah, tetapiia tidak berhak bebas sebelum kasusnya jelas: ia bebas atau justru tersangka.

HAM dan aktivis HAM mesti berjalan di ruang ideal penengakan keadilan itu sendiri. Ia tidak boleh memiliki tendensi tertentu karena bertentangan dengan tugas pokoknya sebagai pejuang HAM. Kalau seorang aktivis HAM hanya hendak menciptakan provokasi melalui narasi HAM, dan hendak menjadi simpatisan seseorang yang terlibat terorisme sekalipun masih berstatus terduga, maka lebih baik aktivis HAM itu tidak ada. Lagi pula, hak asasi dan keadilan tidak akan teralienasi hanya karena tidak ada kiprah mereka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru