27.8 C
Jakarta

Fatwa MUI Tentang Perbedaan Jihad dan Terorisme dalam Ajaran Islam

Artikel Trending

Asas-asas IslamFikih IslamFatwa MUI Tentang Perbedaan Jihad dan Terorisme dalam Ajaran Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. – Pada tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi mengeluarkan fatwa tentang Terorisme. Dalam fatwa tersebut, MUI memutuskan bahwa terorisme bukan termasuk ajaran jihad dalam islam, sehingga hukum melakukan tindakan teror adalah haram.

Secara kronologis, fatwa MUI ini muncul karena maraknya tindakan terorisme yang terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia, terbukti telah menyebabkan kerugian harta dan jiwa secara massal serta menimbulkan ketakutan (traumatik) setiap harinya di tengah-tengah masyarakat (Fatwa MUI No 3 Tahun 2004).

Misalnya, pada tahun 2001, aksi terorisme yang menganggap telah melakukan jihad dengan cara menabrakkan pesawat terbang ke gedung World Trade Center (WTC) New York, hingga menjatuhkan korban sebanyak 3000 orang. Sedangkan di indonesia sendiri, aksi teror mulai bermunculan semenjak tahun 2000-an, dipelopori oleh seorang insinyur bernama Dr Azhari yang menjadi dalang dibalik bom Natal 2000, bom Bali 2002 dan bom Bali 2005.

Serangkaian peristiwa di atas, semakin memperparah citra umat islam di hadapan umat agama lain, sehingga melahirkan dua cara pandang baru yang sama sekali tidak berdasar. Ada yang menganggap bahwa islam adalah agama teror, karena terdapat anjuran untuk melakukan jihad dan perang. Sementara, di pihak islam sendiri menganggap jihad harus dilaksanakan kendatipun dengan merugikan diri sendiri dan orang lain (Fatwa MUI No 3 Tahun 2004).

Mula-mula MUI berupaya meletakkan dasar-dasar yang membedakan antara jihad dan teror, sehingga ditemukan suatu jurang pembeda di antara keduanya. Terorisme adalah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang mengakibatkan ancaman serius baik terhadap kesejahteraan masyarakat, keutuhan negara, perdamaian dunia dan dampak negatif lainnya. Sedangkan jihad menurut MUI dapat dipetakan menjadi dua, yakni jihad dalam pengertian al-qital berperang dan jihad meninggikan agama. Secara simultan, Jihad dapat dimaknai sebagai upaya bersungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk meninggikan agama Allah (Fatwa MUI No 3 Tahun 2004).

Menurut MUI, hukum melakukan tindakan teror adalah haram, baik dilakukan perorangan, kelompok maupun negara. Sedangkan, hukum melakukan jihad adalah wajib (Fatwa MUI No 3 Tahun 2004).

BACA JUGA  Ini Amalan Baik pada Hari Idul Fitri Sesuai Sunnah Nabi

Dalam hal ini, MUI juga memberi karakteristik tersendiri dalam membedakan perbuatan jihad dan teror. Teror memiliki karakteristik merusak serta anarkis, dilakukan tanpa aturan serta melampaui batas dan tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan menghancurkan pihak lain. Sementara, jihad memiliki ciri-ciri rekonsiliasi (Perbaikan/islah), mengikuti aturan syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas dan bertujuan untuk menegakkan agama Allah dan atau membela orang-orang yang terzalimi (Fatwa MUI No 3 Tahun 2004).

Harus diakui ada sebagian ajaran dalam islam yang dinyatakan terdapat syariat perang di dalamnya. Namun, perlu digaris bawahi bahwa ajaran tersebut merupakan respon yang tepat untuk situasi yang tepat pula. Misalnya, memerangi orang-orang musyrik hanya boleh dilakukan dalam situasi umat islam diserang (terdesak). Artinya, perintah untuk berperang dalam islam sejatinya berlaku secara defensif (al-Zila’i, hal 285/3).

Dengan demikian, sejatinya merespon persoalan keagamaan dibutuhkan pertautan dialog antara dalil-dalil syariat bersama realitas yang mengitarinya.

Sedangkan, dalam konteks indonesia, pemahaman keagamaan yang mengedepankan toleransi dan menyadari kebhinekaan lebih relevan sebagai pedoman untuk mempererat persatuan demi membangun kemajuan bangsa ini. Pandangan semacam ini jelas membutuhkan kontekstualisasi dalil-dalil syariat dalam membaca kebhinekaan, guna mengatasi benturan antar umat beragama di indonesia. Pemahaman kebangsaan (fiqh al-muwathanah) yang didasarkan atas toleransi dalam bingkai kebhinekaan menjadi penting disebarkan.

Al-hasil, penjelasan fatwa MUI di atas menjadi urgen, karena berhasil mengambil kebijakan yang maslahat secara umum dalam mengharamkan tindakan bom bunuh diri dan terorisme. Disamping itu, fatwa ini juga bertujuan meletakkan posisi yang tepat pada persoalan jihad dan terorisme, sehingga dimungkinkan menumbuhkan pandangan toleran bagi masyarakat terhadap ajaran islam sendiri.

Fatwa semacam ini penting disosialisasikan kepada publik, sehingga publik dapat berpikir sendiri dalam  menentukan pandangan: apakah sebuah kasus dapat dikategorikan sebagai jihad? Ataukah dimasukkan dalam kategori teror?

 

Oleh Naufal Kamali

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru