32.5 C
Jakarta

Fatamorgana Khilafah di Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamFatamorgana Khilafah di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dari masa ke masa, fatamorgana selalu diidentikkan dengan sebuah ilusi optik yang disebabkan oleh kondisi atmosfer. Di negara Itali misalnya, fatamorgana diidentikkan dengan kejadian-kejadiaan gaib yang bisa diterawang oleh sebagian masyarakat Itali.

Legenda seperti sering adanya penyihir Arthurian bernama Morgan le Fay (Morgan si peri), yang memasang keyakinan bahwa ia bisa menciptakan istana peri di udara atau pulau palsu, dengan sihirnya untuk memikat pelaut menuju kematian.

Fatamorgana Khilafah

Nah, di Indonesia, juga terjadi fenomena fatamorgana juga. Ini bisa dilihat dari sebuah ilusi pemikiran masyarakat muslim yang mencoba memasang sejumput keyakinan bahwa negara Indonesia bisa sentosa dan digdaya bilamana berbasis khilafah.

Fatamorgana seperti ini terus menancap di benak umat Islam Indonesia hingga hari ini. Ia sesungguhnya mendistorsi atau mengacak bentuk obyek-obyek asalnya seperti Indonesia yang berasas Pancasila, dan karena itu Indonesia masih aman dan damai di tengah kompleksitasnya perang dunia karena konflik agama dan kepentingan politik.

Fatamorgana khilafah ini terus disebarkan melalui media sosial dengan bingkai dan kiasan politik. Hingga akhirnya obyek-obyek ini biasanya terletak tidak jauh dari posisi kita, yakni kedamaian, kebhinekaan, keragaman dan sebagainya menjadi agak jauh.

Fatamorgana ini malah mengembalikan suhu atau lapisan udara yang nyata-nyata damai menjadi konflik yang berkepanjangan. Hingga saat ini fatamorgana khilafah masih menjadi perdebatan politik yang berakhir dengan konflik SARA.

Akibat Fatamorgana khilafah

Salah satu biang kerok SARA terus hadir hilir mudik ke narasi politik di Indonesia diakibatkan oleh fatamorgana khilafah ini. Selain itu, karena kondisi mental dan karakter masyarakat Indonesia belum terlepas dari sentimen primordialisme dan sektarianisme yang masih kuat mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia sekalipun sudah hidup di era demokratisasi terbuka dan era digitalisasi modern.

Di Indonesia, SARA dan identitas menjadi mainan isu yang seksi dan menjadi satu alat politik yang dampaknya sangat dahsyat. Menurut beberapa pakar, secara budaya, politik SARA di Indonesia lebih terkait dengan etnisitas, agama, ideologi dan kepentingan-kepentingan lokal yang diwakili umumnya oleh para elit politik dengan artikulasinya masing-masing (Ma’arif, 2012: 55-100).

BACA JUGA  Kaum Radikal-Ekstremis Lakukan Propaganda "Hijrah", Hati-hati!

Dalam kasus ini terjadi pada pemilihan Gubernur tahun 2017 di Jakarta dan terjadi pada pemilihan pilpres pada 2019.

Mengapa SARA laku di indonesia? Karena politik SARA bisa dimanfaatkan sebagai jalan taktis kepentingan sebuah kelompok karena persamaan identitas yang mencakup ras, etnis, dan gender, atau agama tertentu. Kita tahu, SARA ini cukup berhasil dalam sejarah politik dunia.

Gambaran

Contohnya Adolf Hitler, yang mengakibatkan tragedi yang terjadi di Jerman pada saat Nazi berkuasa. Enam juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman politik SARA dan itu menjadi salah satu peristiwa genosida terburuk yang tercatat dalam sejarah dunia. Dan di Indonesia sendiri terlalu banyak contohnya sehingga begitu malas untuk sekadar menyebutkannya.

Kedua, faktornya adalah sebagai instrumen untuk menggelorakan rasa kebencian dan ketakutan kalah pada pihak lawan politiknya agar bisa menurunkan citra dan menyudutkan figur tertentu yang biasanya dinilai kuat dan berpotensi menang.

Serta Politisasi SARA dijadikan sebagai lahan basah untuk bisa mengalahkan lawan lainnya sehingga perlu disudutkan dengan narasi-narasi, seperti tidak nasionalis, intoleran, bukan Islam, bukan Indonesia, bukan suku ini dan itu.

Ketiga, karena lemahnya pengetahuan politik pada masyarakat Indonesia yang menyebabkan parpol lebih leluasa dalam mengkampanyekan politik hitam mereka. Lemahnya literasi politik pada masyarakat Indonesia menjadikan buta huruf bagaimana kerja-kerja politik dipasokkan, sehingga polarisasi berbasis irasionalitas politik identitas yang diterjemahkan dalam bentuk kampanye jahat, berita bohong (hoax), fitnah, dan politisasi SARA bakal menguat dan lebih menggila.

Contoh-contoh fatamorgana di atas sudah terbukti ampuhnya bagi masyarakat Indonesia. Ia terus dijadikan sebagai pendekatan dalam proses aktivitas politik di Indonesia, sebab murah, mudah dan efektif menjadi basis pemenangan. Apalagi jika aktor yang terlibat tidak punya integritas dan komitmen untuk berkompetisi secara jujur, adil, kompetitif dan demokratis.

Fatamorgana di atas jika tidak diantisipasi akan terus meningkat dan berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup umat Indonesia. Apalagi mendekati tahun politik, yang basisnya dampaknya akan lebih fantastis.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru