26.6 C
Jakarta

Dilema Kompetisi Sastra, Kualitas Tidak Sebanding dengan Kuantitas

Artikel Trending

KhazanahLiterasiDilema Kompetisi Sastra, Kualitas Tidak Sebanding dengan Kuantitas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kesusastraan di Indonesia berkembang cukup pesat mengikuti arus lajunya zaman. Tidak dapat dimungkiri, sastra tidak pernah lekang oleh waktu karena dalam perkembangannya senantiasa menghadirkan corak baru. Pergeseran zaman bukan halangan untuk ikut dinamis, justru menjadi sebuah tantangan yang mesti dihadapi untuk mempertahankan eksistensi sastra itu sendiri.

Berangkat dari paper Sri Sabakti yang dipublikasikan dalam Jurnal Madah berjudul “Peranan Penerbit dalam Pengembangan Sastra di Riau”, dikatakan bahwa sebuah karya sastra dapat tercipta karena keterlibatan banyak aspek yang mengelilinginya. Aspek-aspek tersebut di antaranya pengarang, pengamat, majalah yang memuat, penerbit yang mengusahakannya, badan-badan yang menaruh perhatian, sampai pada masalah hadiah-hadiah.

Perkembangan sastra tidak dapat dipisahkan dengan industri penerbitan. Sebuah karya sastra dapat dinikmati masyarakat luas ketika sudah diterbitkan, baik melalui media massa, majalah, media digital, dan tentu saja ketika sudah diterbitkan dalam bentuk buku.

Dewasa ini seiring berkembangnya zaman, industri penerbitan buku menjamur di mana-mana. Di tengah derasnya arus informasi dengan kehadiran teknologi atau biasa dikenal sebagai era digital, kemunculan buku elektronik (baca: e-book) menjadi suatu kemajuan yang pesat dalam khazanah kesusastraan. Kendati demikian, eksistensi buku cetak tidak serta-merta tersisihkan.

Justru di era digital seperti sekarang, keadaannya adalah muncul pegiat literasi baru yang mulai menaruh ketertarikan terhadap dunia kepenulisan. Untuk merespons hal tersebut, jasa penerbitan buku mengambil peluang untuk menggaet penulis—yang notabenenya masih baru—dengan berbagai penawaran menggiurkan.

Industri penerbitan—di luar penerbit mayor, lebih-lebih penerbit yang baru ‘menetas’—perlu melakukan promosi ekstra agar dikenal luas di masyarakat. Gencar mengadakan pelbagai lomba maupun event merupakan salah satu strategi marketing sebuah penerbit.

Lomba cipta cerpen dan puisi menjadi pilihan untuk memantik minat penulis sekaligus menaikkan ekuitas merek suatu penerbitan, yang diharapkan mampu mendongkrak popularitasnya di mata masyarakat. Kedua jenis lomba dipilih mengingat kaula muda lebih tertarik terhadap dua jenis karya sastra tersebut dibandingkan jenis yang lain.

Media sosial seperti Instagram dan Facebook menjadi ladang bagi industri penerbitan salah satunya penerbit indie untuk memperkenalkan perusahaannya kepada khalayak. Pelbagai pamflet lomba yang diselenggarakan suatu penerbitan turut menjamur mewarnai derasnya amukan informasi. Seyogianya hal tersebut menjadi angin segar bagi pegiat literasi untuk mengukur tingkat kemampuannya dalam menghasilkan suatu karya sastra.

Perlombaan cipta cerpen dan puisi bukan suatu hal baru dalam kesusastraan di Indonesia. Lazimnya perlombaan tersebut sebagai ajang untuk menggali potensi sekaligus memotivasi pegiat literasi serta mempertahankan eksistensi karya sastra dalam peradaban.

Akan tetapi, jauh panggang dari api. Zaman sekarang sulit memilah dan memilih perlombaan yang benar-benar murni. Perlombaan cipta cerpen dan puisi sudah banyak terkontaminasi dan berbelok haluan dari judul yang diciptakannya; perlombaan. Perlombaan telah banyak dijadikan sebagai ladang bisnis bagi oknum penerbit ‘nakal’ yang sengaja mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari para penulis.

Umumnya, penulis pemula menjadi sasaran empuk bagi industri penerbitan semacam itu untuk diiming-imingi lomba gratis dan berbagai fasilitas yang sebenarnya sebatas kamuflase semata.

Bukan tanpa sebab, saat ini tidak sedikit industri penerbitan gencar mengadakan perlombaan cipta cerpen dan puisi yang output-nya dibukukan menjadi sebuah antologi. Tidak masalah suatu penerbitan menggagas event semacam itu untuk menggaet penulis pemula sekaligus mem-branding nama perusahaannya. Akan tetapi apabila perlombaan tersebut hanya sebagai kedok untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, hal ini yang perlu dicermati baik-baik oleh para penulis—khususnya yang pemula.

Umumnya perlombaan cipta cerpen dan puisi yang diselenggarakan oleh suatu industri penerbitan menawarkan lomba gratis pendaftaran, akan tetapi penulis diwajibkan membeli buku hasil terbitannya. Penerbit juga memberi reward berupa piala, medali, sertifikat, dan souvenir lainnya.

BACA JUGA  Hilang Motivasi Membaca? Ini Cara Mengatasi “Reading Slump”

Sah-sah saja menggunakan ketentuan demikian. Hanya saja apabila ditelisik lebih dalam, apakah perlombaan semacam ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk menguji kemampuan diri seorang penulis? Hemat saya, tidak. Sebab ada beberapa aspek yang sebenarnya absurd namun dikemas dengan sedemikian indahnya agar tidak terlihat busuk.

Contoh kecilnya berupa fasilitas semua karya dibukukan tanpa seleksi. Sekilas hal tersebut tampak menggiurkan, berhubung penulis tidak perlu bersusah payah menghasilkan karya berkualitas agar lolos seleksi karena semua naskah yang masuk akan dibukukan. Namun, bagi mereka yang melek akan kekaryaan berkualitas, tentu tidak akan ikut berkubang dalam jenis lomba semacam itu.

Sederhananya, untuk apa memiliki buku yang memuat karya kita, namun tidak disertai kualitas di dalamnya? Pertanyaan tersebut mengendap dalam pikiran saya ketika berkali-kali menemui pamflet perlombaan cipta cerpen dan puisi yang konsepnya tidak jauh berbeda.

Hal yang tidak masuk masuk akal lagi adalah orang-orang yang didaulat menjadi juri tidak mumpuni atau memiliki pemahaman luas terhadap perlombaan yang dijurikannya. Saya bisa bilang demikian karena tidak hanya pamflet perlombaan saja yang bertebaran, melainkan juga pamflet berupa pembukaan lowongan terhadap penanggung jawab event, desain kover, dan juga editor naskah, yang salah satu syaratnya minimum berusia 15 bahkan ada yang 13 tahun.

Absurditas tersebut semakin membuat permasalahan makin pelik. Apakah pada usia tersebut sudah mampu diberi tugas dan tanggung jawab yang sedemikian besar? Bisa iya, bisa tidak. Namun, saya lebih cenderung untuk mengatakan tidak. Saya menyoroti editor sebagai contoh.

Pekerjaan sebagai editor tidak hanya mengoreksi penggunaan tanda baca, tipografi, dan PUEBI semata. Melainkan harus benar-benar mempunyai kemampuan pada bidangnya, teliti, serta memiliki pengalaman yang memadai.

Editor seyogianya harus mampu menjadikan dan menyajikan suatu karya sastra yang awalnya belum digodok secara matang oleh penulis, baik dari segi keterpaduan, kompleksitas, kematangan, serta kedalaman atau tingkat eksploratif yang belum memadai hingga menjadi karya sastra yang memiliki nilai estetika dan layak dinikmati orang banyak.

Hal yang makin menampakkan kedok bisnis adalah sebagian besar—hampir seluruhnya—lomba cipta cerpen dan puisi memberi syarat bagi penulis untuk membeli buku. Sebab, sumber pemasukan penerbit yaitu dari hasil penjualan itu—buku yang dibeli sendiri oleh para penulisnya.

Meski begitu masih ada beberapa penerbit yang tidak mewajibkannya. Namun, jenis yang ini pun tidak luput dari tipu daya. Sialnya, ketika naskah telah dikirimkan, pihak penerbit (baca: PJ Event) justru mengatakan kalau pemilihan juara hanyalah mereka yang bersedia membeli buku. Jika tidak, maka mustahil didaulat sebagai juara. Jika seperti ini, siapa yang dirugikan? Jelas penulis yang akan merasa ditipu penyelenggara perlombaan.

Apakah mereka yang mau membeli buku sudah pasti karyanya lebih unggul dari yang tidak membeli buku? Bukankah kualitas menjadi hal mutlak—setidaknya fondasi—untuk menilai kelayakan suatu naskah?

Apabila tren perlombaan semacam ini terus bertumbuh kembang dalam arus peradaban karya sastra, kualitas sastra sudah pasti tidak akan sebanding dengan kuantitas yang begitu membludak. Hal tersebut menjadi konsekuensi logis akibat minimnya kualitas sastra yang disajikan.

Perlombaan cipta cerpen dan puisi mestilah menjadi pelopor lomba sebenar-benarnya lomba. Melestarikan karya sastra sekaligus menjembatani para penulis menuangkan gagasan harusnya benar-benar diselenggarakan secara matang.

Perlombaan yang sebenar-benarnya perlombaan memang sulit ditemui. Namun, pastilah ada, meski jumlahnya amat sedikit. Maka dari itu, para penulislah yang harus teliti ketika mengikuti ajang perlombaan kepenulisan. Hal ini wajib dilakukan, agar karya yang sudah dihasilkan benar-benar diuji kualitasnya. Bukan semata yang penting asal terbit, tetapi tidak memenuhi kaidah sastra yang sebenar-benarnya sastra.

Finka Novitasari
Finka Novitasari
Perempuan kelahiran Pacitan yang kebetulan sedang menempuh pendidikan di Universitas Alma Ata, Yogyakarta. Menulis cerpen, esai, opini, dan sesekali menulis resensi buku. Beberapa karyanya telah dimuat di media cetak maupun daring. Aktif dalam Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) dan Komunitas Menulis Daring (KMD) elipsis.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru