28.2 C
Jakarta

BNPT RI Gandeng Pers dalam Upaya Deteksi Dini Terorisme

Artikel Trending

AkhbarNasionalBNPT RI Gandeng Pers dalam Upaya Deteksi Dini Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Media sosial menjadi salah instrumen penting yang bisa membantu pemerintah dalam penanggulangan terorisme. Media sosial memiliki urgensi yang dominan dalam upaya deteksi dini dan memperkuat daya tangkal masyarakat dari penyebaran ideologi radikal terorisme. 

“Kita sadar betapa penting media dalam memberikan opini kepada publik yang akurat dan berimbang. Media sosial memiliki peran memberi pemahaman yang benar dan tepat mengenai isu terorisme kepada masyarakat,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Prof. Irfan Idris, saat membuka Forum Group Discussion (FGD) ‘Peran Media dalam Pencegahan Paham Radikal Terorisme’ di Jakarta pada Selasa (19/3).

Pihaknya berharap peranan pers terus ditingkatkan dalam menyajikan informasi yang kredibel terkait bahaya radikalisme dan upaya pencegahannya. “Kami berharap kegiatan ini akan memperkuat kerja sama antara BNPT dengan pers dalam pencegahan tindak pidana terorisme,” imbuh Irfan.

Pihaknya menguraikan banyak sekali modus dan pola yang dilakukan kelompok radikal terorisme baik secara terbuka maupun tertutup dalam upaya radikalisasi. Metamorfosa dan transformasi gerakan radikal ini terus berubah dalam bentuk organisasi dan pola gerakannya. “Ada yang bergerak dengan kamuflase dakwah seperti dengan mempolitisasi agama untuk mengganti dasar negara,” tegasnya.

Selain itu, pihaknya juga mengungkap adanya modus donasi kemanusiaan dan kotak amal untuk pembiayaan gerakan radikal terorisme seperti yang sudah terendus aparat penegak hukum. Pada intinya, semua pola dan modus ini bertujuan untuk membangun kekuatan politik dalam rangka membuat perubahan secara drastis. Hal itu jelas mengganggu kedaulatan negara dan keamanan masyarakat.

Lebih lanjut, Prof. Irfan mengatakan, problem kebangsaan berupa intoleransi, radikalisme, dan terorisme adalah problem yang cukup kompleks dan tidak bisa diselesaikan secara parsial dan sektoral. Karena itulah, upaya penanggulangan terorisme harus dibangun dengan kekuatan bersama dengan konsep Pentahelix dengan melibatkan pemerintah, komunitas, akademisi, pengusaha, dan media.

“Pertemuan kali ini merupakan salah satu bentuk sinergi pemerintah, dalam hal ini BNPT sebagai leading sector penanggulangan terorisme dengan pelaku media. Pers harus bisa bersinergi membangun deteksi dini dan daya tangkal masyarakat melalui pemberitaan yang akurat, inspiratif, dan bertanggung jawab,” papar Guru Besar UIN Alauddin Makassar ini. 

BACA JUGA  Densus 88 Bekali Da’i dan Khatib untuk Tangkal Bahaya IRET

Irfan pun menjelaskan, tahun ini tidak ada serangan teroris di Indonesia atau zero terrorism attack. Kendati demikian, BNPT terus melakukan inovasi penanggulangan terorisme dengan mencanangkan tujuh program prioritas. Ketujuh program tersebut adalah pemberdayaan perempuan, anak, dan remaja; pembentukan desa siap siaga-desa damai; pembentukan sekolah damai; pembentukan kampus kebangsaan; pemenuhan hak dan pemberdayaan penyintas serta keluarga kemudian terkait reintegrasi dan reedukasi mitra deradikalisasi serta keluarga; dan yang terakhir mengenai asesmen pegawai dengan tugas risiko tinggi.

“Program-program ini dapat membangun public awareness dan public engagement, dan multi stakeholder collaboration,” terangnya.

FGD itu juga menghadirkan dua narasumber yaitu pengamat terorisme Irjen (Purn) Hamli, dan Wakil Ketua Dewan Pers M. Agung Dharmajaya. Dalam kesempatan itu, Hamli memaparkan peta jaringan terorisme dari hulu sampai ke hilir. Menurutnya, aksi terorisme di Indonesia yang marak sejak tahun 2000-an, diawali dengan masuknya ideologi transnasional di tahun 1980-an.

“Al Qaeda masuk melalui kombatan orang-orang Indonesia yang dulu ikut berperang di Afghanistan seperti Ali Imron, Amrozi, Umar Patek, dan Abu Bakar Baasyir. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal Jemaah Islamiyah (JI) di Indonesia,” katanya.

Selain Al Qaeda, kemudian juga masuk Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Salafi, dan kemudian terakhir adalah Islamic State of Iraq dan Syria (ISIS).

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pers M. Agung Dharmajaya mengatakan, Dewan Pers memiliki concern besar ketika ada kejadian terorisme sebelum 2015. Karena itulah, tahun 2015, Dewan Pers membuat pedoman peliputan aksi terorisme.

“Pers harus melihat aksi terorisme itu seperti apa dan bagaimana berita atau liputan. Soalnya kadang-kadang pers maksudnya baik tapi menyampaikan salah,” jelasnya.

Pihaknya menegaskan, persoalan terorisme menjadi tanggung jawab bersama dan bukan karena persoalan agama. “Mari kita pikirkan masalah ini. Ini bukan sekadar 5W 1H saja tapi dampak pemberitaan yang kita tulis akan seperti apa,” tuturnya.

Ia berharap, media massa atau pers bisa mawas diri dan terus memegang pedoman peliputan terorisme. Agung menyarankan agar FGD semacam ini digelar berkelanjutan. “Kalau perlu dilakukan roadshow ke beberapa kota untuk menyampaikan program pencegahan yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi,” pungkasnya.

Ahmad Fairozi
Ahmad Fairozihttps://www.penasantri.id/
Mahasiswa UNUSIA Jakarta, Alumni PP. Annuqayah daerah Lubangsa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru