28.2 C
Jakarta

Berislam Seperti GPS

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuBerislam Seperti GPS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Seni Merayu Tuhan, Penulis: Husein Ja’far Al-Hadar, Penerbit: Mizan, Cetakan: I, Maret 2022, Tebal: 228 Halaman, ISBN: 978-602-441-255-5, Peresensi: Fathorrozi, M.Pd.

Harakatuna.com – Berislam seperti Global Positioning System (GPS) adalah cara berislam yang tidak mudah menyesat-nyesatkan orang lain, sekalipun menurut kita orang tersebut sedang tersesat. GPS tidak pernah mengklaim orang tersesat, justru ia langsung memberi jalan lain yang tercepat sesuai dengan jalan yang terlanjur dilewati. Berislam seperti GPS adalah berislam yang memberi solusi, bukan sekadar menuduh sesat.

Dalam buku terbarunya ini, Seni Merayu Tuhan, Habib Husein Ja’far Al-Hadar menguraikan Islam dengan begitu luwes, elok, komprehensif, menarik, serta kaya referensi. Persis saat ia berdakwah lewat lisan yang mengedepankan wasathiyah dan tidak kaku. Metode dakwah Habib Husein sejauh yang saya temukan menggunakan teknik ‘wasit’ yang selalu berdiri di tengah. Sama halnya dengan ‘wasit’, posisi wasathiyah ialah merepresentasikan kebenaran dengan sikap adil.

Kenapa posisi ‘wasit’ yang ia tempuh sebagai jalan dakwahnya? Sebab, ia hidup ketika ada dua arus yang saling tarik menarik. Arus pertama adalah anak muda muslim yang sekuler. Misalnya, mereka yang mendaftar di situs atheistcensus.com yang dikelola oleh Aliansi Ateis International. Dari 1.757 orang Indonesia yang terdaftar; 56,7 persen di antaranya muslim yang mengaku ateis, agnostik, sekuler, dan sejenisnya. Mereka itu muslim, tetapi sudah enggan menjalankan ritual keislaman sebab dianggap tidak lagi rasional. Mereka merasa kecewa pada agama yang seharusnya jadi penebar kedamaian, justru menebar kebencian, kekerasan dan teror.

Sedangkan di arus kedua, mereka yang menyebut dirinya adalah kaum berhijrah. Mereka menjadi sangat taat dalam menjalankan ritual keislaman, sehingga mereka menghiasi diri dengan beragam atribut yang dianggap sebagai representasi Islam. Mulai dari baju gamis, aksesori, dan produk-produk yang dilabeli syar’i dalam penafsiran mereka. Namun, sebagian dari mereka, tentu tidak semuanya, terjebak dalam ritualitas saja atau atribusi semata.

Selain berposisi wasathiyah, cara merangkul kedua arus yang berseberangan itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Habib Husein di dalam buku ini, adalah mempromosikan ‘Islam Cinta’. Islam Cinta adalah formulasi dakwah Islam yang menekankan spiritualitas Islam yang berpusat pada ‘Cinta’.

Memang, kata Sayyidina Ja’far Ash-Shadiq, cicit Nabi, “Apa lagi Islam, kalau bukan Cinta?” Artinya, utamanya Islam itu memang cinta. Cinta itulah yang kemudian menjadi fokus berislam para sufi. Melalui cinta, aspek terdalam Islam mengemuka, yakni spiritualitas, bukan hanya rutinitas (hlm. 78).

Demikian pula dalam menanggapi kasus keberagamaan sebagian kelompok yang sukanya hanya tebar fitnah, ujar kebencian dan klaim sesat. Habib Husein menyodorkan solusi, seperti yang telah disinggung di paragraf awal tulisan ini, yaitu berislam ala GPS. Menurutnya, berislam itu harusnya seperti GPS. Tidak perlu menyesat-nyesatkan orang lain, meskipun menurut kita ada orang lain yang tersesat. Tetapi, langsung saja beri solusi.

BACA JUGA  Peran Pesantren dalam Memberangus Radikalisme-Ekstremisme

Lebih lanjut, Habib Husein menjabarkan argumentasi kenapa keberislaman kita harusnya seperti GPS. Pertama, orang yang tersesat bisa saja langsung tersinggung begitu disesat-sesatkan. Belum kenal kita siapa, belum tahu apa yang kita tahu, belum tahu niat kita, tiba-tiba main labeling menyesat-nyesatkan.

Kadang orang itu tidak mau dinasihati bahwa ia tersesat, bukan sebab tidak mau diajak menuju jalan yang benar, tapi hanya karena sakit hati dengan cara nasihat yang kita sampaikan. Akhirnya pun, ia menolak kebenaran.

Kedua, memberi solusi bisa jadi nasihat terbaik. Karena sifat dakwah itu menolong, bukan mengajak ribut. Meski Islam itu menghukumi, bukan baru datang langsung menghakimi. Misalnya, seorang pemuda datang kepada seorang habib atau kiai untuk bertanya, “Bib, gimana cara berhenti maksiat, karena nyatanya maksiat itu enak dan saya sulit sekali meninggalkannya?”

Pada situasi demikian, habib atau kiai itu harusnya menjadi seperti GPS: memberi panduan jalan dengan tenang, tanpa perlu menghakimi, memarahi, apalagi menyesat-nyesatkan (hlm. 150).

Berislam memakai prinsip GPS ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad dalam Shahih Bukhari-Muslim. Dalam riwayat Abu Hurairah itu diceritakan bahwa suatu waktu seorang laki-laki datang menemui Nabi, lalu berkata, “Celaka saya, wahai Nabi!”

Nabi bertanya, “Celaka, kenapa?”

“Saya terlanjur bersetubuh dengan istri saya di siang hari di bulan Ramadan, saat kami berpuasa,” jawab laki-laki itu.

“Apa kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai kafarat puasa yang kamu tinggalkan dengan sengaja?”

“Tidak!”

“Apakah kamu mampu memberi makan orang miskin sebagai ganti puasa yang kamu tinggalkan?”

“Tidak!”

Nabi diam sebentar, lalu ada seseorang yang memberi hadiah satu mangkuk kurma kepada beliau. Kemudian Nabi memanggil laki-laki yang bertanya tadi dan bersabda, “Ambillah kurma ini dan bersedekahlah dengannya kepada orang miskin sebagai ganti puasamu.”

“Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah daripada keluarga saya,” sahut laki-laki itu.

Nabi tersenyum, kemudian bersabda, “Kalau begitu, berikan kurma ini kepada keluargamu.” Maka, denda puasanya pun lunas.

Prinsip Nabi dalam mengutamakan penyelesaian masalah ini ternyata bisa kita lihat representasinya melalui GPS. Maksudnya, meski beliau mendapati laki-laki tadi sudah nyata berbuat salah, beliau tidak serta-merta menghakimi dan memarahi, namun justru beliau memberi jalan keluar dengan tenang.

Sebagai penutup, saya kutip pesan dari Habib Husein mengenai dakwah, “Dakwah bukan hanya dengan lisan, melainkan juga dengan sikap yang baik, sehingga suatu saat mereka akan sadar. Kita ini memang harus sering-sering merenung dan menyadari Standar Operasional Prosedur (SOP) kita dalam urusan dakwah-mendakwahi.

Fathorrozi, M.Pd
Fathorrozi, M.Pd
Pegiat literasi dan pengasuh Qarnul Islam Ledokombo Jember

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru