32.7 C
Jakarta

Bagi Gus Baha, Islam itu Fleksibel dan Luwes

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanBagi Gus Baha, Islam itu Fleksibel dan Luwes
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kini ingatan saya masih kuat tentang sebuah pesan yang disampaikan guru es-de tempo dulu. Pesannya cukup sederhana, tapi makna di balik pesan ini amat sangat dalam. Bunyi pesannya begini: “Nak, jadilah seperti tanaman padi. Makin berisi, makin merunduk.”

Pesan yang cukup sederhana ini mungkin sangat sulit dijangkau makna filosofinya. Seorang guru itu menjelaskan: “Padi itu makin berisi makin merunduk. Maksudnya tawaduk. Tidak sombong. Tidak congkak. Orang berilmu harus meniru pohon padi ini.”

Mungkin makna filosofi tanaman padi ini dulu seringkali dikaitkan dengan pentingnya bersikap tawaduk saat berilmu. Jangkauan pesannya seakan sempit sebatas persoalan ilmu. Tidak lebih dari itu. Padahal, saat direnungkan begitu dalam pesan guru itu begitu luas, terlebih dikaitkan dengan eksistensi Islam.

Seorang tokoh muda Gus Baha menjadikan filosofi tanaman padi sebagai gambaran Islam berpijak dan berkembang di Indonesia. Katanya, “Islam di Arab itu seperti pohon kurma, kokoh tidak mudah roboh. Sementara, Islam di Indonesia seperti tanaman padi, lembek tapi fleksibel, juga tidak mudah roboh.”

Gus Baha memang lulusan pesantren, belum pernah belajar di perkuliahan. Tapi, jangkauan pengetahuannya cukup mendapat perhatian dari banyak publik. Gus Baha mampu melihat peta Islam di Indonesia. Tentunya, Islam Indonesia tidak sama dengan Islam di Arab, kendati Islam pertama kali diperkenalkan di sana.

Islam itu, seperti pesan Gus Baha, fleksibel. Luwes. Mudah beradaptasi. Maksudnya, Islam itu relevan dihadapkan dengan perkembangan zaman. Keluwesan Islam di Indonesia dapat digambarkan dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah. Di tangan NU relevansi Islam diperlihatkan dengan hadirnya warna Islam Nusantara. Sedang, di tangan Muhammadiyah relevansi Islam dihadirkan dengan munculnya Islam progresif.

BACA JUGA  Benarkah Debat Ketiga Capres Ada Serangan Personal? Ini Jawabannya

Dua organisasi ini cukup memberikannya warna Islam yang arif, yang kalau meminjam istilah di pesantren, “shalih li kulli zaman wa makan (relevan dalam setiap situasi dan kondisi”. Kurang lebih begini Islam yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad sebagai pembawa doktrin Islam di muka bumi. Islam radikal tentu berseberangan dengan Islam tersebut.

Islam radikal sesungguhnya bukan Islam. Karena, Islam itu melarang paham dan aksi-aksi radikal. Semisal, aksi-aksi terorisme dan demonstrasi yang mengatasnamakan Islam. Radikalisme bagaimana pun alasan dan bentuknya tetaplah musuh Islam. Jadi, seorang muslim yang baik hendaknya menghindari paham dan aksi-aksi radikal.

Islam yang sejati selalu mengajarkan nilai-nilai perdamaian dan persatuan persis seperti pesan yang terbentang dalam lima Pancasila. Perdamaian dan persatuan penting ditegakkan karena Islam di Indonesia tumbuh di tengah-tengah masyarakat yang majemuk: ada yang muslim, ada yang non-muslim. Jika Islam tidak mengindahkan perdamaian dan persatuan, maka Indonesia akan hancur. Padahal, menjaga keutuhan tanah air itu wajib.

Islam yang fleksibel itu, pesan Gus Baha, tidak mudah roboh. Berdiri tegak. Kokoh. Kekokohan Islam fleksibel (moderat) disebabkan kebenarannya. Kebenaran seperti yang disinggung dalam Al-Qur’an tidak akan roboh. Sementara, kebatilan pasti akan musnah. Buktinya, NU dan Muhammadiyah yang sama-sama menyebarkan Islam dengan cara yang arif dan benar. Sampai detik ini kedua organisasi ini masih berdiri tegak dan eksis.

Sebagai penutup, Islam itu berlawanan dengan radikalisme. Islam itu adalah agama yang fleksibel dan luwes. Keluwesan Islam menjadikan agama semitik ini dapat diterima di tengah-tengah masyarakat.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru