26.1 C
Jakarta

Apakah Deradikalisasi Tidak Lebih dari Sebuah Proyek?

Artikel Trending

Milenial IslamApakah Deradikalisasi Tidak Lebih dari Sebuah Proyek?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ada obrolan sebagian orang bahwa deradikalisasi yang digalakkan pemerintah, dalam bentuk apa pun itu, pembinaan maupun seminar, adalah proyek belaka. Maksudnya, pemerintah tengah menutupi masalah sebenarnya, yaitu bobroknya rezim, pejabat korup, bahkan islamofobia. Anggapan tersebut ditujukan untuk, tidak saja mencampakkan kinerja pemerintah, melainkan juga memberi ruang gerak terhadap para musuh negara untuk terus menggerus persatuan.

Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, pada Senin (26/7), melaksanakan rapat koordinasi dengan Kapolda Sulawesi Tengah, Abdul Rakhman Baso, Kasatgas Ops Madago Raya Reza Arief Dewanto, dan Ketua FKPT Sulteng, M. Nur Sangadji, yang membahas program Sinergisitas antar K/L, serta upaya penanggulangan dan pencegahan terorisme, salah satunya adalah upaya pengejaran terhadap sejumlah DPO teroris MIT Poso yang kini tersisa enam orang.

Tidak hanya itu. BNPT, pada Selasa (27/7), juga melakukan vaksinasi untuk mitra BNPT di Poso, lalu disusul penyerahan bantuan sosial kepada 39 mitra deradikalisasi di Kabupaten Poso pada hari berikutnya, Rabu (28/7), di pantai Tanjung Perak Tiwa’a, berupa sembako dan pembinaan wawasan kebangsaan dari Kemenag wilayah Poso. Boy Rafli, sekali lagi, ikut terjun langsung ke lokasi yang menjadi basis para teroris tersebut. Apakah BNPT punya agenda khusus?

Berdasarkan rilis, bansos kepada mitra deradikalisasi merupakan wujud solidaritas dan gotong royong di masa pandemi, bukti bahwa negara hadir dalam mengatasi dampak Covid-19. Selain mengadakan vaksinasi kepada warga di sekitar Kabupaten Poso, BNPT juga memberikan bantuan kepada masyarakat untuk membantu perekonomian warga yang terdampak pandemi Covid-19, terutama bagi mitra deradikalisasi BNPT.

Deradikalisasi menjadi suguhan utama setiap kali pemerintah, dalam hal ini BNPT, berkunjung ke tempat tertentu. Karenanya, sejumlah kalangan menganggap radikalisme sebagai proyek pragmatis yang beorientasi tidak saja terhadap penanggulangan terorisme, melainkan menjalankan anggaran negara. Jelas yang demikian perlu ditentang. Narasi-narasi yang menyudutkan deradikalisasi sebagai proyek belaka, jika dibiarkan, akan menjadi bola liar.

Mitra Deradikalisasi

Ahmad Nur Wahid, Direktur Bidang Pencegahan BNPT, dalam suatu seminar mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa sendirian menanggulangi radikalisme-terorisme. Mereka membutuhkan mitra, meliputi para akademisi dan organisasi kemasyarakatan. Melalui kerja tim yang demikian, maka pendekatan pemerintah tidak monolitik, misalkan bercorak militeristik. Secara singkat dikatakan, pendekatan persuasif adalah hasil terbaik dari kerja sama tersebut.

Tetapi ada satu mitra lagi yang bisa dimanfaatkan, yakni eks-napiter itu sendiri. Pemerintah menyadari itu sejak lama, dan eks-napiter sudah banyak berhasil menginsafkan para teroris. Dengan demikian, maka semasif apa pun gerakan deradikalisasi merupakan bentuk langkah komprehensif dan terus-menerus untuk menghalau radikalisasi, bukan untuk menjadikan deradikalisasi sebagai proyek pemerintah. Proyek di sini dalam artian yang stigmatis.

Pada kenyataannya, ketika seseorang bilang “proyek”, maka yang dimaksud adalah “sesuatu yang digarap tidak serius, dan atau karena tujuan pragmatis belaka”. Padahal, penting dilihat pula bahwa ikhtiar deradikalisasi telah berlangsung sejak lama—paling sedikitnya setelah aparat melakukan pendekatan persuasif kepada para teroris Bom Bali. Mitra, sekali lagi, adalah untuk melengkapkan pendekatan dan menuai lebih banyak keberhasilan.

Lalu bagaimana dengan seminar, konferensi, dan sejenisnya yang selalu bertemakan radikalisme-terorisme, bukannya itu menunjukkan bahwa term tersebut kentara proyek semata? Jawabannya jelas: bukan. Selain berbagai pendekatan, berbagai momentum juga harus bersumbangsih menanggulangi terorisme. Sebab, para radikalis-teroris menargetkan kaderisasi sebagi regenerasi, maka menghalangi indoktrinasi mereka harus memanfaatkan segala momentum.

BACA JUGA  Jalan Licik HTI Harus Segera Dilenyapkan di Bumi Indonesia

Baru-baru ini, seorang rekan berniat mengadakan seminar untuk muktamar organisasi kebahasaan. Tema yang diangkat dalam seminarnya adalah tentang bagaimana menanggulangi radikalisme di kalangan pemuda. Kalau dilihat sekilas, apa hubungan organisasi kebahasaan dengan tema tersebut, kenapa tema seminarnya tidak tentang kebahasaan pula? Dan kebetulan materinya dari BNPT, yang kalau mau ditanya, apa hubungan BNPT dengan muktamar bahasa?

Sama sekali tidak ada hubungannya. Tetapi, ini yang perlu digarisbawahi, para pemuda memang rentan terseret indoktrinasi. Baru dari perspektif itulah tema tersebut menemukan relevansi. Jadi semua kalangan harus menjadi mitra deradikalisasi, seperti akademisi atau eks-napiter, dan semua momentum harus menjadi media mitra meredam gerakan radikal. Apa pun seminarnya, siapa pun penyelenggaranya, tema deradikalisasi selalu relevan. Bukan karena proyek.

Proyek Keutuhan NKRI

Deradikalisasi bukanlah sebuah proyek kalau yang dimaksud ialah pekerjaan yang tidak ada gunanya. Anggapan seperti itu harus diberantas pula karena menjadi sandungan bagi deradikalisasi itu sendiri. Sama halnya dengan pihak yang menganggap Covid-19 sebagai konspirasi belaka, lalu bukan hanya tidak patuh prokes, melainkan juga memprovokasi orang lain agar tidak percaya segala upaya pemerintah. Sementara, banyak pihak sudah gugur karena Covid-19, tapi tetap tidak percaya.

Orang yang tidak percaya radikalisme-terorisme, sama dengan orang yang tidak percaya Covid-19, biasanya dilatari dua alasan. Pertama, ia tidak pernah terjangkit. Orang yang tidak percaya Covid-19 adalah mereka yang tidak pernah terkena kasus tersebut. Tetapi dalam konteks radikalisme-terorisme, orang yang tidak percaya adalah mereka yang tidak pernah peduli betapa teror itu mengerikan, atau orang yang tidak percaya karena dirinya memang sudah radikal.

Contohnya Felix Siauw dan Ismail Yusanto. Mereka tidak percaya deradikalisasi sekaligus tidak percaya radikalisme, juga tidak mau dicap radikal. Bahkan sekalipun jelas-jelas mengajarkan anti-NKRI dan Pancasila, mereka mengklaim itu sebagai bagian dari dakwahnya mengajarkan Islam. Jadi mereka tidak percaya semua tentang radikalisme maupun deradikalisasi karena mereka berada di dalamnya, sembari menganggap gerakannya bukan indoktrinasi radikal melainkan dakwah Islam. Mengerikan.

Kedua, benci pemerintah. Lumrahnya, pihak yang tidak percaya dengan deradikalisasi adalah para oposisi, baik oposisi politik maupun oposisi ideologis. Sebagian kecil politikus menganggap pemerintah tengah mendiskreditkan Islam melalui deradikalisasi, sementara para islamis menuduh pemerintah memfitnah umat Islam karena dianggap radikal. Mereka melakukan itu karena memang antipati pemerintah, maka apa pun kebijakan negara akan selalu ditentangnya.

Deradikalisasi adalah sebuah proyek dalam arti “upaya menjaga NKRI”. Karena ini adalah kerja yang besar dan berjangka panjang, maka semua pihak dan semua momentum harus dilibatkan. BNPT keliling berbagai tempat bukan karena tujuan pragmatis, tetapi murni sebagai ikhtiar pemerintah mengikis habis radikalisme-terorisme di seluruh negeri. Mulai akademisi hingga ulama harus ikut andil, mulai dari seminar hingga konferensi harus jadi media. Semuanya harus terlibat.

Jadi apakah deradikalisasi adalah proyek, jawabannya iya, dalam arti proyek menjaga NKRI dari para pemecah negeri. Siapa pun dan di mana pun proyek tersebut harus diupayakan. Bagaimana jika ada yang menegasikan itu dan tetap menganggap segalanya sebagai sesuatu yang tidak berarti? Boleh jadi, ia punya perspektif lain. Atau, memang ia kurang lengkap akal. Tidak menutup kemungkinan begitu.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru