29.3 C
Jakarta

Air Mata Kanjuruhan: Tragedi Sepak Bola dan Tanggung Jawab Indonesia

Artikel Trending

Milenial IslamAir Mata Kanjuruhan: Tragedi Sepak Bola dan Tanggung Jawab Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang terjadi pasca-pertandingan Arema FC vs Persebaya pada hari Sabtu (1/10/2022). Diketahui, insiden tersebut menyebabkan seratusan korban meninggal dunia. Hingga saat ini 153 dilaporkan meninggal dalam tragedi tersebut. Mayoritas berasal dari kalangan supporter. Ada dua korban pihak kepolisian.

Atas tragedi tersebut, kita ikut berbela sungkawa se dalam-dalamnya. Kita telah melihat tragedi sepak bola yang belum ada sebelumnya di Indonesia. Bahkan di Asia. Tragedi Kanjuruhan ini kerusuhan terburuk menyusul kerusuhan di Stadion Nasional (Estadio Nacional), Lima Peru, saat laga Peru vs Argentina, 1964 yang menewaskan 326 manusia.

Kita telah membuat sejarah kelam dalam olahrgara sepak bola dunia. Sepak bola Indonesia dibangun dengan harga kematian 153 manusia.

Kita menulis dalam titah sejarah olahraga dengan kekecewaan dan kematian. Apa yang terjadi di Kanjuruhan terlalu menyesakkan. Semua orang tidak percaya dan tidak terima. Tapi itulah faktanya.

Fakta-fakta Tragedi Kanjuruhan

Atas ketidakterimaan terhadap kekalahan, karena melihat tim kesayangannya tidak pernah kalah selama 23 tahun bertanding di kandang sendiri menjadi penyulut amarah dan kematian massal. Suporter kecewa, lalu turun ke tengah lapangan dan mencari para pemain dan ofisial untuk melampiaskan kekecewaannya.

Di sinilah masalahnya. Polisi sebagai pengaman mencoba memecah pergerakan supporter agar massa tidak masuk ke dalam lapangan mengincar para pemain. Namun upaya-upaya tersebut, tidak berjalan lancar bahkan mentragiskan.

Polisi menembakkan gas air mata ke para supporter bahkan ia yang ada di pinggir tribun. Saat itulah semua orang panik. Sebanyak 42 ribu supporter berdesakan untuk mencari perlindungan diri masing-masing. Nahasnya, mereka tidak menemui perlindungan, di stadion berkapasitas 38 ribu itu.

Pintu keluar yang mereka harapkan menjadi penolong utama karena pedasnya gas air mata tidak menolong mereka. Pintu itu tersumbat oleh ribuan manusia. Di satu titik pintu no 10 itu, menusia menumpuk. Gerah, panas, ketakutan, panik, beban psikologis membanjiri dada mereka. Bahkan sekadar menghirup oksigen gratis saja tidak ada.

Mata perih mereka, sesak dada mereka, pintu keluar yang macet, dan stadium yang tidak imbang surplus penonton, dan polisi, merenggut nyawa mereka. Kemanusiaan di sana hilang. Kebringasan menjadi pembakar lemak kehidupan yang meletup-letup menjadi kebinasaan. Anak manusia yang tua, dewasa, dan muda, laki-laki dan perempuan, tak digubris keberadaannya. Di pintu itu, mereka terinjak-injak.

BACA JUGA  Ramadan dan Gerilya Radikalisasi, Bagaimana Menanganinya?

Tanggung Jawab Indonesia

Satu hal yang harus kita ingat. Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang bukan disebabkan bentrok antarsuporter Arema dan Persebaya. Melainkan korban meninggal dunia karena desak-desakan dan terinjak, dan kekerasan yang dilakukan beberapa belah pihak antara aparat polisi, tentara dan supporter. Dan tentu saja manajemen pertandingan yang buruk di bawah PSSI.

Ingat, fakta tragedi Kanjuruhan disebabkan oleh pengabaiannya terhadap aturan-aturan yang berlaku dalam Fiderasi Sepak Bola Internasional (FIFA); jumlah penonton yang surplus kapasitas (jumlah penonton  42 ribu orang, sedangkan kapasitas stadion 38 ribu orang), penggunaan gas air mata, kekerasan aparat polisi dan tentara, serta amuknya supporter.

Gas air mata, kepanikan yang membara, teriakan histeris supporter, dan ketakutan-ketakutan yang menerjang dada mereka, menyatu dalam bawah sadar yang kini menjadi air mata Kanjuruhan. Sepak bola (Kanjuruhan) Indonesia berujung Nestapa.

Siapa yang patut disalahkan atas tragedi ini? Nyawa hilang hanya karena menonton gelindingan bola. Bola menggelinding ke sana dan ke sini, mata melototi di warna hitam putihnya, tapi kemudian bola itu menyambar, menunjuk-nunjuk, lalu membakar merah matanya. Ribuan manusia menjadi marah. Ribuan manusia menjadi murka. Ribuan manusia kehilangan nyawa.

Tak ada yang lebih berharga dari nyawa dan kemanusiaan. Tak ada yang lebih bernilai dari sportifitas dan kedewasaan. Tak ada yang lebih tinggi dari tanggung jawab sebagai manusia.

Sekarang ratusan nyawa itu telah melayang. Anak-anak yang kemarin masih ceria bercanda tawa dengan keluarganya di meja makan, dan sesekali malakukan sungkem salaman usai salat berjemaah, telah tiada. Mereka berangkat nonton bola, berujung diantar oleh seonggok manusia yang telah menjadi jenazah.

Bola yang awalnya olahraga menggembirakan, kini bola telah membunuh mereka. Bola yang awalnya menjadi strategi penyatuan kohesi sosial manusia, kini menjadi pemecah belah manusia. Gas air mata yang seharusnya menjadi pelindung-peredam konflik, kini gas air mata itu telah menghilangkan nyawa manusia.

Apa yang yang menggembirakan dari bola ini? Negara harus mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan ini. Jangan sampai pihak-pihak (radikal) tidak bertanggungjawab mengambil alih isu ini. Negara Indonesia harus bertanggung jawab secepatnya. Nyawa harus di atas nama baik dan sepak bola! Kita berduka! Al-Fatikhah…

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru