Harakatuna.com – Matinya kepakaran. Rasanya, fenomena itu masih sering diperbincangkan belakangan ini. Ditambah lagi, permasalahan tersebut menuai pro dan kontra. Ada sebagian kubu yang tidak sepenuhnya setuju dengan fenomena tersebut. Di samping itu, pada akhirnya fenomena matinya kepakaran menimbulkan kecemasan terhadap publik. Lalu, bagaimana kita menyikapi peristiwa tersebut?.
Wacana matinya kepakaran bermula dari buku Tom Nichols yang berjudul The Death of Expertise, yang menyoroti berbagai fenomena di era media sosial. Di situ dituliskan betapa publik lebih mendengarkan suara para celebrity di medsos, alih-alih mengacu para ahli yang jelas lebih kompeten. Relevansi dan apiknya gagasan membikin buku tersebut ramai dibincangkan. Hasilnya terbukti, banyak orang yang menuliskan opininya berdasarkan gagasan dari buku tersebut.
Saya tahu poin penting dari pandangan Tom Nichols tersebut. Bahwa, orang didengarkan bukan karena dia ahli dalam suatu bidang. Orang didengarkan karena pengaruhnya di media sosial. Semakin orang memiliki banyak follower, semakin dia disimak dan didengarkan. Akan tetapi, ada beberapa hal yang membuat saya muskil. Pandangan tersebut terlalu menjustifikasi jagat media sosial. Seolah medsos adalah akar kebodohan publik, sehingga publik memiliki kontribusi besar dalam membunuh kepakaran.
Media sosial hadir untuk memberikan ruang terhadap masyarakat dalam beraspirasi. Jadi, sudah selakyanya publik mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan isi pikirannya. Semua kalangan masyarakat yang dulunya susah untuk mengungkapkan pendapat, kini memperoleh kesempatan tersebut. Perihal suka atau tidak, hal tersebut pasti terjadi.
Gus Dur dalam bukunya yang berjudul Islam Kosmopolitan, menyatakan kepada seluruh masyarakat untuk ikut serta dalam berkarya tanpa dibatasi apapun, seperti identitas, politik dan etnik. Suasana yang lebih anti-hierarki seperti ini tak ayal berpengaruh juga ke media-media sosial. Ini selaras dengan nilai-nilai demokrasi. Walhasil, dengan adanya medsos orang dapat memperoleh hak kemerdekan dan kesetaraan dalam bersuara.
Kemudian kita beralih pada masyarakat yang lebih mendengarkan celebrity di medsos dibandingkan para ahli. Dalam kasus ini, saya setuju dengan pandangan Iqbal Aji Daryono pada artikelnya yang berjudul “Omong Kosong Matinya Kepakaran”. Di situ dijelaskan bahwa, seseorang diikuti karena keahliannya dalam menyampaikan gagasan. Jadi, diikuti atau tidak bukan hanya karena keahliannya dalam suatu bidang.
Iqbal Aji Daryono menganalogikan media sosial seperti warung kopi. Sebab, di media sosial orang bebas mengungkapkan apa saja, begitu pula di warung kopi. Di warung kopi, seseorang akan didengarkan karena pandai berdiplomasi, bukan karena dia seorang ahli. Dengan makna lain, orang yang pintar tidak akan didengarkan jika omongannya sulit dipahami dan dimengerti.
Kegamangan Publik
Seperti yang dijelaskan di atas, wacana matinya kepakaran membuat sebagian masyarakat merasa cemas. Ketika upaya-upaya dilakukan tetapi dihadapkan pada ketidakpastian maka dapat saja memunculkan bayangan bahwa masa depan akan sangat buruk. Situasi demikian sering disebut dengan distopia. Kata ini sering dipakai untuk mewakili suatu masyarakat yang tertindas, tidak memiliki kebebasan personal, dan minim kreativitas.
Menurut ilmuan politik Shauna Shames dan Amy Atchison, distopia bukanlah suatu tempat yang nyata, melainkan tentang sesuatu yang baik yang gagal untuk dilakukan. Jika kita menelisik arti kata distopia, maka penjelasan yang mudah ditemukan adalah imaji tentang situasi yang buruk (di masa depan). Situasi inilah yang kemungkinan besar terjadi bagi publik. Publik yang sekedar mengonsumsi hasil karya celebrity di medsos, dikejutkan dengan kabar matinya posisi kepakaran.
Saya pribadi kurang setuju dengan kabar atau opini yang dapat meresahkan pikiran publik. Seharusnya media massa mengimbangi dengan berbagai sajian kabar baik. Kalaupun ada masalah yang urgent, maka kabar tersebut seharusnya diiringi dengan data dan analisis yang tajam. Oleh karena itu, kita terlalu terburu-buru bila lantas menyatakan bahwa wacana matinya kepakaran layak untuk disampaikan kepada publik.
Masyarakat Profesional
Di samping melihat aktifitas di media sosial, perlu juga kita melihat berbagai sisi di kehidupan nyata. Karena dari situ kita akan paham, sebenarnya masyarakat sudah mulai melek dan mengerti tentang teknologi. Masyarakat pun punya kesadaran untuk menanyakan suatu masalah pada ahlinya. Begini misalnya, tidak mungkin seseorang yang ingin tahu tentang agama, lalu menanyakannya kepada dokter, begitu pula sebaliknya.
Dalam prosesnya, ada semacam kolektivitas masyarakat dalam menjaga simbol-simbol kepakaran. Fenomena ini dibaca oleh Pierre Bourdieu sebagai symbolic capiatal, yakni kapital yang terdiri dari simbol-simbol yang sarat makna kepentingan. Jika dipahami dengan objektif, kekuatan simbol yang dimiliki seorang pakar tidak akan hilang hanya karena arus perubahan sosial. Dari situ, ada kemungkinan bahwa wacana matinya kepakaran dikarenakan permasalahan persentase pengikut.
Salah satu solusi yang bisa kita lakukan adalah dengan melakukan sosialisasi. Upaya sosialisasi dilakukan untuk sekedar mengingatkan pada masyarakat. Sehingga, masyarakat akan selalu berpikir dan mengingat, bahwa tidak ada seseorang yang bisa memecahkan masalah tanpa memiliki landasan. Upaya tersebut juga dilakukan agar tidak timbul kecemasan bagi masyarakat, terlebih bagi para pakar yang hilang arah karena kematiannya sendiri.
Dari sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa perubahan sosial di era digital sudah semestinya terjadi, sehingga kita harus punya kemampuan menerima dan beradaptasi. Ada juga kemungkinan medsos menjadi bom waktu. Namun, bukan berarti kita menghalangi orang untuk bermedsos. Masyarakat punya hak dan kehendak masing-masing untuk ikut bersuara atau sekadar menikmati.