30.2 C
Jakarta
Array

5700 KM Menuju Surga (Bagian II)

Artikel Trending

5700 KM Menuju Surga (Bagian II)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

BANOVICI, 3.00 DINI HARI, TAHAJUD YANG BASAH

***

Di musim dingin, malam selalu sunyi. Kebanyakan penduduk Banovici lebih memilih menghabiskan waktu di dalam kamar sambil membakar perapian, menyalakan pemanas ruangan, atau memakai sweater tebal dan berlindung di bawah selimut untuk mengusir udara dingin yang menyiksa.

Di kejauhan sana, sesekali lolongan suara anjing memecah kesunyian. Sementara sekawanan burung Ibis yang cantik-cantik mengepak-ngepakkan sayapnya menahan rasa dingin yang menyelimuti. Mereka tertidur di ranting-ranting pohon sambil berharap besok sinar mentari menghangatkan tubuh mungil mereka.

Beberapa meter dari tempat pepohonan, sebuah rumah sederhana dengan penerangan lemah terlihat lengang. Gemercik air terdengar begitu jelas ketika Senad menyalakan kran untuk mengambil air wudhu tatkala Banovici dan penduduknya terlelap dalam tidur. Aliran air yang membasahi muka mengalirkan rasa dingin ke seluruh tubuhnya. Dingin sekali. Ditambah udara dini hari yang memang sudah membeku.

Hanya sedikit hamba-hamba Allah yang rela meninggalkan tempat tidur nyamannya untuk kemudian mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat tahajud. Tentunya, mereka adalah hamba-hamba Allah yang mempunyai keimanan dan ketakwaan yang kuat kepadaNya. Bagi mereka, musim dingin sama indah dengan musim semi, sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Ahmad,

الشِّتَاءُ رَبِيعُ الْمُؤْمِنِ قَصُرَ نَهَارُهُ فَصَامَ وَطَالَ لَيْلُهُ فَقَامَ

“Sesungguhnya musim dingin, seumpama musim semi bagi orang yang beriman. Siangnya begitu singkat maka ia gunakan untuk berpuasa dan malamnya begitu panjang, maka ia gunakan untuk shalat malam.”1

Di musim dingin seorang mukmin begitu mudah untuk berpuasa karena siang yang begitu pendek, sehingga waktu berpuasa tidak terlalu panjang, di samping udara yang dingin menyebabkan orang-orang berpuasa tidak mendapati rasa haus dan lapar. Rasulullah mengibaratkan berpuasa di musim dingin laksana ghonimah baaridah (yang menyejukan atau terasa dingin),

الْغَنِيمَةُ الْبَارِدَةُ الصَّوْمُ فِى الشِّتَاءِ

“Ghonimah baaridah adalah puasa di musim dingin.”2

Usai mengambil air wudhu, Senad merasakan wajahnya begitu segar, batinnya begitu lembut, dan pikirannya begitu tenang. Wudhu selalu membuatnya menjadi nyaman. Dinginnya air sama sekali bukanlah penghalang baginya untuk menunaikan kerinduannya bertemu dengan Sang Pencipta dalam shalat malam yang memang biasa ia lakukan sehari-hari. Keduaorangtuanya mengajarkan shalat malam sejak ia masih kecil dan semasa dia di pesantren dulu. Dan ia terbiasa dengan itu tanpa mengenal musim dan di mana pun ia berada.

Terlukis di pikirannya bagaimana Ibnu Rajab al hambali menggambarkan dalam perkataanya bahwa malam musim dingin begitu panjang, maka seseorang bisa menggunakannya untuk tidur. Setelah itu, ia bisa menggunakannya untuk shalat malam atau membaca al-Qur’an. Dua manfaat secara bersamaan bisa digapainya; anatara tidur yang dibutuhkan oleh jasadnya dan membaca al-Qur’an yang dibutuhkan oleh batinnya.

Usai shalat ia merengkuh al-Qur’an, dengan lembut dan penuh takzim dikecupnya mushaf itu. Betapa ia mencintai kitab suci al-Qur’an, kitab suci yang menjadi pedoman hidup umat Islam di seluruh dunia. Kitab suci yang dijaga oleh Allah SWT orsinilitasnya sampai hari kiamat nanti. Kitab suci yang merupakan mukjizat terbesar rasulullah, nabi dan rasul Allah yang begitu ia cintai.

Hari masih senyap, ketika Senad, di hamparan sajadah itu membuka mushaf al-Qur’an dan membacanya dengan tartil dan penuh penghayatan, baris demi baris ia melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an dengan merdu dan indah. Alam dan seisinya bertasbih dan bertahmid memuji kebesaran Allah dan menyaksikan dengan penuh rasa iri seorang hamba Allah yang dengan jasad dan sepenuh hatinya senantiasa berusaha untuk mencari keridhaan dan pahala dari Tuhannya, di siang, mau pun tatkala malam menyelimuti.

Alam dan seisinya menjadi saksi betapa berat menjalankan shalat tahajud dan membaca al-Qur’an usai melakukan shalat malam di musim dingin. Waktu malam yang begitu panjang tidak membuat manusia mudah untuk melakukan shalat tahajud dan membaca al-Qur’an. Di musim dingin, jiwa begitu berat untuk bangun karena udara begitu dingin dan sulitnya menyempurnakan wudhu sebagai salah satu amalan yang utama ketika musim dingin tiba.

Namun tidak bagi Senad, jiwanya senantiasa menyambut kedatangan musim dingin sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT, ia mengetahui betapa banyak keutamaan beribadah di musim itu, hatinya seakan senantiasa bersenandung dengan kalimat,

مرحبا بالشتاء تنزل فيه البركة و يطول فيه الليل للقيام و يقصر فيه النهار للصيام

 “Selamat datang musim dingin, kala itu turun barokah dengan malam yang begitu panjang untuk shalat malam. Dan siang yang begitu pendek untuk berpuasa.”3

Usai menunaikan shalat tahajud dan membaca al-Qur’an Senad menengadahkan tangannya ke langit. Mulutnya melafalkan doa dengan penuh khidmat. Hatinya seakan merasakan apa yang diucapkan oleh mulutnya sehingga menebarkan desiran-desiran lembut di sana; betapa rindu ia kepada Tuhannya? Betapa rindu ia kepada nabinya? dan tidak lupa ,dalam setiap doanya, ia selalu berdoa agar ia bisa menunaikan rukun Islam yang kelima yakni ibadah haji.

Setiap ia menyenandungkan doa untuk menunaikan ibadah haji, ia teringat akan keduaorangtuanya yang begitu ingin menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Tapi sayang, sampai ajal menjemput mereka, keduanya belum diberikan kesempatan untuk menjadi tamu Allah.

Dahulu, ketika kedua orangtuanya masih hidup, mereka sering sekali meminta didoakan agar mereka berkesempatan menjadi tamu-tamu Allah. Menunaikan ibadah haji adalah impian keduaorangtuanya yang membuat Senad merasa kasihan dan haru. Saking inginnya menunaikan ibadah haji, pernah pada suatu kesempatan ibu Mevla memasuki rumah dengan mata sembab, di sepanjang jalan menuju ke rumah, rupanya ibu Mevla berusaha untuk menahan tangis. Ketika memasuki rumah, Senad melihat dengan jelas kedua mata ibu yang begitu dicintainya. Mata itu merah dan basah dengan air mata. Walau suaranya lemah, Senad mendengar dengan jelas kalau ibunya tengah menangis. Namun ia tidak mengetahui apa yang menyebabkan ibunya menangis. Senad pun tidak berani untuk menanyakan kepada ibunya apa yang menyebabkan ia menangis.

Beberapa saat Senad menunggu ibunya keluar, ia kemudian  bercerita bahwa ia baru berkunjung ke rumah temannya yang baru pulang dari tanah suci. Ia merasa iri dan haru mendengarkan cerita temannya ketika pertama kali melihat baitullah, rumah Allah yang ketika mata memandangnya dengan keimanan dan tasdiq, maka Allah akan memberikan 20 rahmat kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya laksana seorang bayi yang baru terlahir ke bumi4. Temannya mengisahkan bahwa pandangan mata terindah di dunia ini adalah ketika matanya menatap baitullah; ia merasakan perasaan haru, bahagia, dan membuat hati dipenuhi dengan kerinduan yang mendalam akan kasih sayang Sang Pencipta.

Tiba-tiba bayang-bayang wajah ibunya yang tulus itu muncul di dalam doa yang dipanjatkannya. Wajah putih bersih itu seakan memandang wajah Senad sambil tersenyum. Lama wajah tulus itu menatapnya sehingga membuat hati serasa rintik. Basah dengan kerinduan yang menyayat kepada ibunya. Ayahnya yang sabar, pendiam, dan penuh keteladanan di malam itu pun hadir menguasai batinnya. Bayang-bayang ayah tercinta silih berganti menguasai pikirannya. Senad seakan melihat ayahnya menghampirinya dan menggandeng tangannya seperti dulu ketika ia masih kecil. Ayahnya menggandeng tangannya untuk melakukan thawaf seperti yang dilakukan oleh nabi Ibrahim bersama puteranya Ismail.

Kasih sayang dan cinta keduaorangtuanya yang begitu besar, pendidikan agama yang begitu kuat, dan teladan akhlak yang begitu mulia membuatnya sangat mencintai keduaorangtuanya, “Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan dosa keduaorangtuaku dan sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku ketika ku kecil,” gumannya lirih dengan bibir bergetar. Butiran-butiran bening menyusuri sudut matanya untuk kemudian membasahi pipi dan menetes ke sajadah. Ia membiarkan air mata itu meleleh. Satu demi satu air mata itu berjatuhan sampai akhirnya menjadi tangisan yang memilukan sukma.

Ia begitu khusyuk memanjatkan doa untuk kedua orangtuanya sampai membuatnya larut dalam kesedihan.  Senad menangis tergugu di tengah kesenyapan malam. Isak tangisnya terdengar memecah kesunyian mushola rumah di mana keluarga kecilnya biasa menunaikan shalat di sana. Kelembutan hati Senad di hadapan Allah membuat kagum sekaligus iri semua mahluk Allah yang ada di bumi dan di langit.

Sebagaimana ibunya, sejak bertahun-tahun yang lalu, keinginan Senad untuk menunaikan rukun Islam yang kelima begitu kuat. Setiap hari, Senad berdoa agar Allah SWT mengabulkan permohonannya. Ia ingin sekali bisa menjadi tamu Allah, berkumpul di rumah-Nya yang mulia bersama saudara-saudara sesama muslim dari berbagai penjuru dunia. Seiring bertambahnya usia, keinginannya untuk menunaikan ibadah haji makin kuat dan makin menjadi-jadi.

Setiap hari ia membayangkan dirinya memakai pakaian ihram berwarna putih-putih. Pakaian terindah yang selama ini ada di dalam impian hidupnya. Sebuah kain putih nan bersih yang melambangkan keinginan orang-orang yang memakainya untuk bersih dari segala dosa yang telah dilakukannya. Ia membayangkan dirinya melakukan thawaf di Ka’bah. Rumah Allah yang pertama kali dibangun di muka bumi yang terletak di Bakkah (Mekah). Rumah yang dibangun oleh para malaikat sebelum Adam diturunkan ke bumi, dan malaikat-malaikat itu pun berthawaf dibangunan itu memuji kebesaran Allah SWT. Hati Senad bergetar membayangkan keagungan dan kemuliaan baitullah.

Allah telah memilih tanah haram (terhormat) dalam posisi sejajar dengan singgasana-Nya (Arsy). Karena itu Allah menyuruh umat manusia untuk datang ke sana untuk melakukan shalat dan berthawaf, sebagaimana shalat dan thawaf yang dilakukan oleh para malaikat di Arsy Allah SWT.[1] Dan Allah berjanji akan mengabulkan doa setiap hamba-hambaNya yang dipanjatkan di tempat suci ini. Alangkah indah dan mulia apabila dalam hidupnya Senad mempunyai kesempatan untuk shalat, thawaf, dan berdoa di tempat mulia ini seperti yang dilakukan oleh nabi Adam, Ibrahim, Ismail, nabi Muhammad dan nabi-nabi serta rasul Allah lainnya.

Ia ingin menenggelamkan dirinya dalam doa dan permohonan ampun di maqom Ibrahim, sebuah batu lembap, tempat berpijak kaki nabi Ibrahim ketika ia bersama puteranya tercinta Ismail sedang meninggikan Ka’bah. Di tempat ini pula usai meninggikan Ka’bah nabi Ibrahim bersama puteranya berdoa, “ Wahai Rabb kami terimalah dari kami (amalan kami) sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mulia.” Sebuah tempat mulia di mana setiap doa dan permohonan akan diijabah oleh Allah SWT.

Ia ingin berlari-lari kecil antara bukit Sofa dan bukit Marwah mengenang bagaimana perjuangan siti Hajar beserta puteranya Ismail . Ia ingin berjiarah ke makam rasulullah, laki-laki agung dan penuh kemuliaan yang selama ini ia kagumi, ia puja, dan ia berusaha tauladani akhlaknya.

Sesudah tenggelam dalam kerinduan kepada Allah SWT, Senad pun mengakhiri doanya sambil menangis tersedu-sedu. Sudah tak terhitung air mata yang menetes dan kini membasahi sajadahnya. Ia tiba-tiba merasa kini tubuh dan jiwanya diterbangkan oleh Allah dan berada di tengah lautan jutaan manusia; ia bertasbih, bertahmid, dan bertakbir memuji kebesaran Allah SWT, ia tumpahkan semua kerinduannya untuk menjadi tamu Allah, dengan kalimat yang terbata-bata karena tangis, bibirnya bergetar mengucapkan kalimat talbiah yang diajarkan oleh rasulullah kepada umat Islam,

Ya Allah, aku datang karena panggilan-Mu.

Tiada sekutu bagi-Mu

Segala nikmat dan puji adalah kepunyaan-Mu dan kekuasaan-Mu

Tiada sekutu bagi-Mu

Bertahun-tahun ia merindukan kalimat itu untuk senantiasa membasahi bibirnya; di tengah kesendirian, keramaian, siang mau pun malam dan di mana pun ia berada tiada henti henti hati dan bibirnya menyenandungkan kalimat talbiah. Betapa ingin Senad mengucapkan kalimat itu dengan mengenakan pakaian ihram sambil berthawaf di rumah Allah SWT. Betapa ingin ia berjumpa rasulullah walau sekedar menjiarahi pusaranya.

Berkali-kali di akhir doa itu ia melafalkan talbiah, kalimat agung yang apabila seorang muslim membacanya maka bebatuan, pepohonan, tanah di kanan kirinya juga ikut membacanya sehingga membuat bumi retak di sana sini4. Sambil membayangkan ibu, ayah, isteri dan orang-orang yang dicintainya bersamanya. Ia terus melafalkan itu dengan mulut terbata-bata dan tangis menjadi-jadi karena kerinduannya untuk menjadi tamu Allah. “Ya Allah ijinkan aku untuk menjiarahi rumah suci-Mu, ijinkan aku untuk menjadi tamu-Mu duhai Tuhanku,” gumannya di dalam hati. Senad terus mengulang-ulang doanya sampai ia tertelungkup di atas sajadah sambil menangis.

Lama Senad menangis sambil bersujud menumpahkan semua doa dan kerinduannya kepada Allah. Tiba-tiba azan subuh berkumandang bertaluan menghiasai kesunyian langit Banovici. Senad terbangun  sambil bibirnya yang basah mengucapkan  “Ya Allah yang memelihara al-Baitul al-Attiq (Ka’bah), merdekakanlah kami, bapak-bapak kami, ibu-ibu kami, saudara-saudara kami, dan anak-anak kami dari belenggu api neraka.” Sebuah doa yang dipanjatkan nabi Adam di Ka’bah, sesudah dia melakukan thawaf di rumah suci itu.

Ikuti penulis di:

Wattpad:birulaut_78

Instagram: mujahidin_nur

_____________________

1 HR al-Baihaqi dalam Sunan al Kubro (4/297)

2 HR Tirmidzi N0 297

3 Lathoif al Ma’arif : 565

4 HR. Ibnu ‘Ady dan Baihaqi

[1] At-Saibi dalam Arais al Majilis

4 Sebagaimana Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, Baihaqi dan lain-lain.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru