27.2 C
Jakarta

100 Tahun Pak Harto dan Warisan Islamisme di Indonesia

Artikel Trending

Milenial Islam100 Tahun Pak Harto dan Warisan Islamisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tanggal 8 Juni, di mana Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto lahir, adalah momentum bersejarah. Pak Harto yang naik takhta sebagai presiden melalui Supersemar, seberapa polemis pun surat dari Soekarno tersebut, meminjam bahasa Gus Dur, adalah “orang yang banyak berjasa untuk Indonesia, sekaligus banyak dosanya pula.” Ia dikenal sebagai penjaga kedaulatan RI dan bapak pembangunan. Tetapi di luar label penghormatan tersebut, ternyata ia adalah pewaris Islamisme.

Pak Harto sering kali dianggap buruk dan diktator paling kejam sepanjang sejarah Indonesia. Tetapi itu di sisi yang lain. Jasa-jasanya yang baik mesti kita apresiasi: satelit Palapa, misalnya, yang jadi cikal-bakal internet. Adapun terhadap aspek sosial-keagamaan, represi Orde Baru mewariskan trauma dan preseden buruk, terbukti sementara ormas Islam jadi liar ketika Orde Baru runtuh. Tetapi sebelum itu terjadi, Pak Harto mewariskan sesuatu yang lebih menakutkan, yaitu Islamisme.

Pada peringatan seabad Pak Harto kemarin, trah cendana menarasikan kritik bahwa Reformasi lebih buruk daripada ketika masa Orde Baru. Pak Harto, katanya, akan sedih andai tahu kondisi Indonesia hari ini. Perihal polemik dana haji, misalnya. Kenapa keluarga cendana seolah lebih dekat dengan oposisi? Apa hubungan keluarga cendana dengan FPI, misalnya, atau yang lebih dulu apa kepentingan Pak Harto dengan MUI? Jelas, ini berkaitan dengan legacy Islamisme tadi.

Kalau kita kilas balik, mungkin akan ada yang berkesimpulan, Indonesia sejak dulu ada perang antara trah Pak Harto dengan trah Soekarno. Keduanya adalah musuh bebuyutan. Soekarno dan trahnya tertuduh sebagai partisan komunis PKI, dan Pak Harto sebagai pahlawan penumpasnya. Hingga hari ini, isu PKI selalu diarahkan ke trah Soekarno dan secara spesifik PDIP, partai Megawati. Apakah semua ini kebetulan, permainan, atau memang merupakan lanskap residu Islamisme tersebut?

Pak Harto dan Umat Islam

Penting dicatat bahwa, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah para ulama membahas perkara-perkara umat dan mengeluarkan fatwa ihwal hukum dan praktik Islam, sejatinya adalah strategi politik Pak Harto. Dalam bukunya, Adicerita Hamka (2020: 210), James Rush, profesor sejarah dari Arizona State University, mengatakan bahwa Pak Harto mencari teman dari kalangan Muslim dan mengarahkan para tokoh Muslim untuk kepentingan Orde Baru.

Senada dengan Rush, Ricklefs mengatakan bahwa MUI merupakan wahana bagi pemerintah Orde Baru untuk mengontrol Islam demi kepentingannya. Maka, kata Ricklesf, ketika Hamka mundur sebagai Ketua MUI pertama pada 1981, itu adalah bentuk protes Hamka terhadap tidak independennya MUI di hadapan Orde Baru yang kadung jadi stigma di masyarakat (M.C. Ricklefs, 2013: 277). MUI kemudian jadi kekuatan Islam Indonesia yang diincar banyak orang, termasuk kaum Islamis.

MUI, yang Pak Harto akomodasi, seiring waktu mengejawantah sebagai panggung otorisasi umat Islam. Sementara pada saat yang sama, NU dan Muhammadiyah adalah otoritas yang lain yang telah punya panggung sendiri. Alhasil, MUI disusupi kelompok konservatif, Islamis, yang pada gilirannya nanti berdampak terhadap kebijakan yang sering kali kontradiktif dengan pemerintah. Orde Baru boleh saja lengser, tetapi ia telah mewariskan panggung gerakan Islam yang cenderung dieksploitasi.

BACA JUGA  Menguji Konsistensi Etika dan Toleransi Muslim Indonesia

MUI terus berjalan. Ketika Orde Baru lengser, ia independen, tetapi ketika independen, MUI justru jadi tunggangan oposan menyuarakan kritik atas nama Islam. Tidak hanya untuk MUI, Reformasi memberikan ruang terhadap Islamisme yang lebih luas. Bak membangunkan singa tidur: Islamisme mencapai puncak yang klimaksnya adalah aksi teror yang masif di sejumlah wilayah. Sementara di saat yang bersamaan, trah Pak Harto mungkin sadar, Reformasi tidak lagi memberikan ia panggung politik.

Maka tidak heran, misalnya, keluarga cendana dianggap sebagai mobilisator gerakan Islamis: demonstrasi besar-besaran. Sama dengan di era Orde Baru, trah Pak Harto menjadikankan umat Islam untuk kepentingan politisnya. Utamanya, ketika ia berhadapan dengan trah Soekarno.

Kaum Islamis Hari Ini

Dalam suatu jamuan makan, yang terekam melalui video, Haikal Hassan secara tidak sengaja mengatakan bahwa mereka harus berterima kasih pada Tommy Soeharto. Pada haul Pak Harto yang lalu, Habib Rizieq juga terekam hadir dan memujinya. Bahkan pada seabad kemarin, yang hadir adalah Prabowo dan Anies Baswedan. Tidak ada jajaran pemerintah lainnya. Tidak ada trah Soekarno. Sangat mudah untuk ditebak, bahwa mereka akan selamanya menjadi oposan, selama trah Soekarno berkuasa.

Politik dinasti memang kerap kali jadi perbincangan yang hangat. Tetapi, dalam perspektif yang lain, itu adalah kontestasi politik antarkaum nasionalis. Umat Islam yang memosisikan diri sebagai oposisi akan dekat dengan keluarga Pak Harto, maka tidak heran ketika Habib Rizieq sangat mesra dengan mereka. Di sisi lain, gerakan kaum Islamis justru mendominasi ruang publik, lalu menjelma sebagai tantangan baru yang mesti jadi pusat perhatian bersama.

Melalui Pak Harto dan warisannya, kaum Islamis memiliki panggung untuk andil bersuara di ruang publik sebagai “suara Islam”—sebagaimana tujuan ideal MUI dibentuk. Hari ini, MUI sudah berada di tangan ormas NU maupun Muhammadiyah, sementara kaum Islamis tersingkir. Masalahnya ternyata tidak lantas selesai, karena mereka kini punya panggung personal dengan jemaah yang tidak sedikit. Jadi, sekalipun Pak Harto lengser, dan kaum Islamis tersingkir, keadannya tetap sama saja.

Pak Harto berjasa besar terhadap kadaulatan dan pembangunan bangsa Indonesia, tetapi juga berjasa besar terhadap maraknya Islamisme. Kaum Islamis sudah berdiaspora ke dalam pelbagai organisasi dan punya jemaah masing-masing. Namun alih-alih habis, gerakan mereka justru jadi sporadis. Mereka yang sporadis itulah, yang satu di antaranya tetap dipelihara trah Pak Harto, seperti FPI misalnya, yang berusaha pemerintah tuntas-habiskan.

Mungkin setelah ini akan mengambil kesimpulan dengan bertanya, “Jadi sebenarnya semua masalah ini bukan risiko Reformasi melainkan warisan dari Pak Harto?” Kesimpulan demikian tidak terlalu benar, tetapi tidak sepenuhnya bisa disalahkan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru