29.2 C
Jakarta

Zakat: Jembatan Solidaritas Umat Anti-Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifZakat: Jembatan Solidaritas Umat Anti-Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di antara bukti kesempurnaan Islam seseorang adalah membayar zakat. Zakat merupakan rukun Islam ketiga, yakni setelah syahadat dan salat. Lebih dari sekadar kewajiban saja, zakat merupakan manifestasi keimanan seorang Muslim. Zakat juga merupakan ekspresi beragama dan praktik yang menandai kepedulian dan kasih sayang sesama manusia.

Zakat memiliki dua dimensi utama, yaitu pembersihan dan pemberdayaan. Secara spiritual, zakat dapat membersihkan jiwa pemilik harta dari sifat-sifat penyakit hati seperti tamak dan kikir. Secara sosial, zakat bertindak sebagai alat pemberdayaan ekonomi khususnya bagi mereka yang kurang mampu.

Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) kali ini mengusung tagline “Nikmat Berzakat: Tenteramnya Muzaki, Bahagianya Mustahik”. Melalui program itu, Baznas relevan dengan upaya membantu pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat. Hal ini juga sebgai wujud komitmen Baznas sebagai implementasi instrumen keadilan sosial.

Di masyarakat, pengetahuan zakat dan pemahaman zakat masih sepintas kewajiban spiritual saja. Hal ini bisa kita lihat perihal zakat hanya ramai dibicarakan ketika menjelang Idulfitri saja. Ketika sudah melaksanakan zakat fitrah masyarakat merasa sudah menunaikan ibadah zakat, padahal zakat beragam macamnya. Ada zakat mal, emas dan perak, perdagangan, dan hewan ternak.

Zakat dalam Dimensi Sosial

Tidak bisa dibantah fakta bahwa zakat adalah instrumen ekonomi yang dirancang untuk mengurangi ketimpangan sosial. Dengan mengalokasikan sebagian harta yang dimiliki oleh seseorang, menjadi strategi untuk memperkecil jurang kesenjangan ekonomi. Hal ini merupakan konsep redistribusi kekayaan yang cukup efektif dalam mengatasi kemiskinan.

Zakat juga mempunyai hikmah yang luar biasa. Muzaki atau orang yang menunaikan zakat akan diberi ketenteraman hati dan bermuhasabah diri bahwa sejatinya harta yang dimilikinya ada sebagian yang bukan haknya. Hal ini akan menimbulkan rasa syukur dan mengantarkan keimanannya bahwa sejatinya semua harta dan jiwa raga di dunia ini hanyalah milik Sang Pencipta.

Dari sisi mustahik juga akan sangat berbahagia dan inilah yang akan mengantarkan dirinya sebagai jembatan solidaritas umat. Islam akan semakin sejahtera dan ketimpangan kemiskinan dapat diminimalisir. Muzaki dan mustahik juga memiliki ikatan emosional yang saling memperkuat kerukunan antarumat beragama. Hakikatnya zakat juga akan kurang sempurna apabila tidak ada yang menerima, maka hikmahnya zakat adalah pemersatu kerukunan masyarakat.

Zakat secara signifikan juga akan berdampak pada motif tindakan sosial seseorang. Jika seseorang dalam berzakat sudah merasakan kenikmatan, tentu otomatis akan merasa berempati kepada orang lain.

Jika semua orang sudah pada taraf ini, maka kemiskinan setidaknya dapat terminimalisir. Dana zakat yang terkumpul akan diarahkan kepada program-program tepat sasaran dan berkelanjutan. Misalnya pemberdayaan ekonomi bagi kaum duafa, literasi digital zakat, kesehatan, dan bantuan secara langsung.

Ramadan adalah saat yang tepat untuk berbagi kebaikan. Momentum ini bisa dijadikan sebagai penguatan pengetahuan tentang zakat. Misalnya di beberapa pesantren diadakan pengajian dan pesantren kilat yang membahas seputar zakat. Organisasi seperti Baznas juga melakukan aksi dengan menggandeng beberapa korporasi untuk memasang label “Taat Zakat” dan menyosialisasikan zakat karyawan.

Panorama lain, dai dan penceramah juga sangat penting untuk menginspirasi dan memotivasi umat Islam. Tujuannya adalah sebagai pengingat bagi kita semua bahwa mensyiarkan dakwah zakat masif akan meningkatkan kesadaran dan kepedulian sosial. Inilah yang sangat kita harapkan.

BACA JUGA  Pilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!

Mengutip pandangan Prof. Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam mengatakan dalam Islam, persaudaraan kemanusiaan dibangun secara inklusif dilandasi prinsip kesamaan derajat manusia, kemaslahatan dan tolong-menolong.

Kehidupan masyarakat yang ditandai oleh adanya jurang antara si kaya dan si miskin, antara si kuat dan si lemah, adalah kehidupan yang tidak etis. Kehidupan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Masyarakat seperti itu adalah masyarakat yang jauh dari nilai-nilai akhlak yang luhur.

Dalam Islam, Rasulullah menegaskan bahwa perumpamaan mukmin terhadap mukmin lainnya dalam saling mengasihi, menyantuni, menyayangi adalah satu kesatuan tubuh. Artinya adalah apabila ada salah satu bagian anggota tubuh yang tersakiti maka seluruh badan juga merasakannya.

Sejalan dengan pernyataan di atas, Islam menetapkan kewajiban zakat bagi setiap Muslim. Zakat bisa dikatakan sebagai ibadah sosial yang memainkan peran sebagai instrumental ekonomi Islam. Zakat menjadikan masyarakat umat Islam menjadi lebih terjamin. Terutama dari sisi kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak orang miskin. Umat Islam tidak akan terjerembab kemiskinan apabila instrumen zakat berjalan dengan baik. Semuanya berkecukupan.

Lalu, pa yang mesti dilakukan mulai detik ini? Di tengah zaman yang semakin luntur antara etika, moral dan agama. Dibutuhkan tindakan yang dipayungi nilai “ketuhanan”. Dibutuhkan manusia theomorphis untuk membangun revolusi peradaban. Dibutuhkan saling mengkoreksi antara eksistensi dan esensi. Hal ini menjadi sangat penting mengingat sampai detik ini pentingnya zakat masih kurang diperhatikan.

Untuk itulah, dari sekarang kita harus mulai belajar untuk menyisakan sedikit dari harta yang kita punya. Dengan adanya lembaga seperti Baznas, kemudahan dan pengetahuan mengenai zakat dapat dijangkau dengan mudah. Saya sendiri merasakannya sendiri sebagai penerima Beasiswa Cendekia Baznas (BCB) yang membantu saya selama melaksanakan belajar di universitas.

Saya yakin bukan harta sedikit yang membuat kita susah, bukan harta banyak yang membuat kita gembira. Tetapi hati yang bersih dan jiwa yang tenang yang akan membuat kita kaya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Umat Anti-Radikalisme

Lantas umat anti-radikalisme apa yang dimaksud? Umat anti-radikalisme merujuk kepada mereka yang secara aktif menolak dan melawan ideologi radikal serta ekstremisme dalam segala bentuknya. Mereka memilih untuk memperkuat nilai-nilai toleransi, kedamaian, dan kerukunan antarumat beragama dalam kehidupan sehari-hari.

Umat anti-radikalisme berkomitmen untuk membangun masyarakat yang inklusif, berdasarkan saling penghargaan, kerja sama, dan keadilan. Umat anti-radikalisme dapat terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk tokoh agama, pemimpin masyarakat, akademisi, aktivis sosial, serta individu-individu yang peduli terhadap keamanan dan stabilitas negara.

Mereka secara aktif terlibat dalam kegiatan sosial, pendidikan, dan advokasi yang bertujuan untuk mencegah penyebaran ideologi radikal, mengedukasi masyarakat tentang bahaya ekstremisme, dan mempromosikan nilai-nilai moderat dan inklusif.

Dengan menggalang solidaritas dan kerja sama antarumat beragama dan lintas kelompok masyarakat, umat anti-radikalisme berperan penting dalam membentuk narasi yang kuat dan positif tentang keberagaman dan pluralisme di tengah-tengah masyarakat. Mereka adalah garda terdepan dalam membangun ketahanan sosial dan menghadapi tantangan radikalisme yang dapat mengancam keamanan dan stabilitas negara, dan dalam hal ini melalui zakat. Wallahu a’lam.

Yusup Nurohman
Yusup Nurohman
Santri di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru