30 C
Jakarta

Untuk Kaum Radikalis; Mengapa Benci Maulid Nabi?

Artikel Trending

KhazanahOpiniUntuk Kaum Radikalis; Mengapa Benci Maulid Nabi?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sengaja saya buat judul dengan bentuk pertanyaan. Hal ini untuk membuka paragraf pertama dengan sebuah hipotesis bahwa sudah bukan waktunya untuk mengkaji maulid sebagai hal baru; entah berkenaan dengan pentingnya, hukumnya atau tujuan baiknya.  Sehingga pertanyaan semisal untuk apa bermaulid? Atau apa hukumnya maulid? Sudah tidak lagi baik untuk didiskusikan. Karena, di samping topik tersebut adalah topik lama, maulid sudah menjadi fenomena kebudayaan, bahkan merupakan ciri peradaban.

Di era perkembangan teknologi ini, manusia sudah tak peduli pada kesibukan maulid; hukumnya, pentingnya dan semacamnya itu. Ia, bagi manusia zaman sekarang, hanya sebatas laku kompak yang sama sekali tak berkaitan dengan norma agama. Justru maulid, hari ini, lebih pada sebuah kegiatan yang terikat erat dengan norma sosial. Dan itu dapat terwakili oleh sebuah pertanyaan “Apa yang salah dari maulid?”. Pertanyaan ini juga sebagai penolakan bagi mereka yang koar-koar mengharamkan maulid.

Maulid, dalam definisi saya, adalah laku membaca selawat secara bersamaan dalam rangka merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selawat, khususnya selawat Diba’ dan Barzanji, secara global mengandung makna pujian. Sebagaimana maulid adalah fenomena, tampak bahwa dalam perayaannya mereka bergembira.

Hal ini terbukti, misalnya, dengan adanya buah-buahan dan uang kertas layaknya pesta kenduri. Diiringi dengan dentuman suara rebana, suasana kegembiraan akan kedatangan sosok yang ditunggu ikut mengisi perayaan. Bermacam lagu di dendangkan melalui selawat Qiyam dengan khusyuk.

Namun, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa maulid di zaman sekarang sudah mengalami pergeseran makna—dari maulid sebagai aktivitas keagamaan ke ia sebagai momok sosial. Tak sedikit dari orang-orang yang hadir ke acara maulid menganggap kehadirannya sebagai laku kekompakan saja.

Berangkat dari stigma cacat moral, sebagai akibat dari ketidakhadirannya, mereka memilih hadir untuk menghindari hal itu. Bahkan, bagi sebagian orang, maulid dijadikan momen mengangkat derajat sosial, semisal dengan memberi sumbangan dengan jumlah yang tidak disanggupi oleh tetangga dekatnya.

Sekilas dalam tulisan ini saya akan membahas maulid melalui sudut pandang tindak tutur (speech act). Secara pragmatis, tuturan merupakan suatu bentuk tindakan dalam konteks situasi tutur sehingga aktivitasnya disebut tindak tutur. Istilah tindak tutur sendiri mulai diperkenalkan oleh seorang filosof Inggris, J. L. Austin, dalam pidato kuliahnya. Kemudian gagasan tersebut ia kumpulkan dalam bukunya yang berjudul How to Do Hings With Words (1962).

Melalui buku itu, Austin mengemukakan pandangan bahwa bahasa tidak hanya berfungsi untuk mengatakan sesuatu, melainkan juga dapat digunakan untuk melakukan sesuatu. Pandangan Austin ini bertentangan dengan para filosof sebelumnya yang mengatakan bahwa berbahasa hanya aktivitas mengatakan sesuatu.

Tindak tutur adalah teori yang lebih cenderung meneliti struktur kalimat. Secara tidak langsung teori tindak tutur membahas sesuatu yang tersimpan di balik suatu tuturan. Apabila seseorang ingin menyampaikan sesuatu, maka makna tersirat berupa sebuah tindakan adalah maksud si penutur. Itulah objek kajian dari tindak tutur. Namun, untuk menyampaikan maksudnya seseorang harus menuangkannya dalam bentuk tutur. Maksud atau makna tersebut bisa diketahui dengan tafsir atas struktur kalimat yang dituturkan.

Searle, salah seorang murid Austin, juga mendukung gagasan Austin tersebut—di samping ia juga mengkritiknya. Menurutnya tindak tutur adalah penghasilan kalimat dalam kondisi-kondisi tertentu. Hal ini berangkat dari sebuah hipotesa bahwa pada hakikatnya semua tuturan mengandung arti tindakan, yang hal itu terkait dengan sebuah kondisi tertentu.

BACA JUGA  Pilpres 2024; Ulama Sebagai Komoditas Politik Semata?

Dalam hal ini, Searle juga membuat formula-formula pelengkap yang menyatakan bahwa ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur; tindak lokusi, tindak ilokusi dan tindak perlokusi. Menurutnya inti pembahasan dari tindak tutur terletak pada jenis tindakan yang kedua, tindak ilokusi.

Maulid, dalam kaitannya dengan teori tindak tutur termasuk dalam katagori jenis tindakan yang kedua, tindak ilokusi. Di balik tindak tutur ini terdapat daya untuk melakukan tindakan tertentu yang relevan dan beriringan dengan tuturan yang diungkapkan. Hal ini karena di dalam tindak ilokusi menyimpan makna lain yang dikehendaki oleh penutur terhadap mitra tutur. Ketika penutur menyampaikan suatu tuturan, saat itulah sebenarnya ia sedang melakukan sesuatu berupa penyampaian maksud dan keinginannya.

Jenis tindakan ini oleh Searle dibagi lagi menjadi lima. Pertama, asertif,  yaitu tindak tutur yang mengikat si penutur dengan kebanaran tuturannya, seperti menyatakan. Kedua, direktif, yaitu tindak tutur yang menghendaki aksi dari lawan tutur sesuai dengan tuturan si penutur, seperti memesan, memerintah dan memohon.

Ketiga, ekspresif, yaitu tindak tutur yang mengandung makna tersirat tentang sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, seperti berterima kasih, memuji dan mengucapkan selamat. Keempat, komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat antara si penutur dengan lawan tuturnya untuk mewujudkan sesuatu, seperti berjanji. Dan kelima adalah deklarasi, yaitu tindak tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, seperti menghukum, membaptis dan memberi nama.

Dari kelima bagian tersebut maulid masuk dalam kategori ketiga, tindak ilokusi ekspresif. Selawat Diba’ ataupun Barzanji—sebagaimana disebutkan di atas—adalah mengandung makna memuji. Tuturan dengan dua selawat tersebut menunjukkan bahwa si penutur sedang kagum terhadap sosok yang dipuji. Makna lain yang juga terlahir dari tuturan dua selawat tersebut, khususnya pada momen maulid, adalah ucapan selamat atas kelahiran Nabi.

Dengan itu, si penutur sedang ikut dalam suasana kebahagiaan atas hal yang terjadi pada diri Nabi. Namun, pada hakikatnya penutur juga sedang berbahagia atas hal yang terjadi pada dirinya sendiri dan alam semesta. Karena lahirnya beliau, di samping merupakan nikmat pada Nabi sendiri, juga anugerah atas selainnya, khususnya Muslimin.  Seperti inilah maulid berdasarkan makna yang tersimpan dalam kedua selawat tersebut.

Namun fenomena maulid kali ini sangat miris dalam konteksnya bagi umat sekarang. Maksud memuji di balik tuturan dalam maulid kini telah diimbuhi maksud lain yang terlahir dari nafsu hewani mereka. Meskipun kata “mereka” di sini bukan “seluruhnya” namun ia adalah “mayoritas” yang menjadi sampel fenomena maulid. Dari ini perlukah kita menyalahkan perayaan maulid?

Jawabannya tidak. Karena seberapa kuat dan banyak maksud-maksud lain dalam perayaan maulid tidak dapat merusak makna memuji yang terkandung dalam tuturan Diba’ dan Barzanji. Ihwal maksud lain tersebut hanyalah bibit yang menyertai makna aslinya. Di samping hal itu, maksud lain tersebut adalah timbul dari pretensi buruk mereka, bukan dalam prosesi maulid itu sendiri. Sehingga yang salah dan seharusnya diperbaiki adalah  diri mereka dalam merayakan maulid.

Untuk itu mari kita bersama-sama instrospeksi diri dalam hubungannya dengan merayakan maulid. Sudah benarkah kita dalam memaknai maulid? Dan akan lebih baik lagi jika introspeksi ini dilanjutkan pada semua jejak langkah kita sebelumnya. Karena kehidupan akan penuh makna jika benar dalam memaknai kehidupan. Pada momen maulid ini, kami ucapkan selamat menyelam dalam dunia makna.

Ghufronullah
Ghufronullah
Mahasantri di Ma’had Aly Situbondo. Pemenang Juara I LKTI Nasional yang diselenggarakan BPIP, Juara Harapan Lomba Esai Jawi dan Esai Rumi yang diadakan oleh UTM Malaysia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru