29.1 C
Jakarta

Tidak Sekadar Mengulik Isi Buku, Membaca Ada Seninya

Artikel Trending

KhazanahLiterasiTidak Sekadar Mengulik Isi Buku, Membaca Ada Seninya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Membaca —bagian paling penting dari semesta literasi— adalah sebuah seni dengan kekhasan tersendiri. Banyak orang yang menaruh perhatian lebih pada aktivitas satu ini, tetapi banyak juga yang tidak menyukainya.

Barangkali, mereka yang tidak suka itu berpendapat bahwa yang diperoleh dari membaca hanya sebatas pengetahuan. Mereka lantas berdalih, “Kita bisa mendapat pengetahuan selain dengan membaca!” Memang benar. Toh, manusia tetap bisa hidup sekalipun tak pernah membaca.

Namun, bukankah pengetahuan itu bermakna luas?  Dan bukankah hidup kita ini hakikatnya berangkat dari pengetahuan? Sesederhana apapun bentuk pengetahuan itu. Sayangnya, pengetahuan hasil membaca banyak dilabelisasi sebagai suatu hal yang membingungkan serta berat untuk dipikir.

Perihal ‘membaca’ diterangkan secara sederhana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai aktivitas melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis, baik dengan lisan maupun dalam hati. Dalam lingkup literasi, aktivitas baca menjelma sebagai tindakan mulia bagi sesiapa yang melakukannya. Semakin banyak baca, semakin kaya pengetahuan. Begitu kira-kira.

Bagi yang gemar membaca, mereka pasti mempunyai jawaban sama ketika diajukan sebuah pertanyaan: apa yang kamu dapat dari membaca? Jawabannya: pengetahuan. Jika membaca buku resep masakan, berarti yang diperoleh adalah pengetahuan memasak. Jika membaca buku filsafat, berarti yang diperoleh tentang olah pikir manusia. Dan seterusnya.

Buku—yang kemudian jamak dihukumi sebagai benda paling intim dari seorang pembaca—telah tersedia dengan seabrek pilihan. Variatif. Kita mesti memaklumi apabila seseorang merasa berat ketika disuguhi buku filsafat. Tetapi sukar dimengerti jika seseorang beralasan sama terhadap buku resep masakan. Maka, patut diselidiki lebih dalam mengenai dalih ‘berat’ dalam membaca kedua jenis buku tersebut.

Setelah membaca buku, seseorang akan mendapat pengetahuan-pengetahuan yang baru. Sependek saya menyelami dunia literasi (baca-tulis) selama ini, saya sadar, setidaknya ada tiga hal yang bisa diperoleh dari membaca.

Gaya Kepenulisan, Kosakata, dan Inti Bacaan

Pertama, gaya kepenulisan. Membaca buku menawarkan pengetahuan perihal kecenderungan gaya kepenulisan sang penulis. Dari cara penuturan dalam wujud kata demi kata yang tersusun sebagai kalimat, alenia, dan bab. Misalnya, dalam semesta fiksi ada Eka Kurniawan yang kental nuansa ketabuannya.

Hal-hal yang luput dari perhatian publik dapat ditulis Eka dengan gaya bertutur yang menarik. Ada pula Agus Noor yang tersohor lewat cerita-cerita eksperimentalnya. Selain semesta fiksi, saya juga pernah membaca beberapa buku garapan Edi AH Iyubenu. Sekumpulan topik agama sering ia tuliskan memakai bahasa amat sederhana bahkan jenaka, sehingga inti sari model dakwahnya itu dapat diterima khalayak dengan mudah.

BACA JUGA  Menulis, Menyembuhkan Dunia Melalui Kata-Kata

Jadi, setiap penulis pastilah punya gaya kepenulisan berbeda. Gaya menulis Syafi’i Ma’arif tentu berbeda dengan Gus Nadir, misalnya. Atau membaca tulisan Ahmad Khoiri mestinya terasa lain dengan tulisan Agus Wedi.

Kedua, kazanah kosakata. Yang sudah saya tulis perihal ‘kaya’ tadi, boleh disandingkan dengan bagian ini. Semakin banyak membaca, semakin bertambah pula pengetahuan tentang kosakata baru. Hingga saat ini saya bahkan masih sering menjumpai kata yang asing di telinga setiap kali membaca.

Bila terjadi demikian, saya lekas-lekas membuka aplikasi KBBI di gawai, kemudian memeriksa arti kata asing yang saya temukan itu. Dengan demikian, tanpa saya sadari, penemuan-penemuan kata baru dalam suatu bacaan membuat perbendaharaan bahasa saya bertambah.

Ketiga, inti dari bacaan. Ini bagian yang mutakhir alias pamungkas. Bisa dibilang bagian ini merupakan misi utama seseorang dalam membaca. Ya, tujuan membaca tentu saja ingin mengetahui informasi penting apa yang disajikan oleh penulis. Dengan informasi itulah kemudian seorang pembaca bisa memeras sari-sari ilmu pengetahuan. Bahkan, membaca juga mampu menggeser pola pikir atau visi hidup seseorang.

Dari poin-poin yang telah saya dedah secara singkat di atas, menurut saya tiada kewajiban seorang pembaca untuk bisa memperoleh ketiganya sekaligus. Saat membaca, kita bisa dengan mudah mengetahui gaya kepenulisan sang penulis, tetapi kesulitan merunut inti bacaannya.

Saya pernah secara sadar melakukan hal demikian. Satu hari saya membaca buku dengan tujuan belajar gaya bertutur penulisnya, tanpa mempedulikan bagaimana gagasan utama buku tersebut. Barulah di lain waktu saya membuka kembali buku itu, lantas beralih fokus pada inti sari bacaan.

Jika kita boleh memilih salah satu fokus membaca, maka boleh juga kalau kita ingin memusatkan pada ketiga poin—yang telah saya sebutkan—secara sekaligus. Dalam satu kali membaca buku, misalnya, kita ingin sekaligus mempelajari gaya kepenulisan, menambah kosakata, dan menangkap inti bacaan.

Pada dasarnya, membaca adalah seni. Seorang pembaca berhak menentukan kiat-kiatnya sendiri dalam membaca. Jika ada orang yang berkelit karena disergap rasa bosan saat membaca, maka saat itulah kemampuan seninya sedang dipertaruhkan.

Indarka Putra
Indarka Putra
Alumni Fakultas Syariah IAIN Surakarta, Ketua Umum Generasi Baru Indonesia (GenBI) Jawa Tengah periode 2020-2022, bermukim di Telatah Kartasura.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru