29.5 C
Jakarta

Suara Perempuan dalam Literasi Media, Pentingkah?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanSuara Perempuan dalam Literasi Media, Pentingkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di zaman yang serba digital ini menjadikan setiap langkah seseorang untuk mencapai sesuatu kian semakin mudah, salah satunya adalah ruang yang diadakan khusus untuk para penulis, semisal website. Beberapa halaman website bahkan memiliki halaman atau kolom-kolom khusus untuk perempuan, sama halnya dengan website yang memang dibuat untuk isi-isu keperempuanan.

Tidak hanya memudahkan dalam beraktifitas atau forum menulis yang semakin menjamur, literasi seperti ini juga merupakan kesempatan bagi para perempuan untuk menyuarakan pengalaman, kegelisahan atau jejak langkah hidup yang mereka alami.

Hal ini terkait dengan semangat perempuan masa kini yang berupaya membebaskan dirinya dari jeratan dunia patriarki, yang akhir-akhir ini memang menjadi isu yang cukup sering digaungkan baik dalam webinar, seminar, bahkan halaqah-halaqah keagamaan.

Selaras dengan makin banyaknya website yang hanya dikhususkan untuk memuat suara-suara perempuan sebagai wadah mengekspresikan diri, termasuk di dalamnya adalah hal-hal terkait ubudiyah dan muamalah, atau dalam salah satu bahasa kita menyebutnya dengan fikih perempuan, menjadi sesuatu hal yang bagus untuk perempuan untuk menonjolkan peran mereka di ruang agama.

Yang demikian itu perlu sebab seringkali praktik keagamaan perempuan masih menjadi objek hukum yang dikendalikan oleh tokoh agama yang notabenenya adalah laki-laki.

Sedangkan menurut Faqihuddin Abdul Kodir, pengalaman perempuan harus dipertimbangkan oleh perempuan sendiri yang kemudian menjadi dasar dari ditetapkannya suatu hukum terkait ibadah kaum perempuan, sehingga fatwa keagamaan yang kurang respek pada pengalaman perempuan bisa menjadi fatwa yang ramah perempuan.

Sembari memanfaatkan dekade ini, ada baiknya setiap perempuan tidak lagi sungkan mempublikasi tulisannya, sebab dengan memperlihatkan tulisan kita pada orang banyak, berarti telah berani menyuarakan apa yang ada di pikiran kita, dengan tema apapun yang diangkat.

Jika temanya terkait dengan pengalaman perempuan, saran-saran untuk sesama perempuan, hingga perspektif mereka tentang gaya hidup perempuan, itu sudah cukup menjadi ajang berbagi antara perempuan yang satu dengan perempuan lainnya.

Adapun jika tema yang diangkat tentang isu yang berkaitan dengan keagamaan, keislaman, kebangsaan atau kebudayaan, maka hal tersebut berarti para perempuan telah bersikap kritis dan peka terhadap kondisi yang dialami di lingkungan sekitar maupun negaranya, sehingga dengan begitu para perempuan sudah bisa diperhitungkan untuk ikut andil dan berperan dalam ruang publik.

BACA JUGA  Mindset Misogini, Dalang di Balik Terorisme Global

Banyak perempuan-perempuan yang mulai belajar menulis dari nol dengan memposting tulisan-tulisan mereka di sosial media entah Facebook, Instagram, Twitter sampai konten-konten dalam TikTok, yang nyatanya hal tersebut bisa menjadi batu loncatan untuk melatih dan mengasah kemampuan menulis mereka.

Ke depan, ini bisa menjadi motivasi untuk mempublikasikannya ke jejaring yang lebih luas lagi, semisal website tadi. Jikalaupun tidak sampai demikian dan hanya berkutat pada sosial media, maka perempuan tersebut bisa menjadi seseorang yang berkontribusi besar dalam berbagi pengalaman atau berbagi sudut pandangnya lewat sosial media itu.

Untuk menjadi penulis yang dapat berdedikasi penuh dalam dunia literasi pun diperlukan kemampuan yang cakap, sehingga beberapa lembaga mengimbanginya dengan mengadakan pelatihan-pelatihan menulis untuk perempuan.

Umumnya pelatihan tersebut mengawalinya dengan diskusi terkait pengalaman-pengalaman apa saja yang pernah dialami selama menjadi seorang perempuan, kemudian para peserta akan diberi tugas untuk menulis atau mengekspresikan apa yang mereka rasakan tadi.

Setelahnya, tulisan sederhana yang berangkat dari pengalaman tersebut bisa diperluas menjadi narasi yang pas dengan kaidah kepenulisan menyangkut 5 W+1 H, seperti apa, bagaimana, mengapa, kapan, di mana dan mengapa.

Ketika pada akhirnya para perempuan telah terlatih dalam dunia tulis-menulis, mereka akan terdorong untuk menyuarakan pengalaman mereka lewat tulisan. Selain itu, perlu juga meluaskan sudut pandang dengan membaca banyak buku. Buku adalah suntikan utama untuk memperbanyak kata dan melatih diksi sehingga bisa lebih enak dibaca dan mudah dipahami.

Karena sekarang ini website-website yang menerima tulisan memberikan honor yang sepadan, membuat beberapa perempuan yang ikut berkonstribusi dalam dunia literasi media juga menjadikannya sebagai bagian dari pekerjaan, baik sebagai pekerjaan utama maupun sebagai pekerjaan freelance mereka.

Dengan begitu, maka perempuan tidak hanya saling berbagi pengalaman melalui dunia literasi atau menyuarakan perspektif mereka kepada publik, melainkan juga bisa mandiri secara finansial. Hal ini penting sebab bisa menjadi motivasi kepada perempuan lain untuk ikut memberdayakan dirinya dan berani menyuarakan pendapatnya meskipun baru melalui dunia literasi media.

Shella Carissa
Shella Carissa
Lahir di Indramayu dan tengah menempuh pendidikan agama di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy sambil berkuliah di Ma'had Aly Kebon Jambu, Cirebon. Kajian yang disukainya adalah pembahasan dengan tema tauhid, filsafat, kemanusiaan, sastra dan kesetaraan gender khususnya studi keperempuanan. Beberapa tulisannya telah dimuat website bertemakan kesetaraan gender dan kemanusiaan serta sering memenangkan lomba menulis esai di kampusnya.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru