32 C
Jakarta

Sekolah Eksklusif, Bagaimana Kita Menanggapinya?

Artikel Trending

KhazanahTelaahSekolah Eksklusif, Bagaimana Kita Menanggapinya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Hari raya imlek sudah berakhir. Akan tetapi, perdebatan para netizen masih sangat membekas. Hal ini berdasarkan postingan salah satu akun twitter @Pujakelana yang membagikan obrolannya via whatsapp tentang alasan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) tidak ikut libur. Tidak disebutkan SDIT mana, akan tetapi kebijakan sekolah bisa dipastikan diterapkan oleh sekolah SDIT di seluruh cabang.

Apa yang bisa kita dapatkan dari kebijakan tersebut? Apakah inklusifitas dilihat dari itu saja? Apakah menolak libur nasional Imlek bukti bahwa lembaga pendidikan tidak bisa inklusif?

Sejarah panjang perjalanan Hari Imlek sebagai libur nasional

Hari libur nasional bukanlah sebuah euforia libur nasional semata. Sejarah panjang perjalanan hari libur tersebut tidak lepas dari peran banyak pihak di masa lalu. Masa Soeharto menjadi masa yang cukup menyeramkan. Setidaknya jika membaca hasil liputan Linda Christanti yang berjudul, “Dari Jawa Menuju Aceh”, pembaca akan memahami betul bagaimana kondisi mencekam dengan sikap anti terhadap Tionghoa. Para perempuan Cina diperkosa, toko-toko milik Tionghoa dibakar.

Jangankan untuk merayakan imlek, hidup saja seperti tidak ada harapan. Begitu kira-kira untuk menggambarkannya. Akan tetapi, hal itu menjadi berbeda ketika Gus Dur, presiden keempat Indonesia mencabut Istruksi Presiden No. 14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat.

Selanjutnya perayaan Imlek menjadi libur nasional di era Megawati Soekarno Putri setelah ditetapkannya Keppres Nomor 19 tahun 2002. Keputusan tersebut tidak lain sebagai salah upaya untuk menghargai perbedaan agar bisa tetap seirama dan berjalan bersama.

Pendidikan seharusnya inklusif dan menanamkan nilai-nilai perdamaian

Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 yang berdasarkan Pancasila  dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”

Disusul dengan undang-undag tersebut, tujuan pendidikan nasional tercantum pada pembukaan UUD 1945 bahwa pendidikan untuk encerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, cita-cita mulia itu menjadikan pendidikan sebagai salah satu tolok ukur utama bagi majunya sebuah negara.

Sebab jika kita lihat pelbagai negara maju, pendidikan yang berkembang pada negara tersebut, juga pasti maju. Hal ini tercermin pada negara Finlandia, Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dll.

BACA JUGA  Memburuknya Demokrasi dalam Pemilu: Potensi Khilafahisasi Semakin Besar

Selain itu, pendidikan merupakan wadah bagi peserta didik untuk meningkatkan kemampuan, pemahaman serta meihat potensi yang ada pada diri sendiri. Dengan kondisi demikian, maka seharusnya pendidikan juga mampu melihat keadaan sosial yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Keberadaan negara Indonesia yang menjadi tanah air kita hari ini, tidak lepas dari sejarah yang membekas dan perjuangan para pahlawan, yang harus ditanamkan pada bangsa Indonesia untuk melihat sekitar. Kenyataan itu juga seharusnya membuat peserta didik harus mampu melihat bahwa negara Indonesia adalah negara yang beragam, terdiri dari pelbagai agama, ras, suku dan budaya.

Libur nasional pada hari raya Imlek tidak lain merupakan bagian dari upaya sederhana yang bisa ditampakkan oleh bangsa Indonesia untuk saling menghargai. Adalah sesuatu yang naif jika sebuah lembaga pendidikan tidak meliburkan dengan alasan agamis yang menyertai.

Lembaga pendidikan seyogyanya menanamkan nilai-nilai inklusifitas beragama untuk melihat perbedaan dan menyemai perdamaian. Meskipun sikap toleransi bisa ditunjukkan dengan banyak hal seperti tidak mengganggu pemeluk agama lain, akan tetapi sikap lembaga pendidikan yang  tidak meliburkan hari raya Imlek sebagai hari libur nasional menurut hemat penulis merupakan sikap eksklusif sebuah lembaga pendidikan.

Padahal lembaga pendidikan sebagai wadah pembentuk karakter bangsa seharusnya ikut andil terhadap pemikiran peserta didik untuk melihat agama lain. Kebijakan sekolah semacam itu itu akan berdampak besar terhadap pola pikir peserta didik dalam melihat agama lain. Meskipun kebijakan tersebut otoritas sekolah, paling tidak kita sebagai orang tua, harus bisa memilih sekolah yang bisa menanamkan nilai-nilai pluralitas bagi anak agar tidak anti agama lain.

Afifuddin (2019) dalam tulisannya menyebutkan bahwa perlunya pendidikan inklusif yang akan memungkinkan para peserta didik membuka visi misi serta cakrawala berpikir baru dalam melihat ragam etnis dan agama lain. Dari sinilah peserta didik akan melihat seseorang sebagai manusia, yang bisa bersatu dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Jika sekolah tidak inklusif dalam melihat agama, bagaimana sekolah bisa menjadi pencetak generasi bangsa yang bisa menghargai negaranya? Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru