28.4 C
Jakarta

Sebuah Puisi (Bagian IV)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSebuah Puisi (Bagian IV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mengintip Senja Berdua – Pesantren bukanlah asrama (boarding house). Pesantren begitu ketat menjaga pergaulan lawan jenis. Adalah suatu pelanggaran besar di pesantren santri yang diketahui berpacaran, apalagi berkhalwat: berduaan antara santri putra dan santri putri yang bukan muhrim.

“Kringgg!” Bel melengking keras menandakan santri putri harus berangkat sekolah.

Madrasah Aliyah, tempat Diva belajar setiap hari, berjauhan dengan bilik pesantren. Biasanya para santri berangkat lima belas menit lebih awal sebelum guru masuk kelas. Diva berangkat bareng teman-temannya. Ada Adel, asal Surabaya, gemar menulis dongeng, lalu takdir mengantarkannya masuk pesantren. Satunya lagi Hanum, kelahiran Jakarta, gemar jalan-jalan. Mereka berdua pada mulanya membenci pesantren. Mereka mengira pesantren jauh dari peradaban, kumuh dan jorok. Tapi, mereka menyadari setelah berminggu-minggu beradaptasi langsung di pesantren.

Pesantren Annuqayah, selain memiliki perpustakaan, juga menghidangkan koran Jawa Pos dan Radar Madura saban pagi. Bahkan, disediakan warnet untuk mengakses informasi dan segala kebutuhan secara digital. Tidak ada ceritanya santri yang ketinggalan informasi dan gaptek (gagap teknologi). Banyak santri yang menggunakan internet ini untuk mengirim tulisan, berupa opini, esai, puisi, atau cerpen, ke pelbagai media, baik lokal maupun nasional. Suatu kebanggaan ketika tulisan itu nongol di koran lokal, lebih-lebih nasional.

Beberapa menit berjalan atap sekolah kelihatan dari samping bilik santri putra. Menuju sekolah Diva harus menyeberang jalan raya yang biasanya dilewati santri putra. Suatu kebahagian melewati penyeberang itu. Entahlah. Diva tidak paham. Hal yang sama juga dirasakan banyak santri putri.

Pada jalan itu Diva sering mendengar santri putra yang nakal berswit-swit atau berdehem. Para santri putri tidak merespons, malah menundukkan pandangan, karena takut ketahuan pengurus keamanan. Biasanya santri putra yang nakal dan ketahuan menggoda santri putri akan diplontos di depan para santri. Tentu, malunya minta ampun. Itu salah satu sanksi di pesantren.

* * *

Bismillahir Rahmanir Rahim,” seorang guru kitab Alfiyyah mengomando para siswi, termasuk Diva, Adel, dan Hanum. Bapak ini sering dipanggil Pak Badrun. Nazam kitab ini ditulis ulama Spanyol bernama Muhammad Jamaluddin Ibnu Abdillah Ibnu Malik.

Semua siswi mengikuti bacaan basmalah guru, kemudian membaca nazam kitab Alfiyah yang terhitung seribu bait. “Qala Muhammadun huwabnu maliki # ahmadu rabbillah khaira maliki,” bacaan nazam ini dilagukan begitu indah didengarkan. Setelah itu, guru menjelaskan maksud nazam ini.

Pak Badrun menjelaskan dengan pelan dan santai. Bahasanya yang renyah membuat para siswi tidak kesulitan memahami. Bahkan, semakin terbangun semangat belajar. “Bait ini ditulis setelah Ibnu Malik menghafalnya. Bait yang sudah dihafal ini pernah lupa karena kesombongan Ibnu Malik,” jelas Pak Badrun.

Para siswi fokus mendengarkan.

Pak Badrun meneruskan penjelasannya, “Ibnu Malik menyatakan dalam bait nazam ini, kitab yang sedang dikarangnya lebih baik daripada kitab gurunya, Ibnu Mu’thi.”

Diva penasaran dan membatin, “Memangnya ulama ada yang sombong juga ya?!”

“Tidak lama Ibnu Malik tertidur pulas, lalu ia bermimpi ketemu Ibnu Mu’thi, sehingga ketika bangun dia menyadari, kesombongan itu yang menghapus hafalan.”

BACA JUGA  Pemilu 2024: Menyelamatkan Demokrasi dari Ancaman Radikalisme

Siswa tetap terdiam. Menyimak cerita pengarang kitab Alfiyyah penuh dramatis.

“Maka… uhuk-uhuk-uhuk.” Pak Badrun terbatuk sejenak. “Maka, seribu nazam yang lupa itu kembali dalam ingatan Ibnu Malik dan tertulislah dalam kitab ini pujian Ibnu Malik kepada Ibnu Mu’thi, bahwa Ibnu Mu’thi seorang ulama yang berhak menyandang pujian indah ini.”

Diva mengajungkan tangan. Bertanya suatu hal. Pak Badrun mempersilahkan.

“Kenapa bait-bait nazam ini terdengar berirama?” tanya Diva singkat.

“Anak-anakku semua! Nazam ini tak ubahnya puisi yang dikarang Musthafa Bisri dan Rendra. Kalian tahu mereka siapa? Mereka penyair. Ibnu Malik pun begitu. Dia juga penyair.” Pak Badrun menjelaskan seakan menggambarkan, bahwa baik-bait kitab adalah puisi tempo dulu. Pesantren secara tidak langsung mencintai sastra, karena nazam yang dibaca kuat kesusasteraannya.

Diva mengangguk-angguk isyarat paham.

“Anak-anakku semua… Bapak ingin berpesan, menulislah!. Para ulama terdahulu tetap dikenang namanya sampai sekarang karena menulis, termasuk menulis kitab-kitab seperti kitab Alfiyyah ini.” Itulah motivasi Pak Badrun sebelum mengakhiri pertemuan pagi ini.

Pesan Pak Badrun ini membakar semangat Diva menjadi penulis hebat. Di samping itu, Diva teringat pesan yang sama dari Abah dan Kak Nadia.

Pak Badrun baru saja keluar kelas. Adel dan Hanum mengajak Diva membaca koran di depan kelas.

Di papan koran, terbentang nama Fairuz Zakyal Ibad, penulis puisi.

“Div,” panggil Adel sambil menarik tangan Diva, “Ini tulisan santri Annuqayah,” Adel menunjuk laman koran Jawa Pos.

“Keren banget!” seru Hanum.

“Bener. Tulisanku aja belum nongol di koran nasional ini.”

Mereka bertiga membaca oretan puisi Fairuz.

.

Meski aku kau hempas

Ku tetap mencintaimu tanpa batas

Cinta itu tak harus dibalas

Biar hati yang bicara

Cinta itu bebas

.

Puisinya membuat mereka terhanyut begitu membaca baris kata demi kata. Tak terasa kata-kata indah menghipnotis pembaca, termasuk Diva. Diva mulai jatuh cinta menulis dan membaca, termasuk sudah menyelesaikan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karangan Buya Hamka.

Diva membatin.

Menjadi penulis itu menyenangkan. Hanya membaca dan menulis. Begitu kreatif penulis menyampaikan ide, sehingga pembaca terlarut di dalamnya.

“Ke kantin dulu yuk!” Hanum mengajak Diva dan Adel mencicipi gorengan di kantin terdekat sekolah.

Di kantin ini terbingkai diskusi tentang cinta. Pesan cinta yang tersurat dalam tulisan Fairuz memantik semangat diskusi mereka bertiga.

“Cinta itu…” kata-kata Diva sontak dipotong Adel.

“Cinta itu kecenderungan hati,” sebut Adel.

Mereka berdua membantah.

“Cinta itu kata hati,” kata Diva.

Menurut Hanum, “Cinta itu anugerah.”

Mereka memang sahabat. Tapi, dalam forum diskusi sering kali mereka berseberang pendapat. Anehnya, mereka tetap menjaga tali persahabatan. Mereka tetap memegang prinsip persahabatan tanpa batas seperti cinta yang tak terbatas.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru