33 C
Jakarta

Ruang Demokratisasi untuk Perempuan

Artikel Trending

KhazanahPerempuanRuang Demokratisasi untuk Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Isu perempuan selalu menjadi isu hangat yang tak kunjung terselesaikan. Negara dengan kontribusinya dalam menciptakan regulasi yang aman bagi perempuan dan agamawan yang mencoba merekonstruksi term agama, belum mampu menciptakan ruang aman dan demokratis bagi perempuan.

Era modern dengan digitalisasi dan keterbukaan informasi tidak lantas menjadikan perempuan berada dalam ruang aman. Hadirnya dunia digital sebagai media sosial baru, ternyata menciptakan bentuk-bentuk kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Dengan model baru yakni dengan munculnya hate speech, ancaman penyebaran foto/vidio pribadi sampai pencemaran nama baik.

Komnas Perempuan mencatat, kasus kekerasan terhadap perempuan di media cyber sejak 2017-2021 mencapai 1.721 kasus. Bahkan, selama masa Covid-19 kekerasan terhadap perempuan naik tiga kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya.

Di antara faktor yang menjadikan tetap eksisnya praktik kekerasan terhadap perempuan ini adalah budaya patriarki yang telah megakar kuat dalam kehidupan masyarakat.

Minimnya perempuan yang berpendidikan tinggi dan egoisme kaum laki-laki yang merasa lebih kuat dan memiliki logika berpikir yang matang dibanding perempuan menjadikan munculnya sikap otoriter kaum laki-laki yang tidak memberikan ruang dialog kepada perempuan itu sendiri.

Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pasalnya perempuan adalah fondasi bagi majunya suatu bangsa. Pada realitanya, para generasi penerus bangsa lahir dan terbangun melalui rahim dan asuhan perempuan.

Dengan begitu, untuk menciptakan negara yang demokratis dan berkeadaban, fondasi utama yang perlu dibangun adalah dengan menciptakan demokratisasi terhadap para perempuan, baik di ranah domestik maupun publik.

Urgensi Demokratisasi Perempuan

Demokratisasi secara sederhana dapat dimengerti sebagai sistem yang membolehkan setiap individu untuk membuat dan mengambil keputusan diriringi dengan komunikasi yang baik dan  sikap tanggung jawab. Dalam taraf yang mikro, demokratisasi ini perlu dibangun melalui lingkungan keluarga.

Budaya patriarki yang terbangun dalam keluarga memberikan peluang terciptanya deskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, sehingga menghambat pada akses pendidikan dan kesejahteraan keluarga.

Keluarga, laki-laki dan perempuan, sudah selaiknya menempatkan perempuan sebagai mitra dalam membangun rumah tangga. Dalam perspektif gender equality, perempuan memperoleh hak dan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek termasuk dalam pengambilan keputusan maupun pembagian kerja.

Komunikasi dan demokratisasi dalam pembagian peran dalam lingkungan rumah tangga sangat penting untuk dibangun. Sehingga terciptanya kesalingan dan keseimbangan sebagai upaya mencegah terjadinya tindakan deskriminasi yang berujung pada kekerasan dan perceraian dalam kehidupan rumah tangga.

BACA JUGA  Fenomena Fatherless dan Ketangguhan Survive Perempuan

Termasuk berkaitan dengan pekerjaan publik. Terbukanya akses lapangan pekerjaan bagi perempuan, sebetulnya menjadi peluang bagi keluarga untuk mencapai kesejahteraan bersama. Namun, justru sering kali menjadi momok bagi kaum perempuan yakni adanya beban ganda yang sangat memberatkan dan mendiskriminasi perempuan.

Peran ganda menjadi bentuk deskriminasi. Karena, perempuan selain harus melakukan tugas publik dan mencari tambahan perekonomian keluarga, perempuan juga melakukan pekerjaan domestik seperti memasak, membersihkan rumah dan lain sebagainnya. Hal ini, disebabkan oleh tidak adanya komunikasi dan demokratisasi yang tercipta di lingkungan keluarga.

Komunikasi dan interaksi menjadi pijakan awal terjadinya perubahan yang dinamis dalam upaya menciptakan demokratisasi terhadap perempuan. Demokratisasi perempuan dengan terbangunnya struktur yang saling melengkapi, menurut pandangan Talcott Parson, akan menciptakan keseimbangan dan keharmonisan dalam rumah tangga.

Dengan begitu, komunikasi dan demokratisasi ini penting untuk diinternalisasi dalam ruang keluarga. Supaya harmonisasi dan kesalingan antar gender bisa terbentuk dan kekerasan berbasis gender tidak lagi menjadi momok di negeri ini. Baik di ruang media sosial atau sosial kemasyarakatan secara nyata.

Sikap demokratis terhadap perempuan inilah yang kemudian memberikan harapan dan berdampak terhadap anak, kerabat dekat bahkan lingkungan sekitar. Terbangunnya demokratisasi perempuan dalam keluarga akan melahirkan keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang.

Anak sebagai generasi penerus bangsa yang lahir dari keluarga yang harmonis dan demokratis akan memiliki sikap toleransi dan sifat kemanusiaan yang tinggi. Sifat demokratis yang ditanamkan dalam lingkungan keluarga nantinya dapat memengaruhi cara pandang dan persepsi masyarakat luas.

Otoriter menjadi antitesis dari demokrasi. Dalam konteks ini, perempuan menjadi subjek yang pasif dan dikendalikan oleh laki-laki. Ia menempatkan perempuan sebagai manusia kelas kedua, menjadi pintu masuk terjadinya penindasan dan eksploitasi terhadap para perempuan.

Sikap otoriter ini lebih lanjut akan menghambat majunya suatu bangsa. Karena, berdampak pada tingginya ketimpangan gender dan minimnya kontribusi perempuan di ranah publik. Juga menciptakan anak atau generasi penerus bangsa yang otoriter dan jauh dari nilai kemanusiaan serta tidak menghargai perbedaan. Wallahu a’lam.

Imam Syafi'i
Imam Syafi'i
Mahasiswa Magister Prodi Interdisiplinary Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru