Renungan Tentang Umat Islam
Oleh: Prof. Dr. Muhammad Machasin, MA
Fakta: Nabi Muhammad SAW. mengajarkan Islam dalam bentuknya yang lengkap: keyakinan, amal ibadah, aturan perilaku, doa, berhubungan dengan orang lain, berhubungan dengan tetangga, menjaga tali persaudaraan dan lain sebagainya. Semua itu disampaikan tanpa menyebutkan—sepanjang pengetahuan yang sampai kepada kita sekarang—bahwa ini fiqih, ini akidah, ini akhlak dan lain sebagainya.
Kenyataan sekarang: Akan tetapi, kemudian agama itu mengambil bentuk ajaran agama yang berupa—sebahagian besarnya—kewajiban keagamaan dan peribadatan yang tertuang dalam kitab-kitab fiqih. Perbincangan masalah kepercayaan yang seru dan dapat disebut bebas berubah menjadi akidah yang terumuskan dalam “Aqa’id Limapuluh” atau “Ngako’id Sèket”. Lalu praktek pembersihan hati yang kreatif dari para tokoh sufi dulu sekarang menjadi amalan tarekat dengan mengikuti silsilah tertentu. Demikian seterusnya? Mengapa?
Ada pendapat yang mengatakan bahwa itu terjadi karena agama sebagaimana tradisi berkembang dengan mengikuti jalan: mulai dengan pelan-pelan dalam masa perkecambahan, lalu tumbuh menjadi laksana pohon yang kuat dan setelah sampai ke puncak perkembangan akan berhenti, lalu meluncur ke bawah menuju kehancurannya. Ada pula yang mengatakan bahwa itu karena munculnya tokoh-tokoh besar di masa pertumbuhan dan perkembangan, sehingga tidak ada lagi masalah yang tersisa setelah itu. Pemikiran besar baru muncul ketika ada tantangan besar pula. Ada juga yang mempersalahkan para penguasa politik yang kegiatannya membuat orang tidak sempat berpikir dengan tenang, melainkan hanya mengikuti irama gendang yang mereka (para penguasa itu) tabuh. Ada juga yang menyebut banyaknya jumlah pemeluk Islam. Jumlah yang besar membuat kreativitas menjadi tumpul, semangat untuk menemukan hal-ha baru menjadi lemah.
Pendapat-pendapat seperti itu yang tidak perlu disebutkan di sini semuanya mungkin menjawab sebagian dari persoalan, tapi tidak semuanya. Orang-kebanyakan memang tidak memerlukan—atau bahkan tidak dapat melakukan—pemikiran yang mendalam dan mencakup. Cukuplah bagi mereka kalau tahu “perintah” dan “larangan” serta “anjuran” agama yang sederhana dan siap dijalankan atau dihindari. Alasan yang rasional-filosofis yang komprehensif tidak mereka perlukan. Ya, itu betul, tapi bukankah dalam waktu yang cukup panjang—dari masa Ibn Rusyd (abad XII) sampai penyerbuan Napoleon ke Mesir (akhir abad XVIII) tidak muncul pemikiran mendalam dalam bidang filsafat Islam? Juga sejak terbentuknya fikih mazhab empat sampai masa moderen tidak muncul lagi pemikiran besar dalam bidang hukum Islam?.
Mungkin tantangannya tidak ada lagi, atau kecakapan berpikirnya tidak dibentuk lagi, mungkin karya masa lampau sudah memberikan cukup bekal untuk beragama di masa kini. Namun, tiba-tiba kita tersentak: kita berada di barisan paling belakang dalam kemajuan peradaban. Dulu Hejaz, Baghdad, Istanbul, Kordoba, Kairo, Rayy, Khwarizm, Delhi merupakan pusat-pusat peradaban dunia. Kini New York, Tokyo, Beijing, Moskow, Berlin, Paris, London. Sudah seabad lebih kaum Muslim tersentak dan terheran-heran, tapi kini yang terdengar malah ISIS, larangan Trump untuk masuknya warga tujuh negara Muslim, hiruk pikuk hoax terkait pilkada. Duh, masih jauhkah kegelapan ini?
*Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, tinggal di Yogyakarta