Tentang Kepandaian
Oleh: Agus Hariono*
Pandai merupakan dambaan setiap orang. Tak ada satupun orang yang belajar yang berharap tidak pandai. Semua orang melakukan kegiatan belajar dengan tujuan agar mereka bisa pandai. Berbagai macam cara orang melakukan belajar agar tujuannya ‘pandai’ itu tercapai. Sejak kecil mereka rela masa bermainnya diambil demi kegiatan belajar karena mendapat iming-iming agar menjadi orang pandai.
Sejak kecil memang orang di sekitar kita sering menjanjikan banyak hal apabila bisa menjadi orang pandai. Orang pertama yang berkata itu tentu adalah orang tua kita. Sehingga dengan iming-iming itu kita akhirnya nurut dengan apa yang dikatakan. Seolah istilah ‘pandai’ mampu menghipnotis kita sehingga kita mudah disuruh ini itu dan seterusnya. Tanpa kita berfikir panjang apa sebenarnya ‘pandai’ itu.
Tidak saja anak-anak, remaja dan dewasa pun masih menganggap kata pandai itu menjadi sebuah gelar yang layak untuk diperjuangkan. Kita bisa melihat siswa dari sekolah dasar hingga menengah atas, bahkan hingga diperguruan tinggi. Mereka masih menganggap tujuan dari mereka belajar adalah untuk pandai. Maka mereka pun akhirnya melakukan segala hal yang bisa memungkinkan dapat nilai standar untuk bisa dikatakan pandai.
Di sekolah pandai identik dikaitkan dengan nilai. Orang pandai bila mendapat nilai paling tinggi. Atau minimal nilai sekian maka sudah bisa dikatakan pandai. Atau memenuhi syarat-syarat tertentu untuk bisa disebut pandai. Iya, memang kebanyakan masih beranggapan demikian untuk mengukur kepandaain seorang. Padahal yang namanya pandai sendiri sungguh sangat luas.
Pandai menurut banyak orang masih diidentikan dengan pemaksimalan satu sisi kemampuan manusia saja. Misalnya jika kita menggunakan teori Taksanomi Bloom, bahwa tujuan pendidikan dibagi menjadi tiga domain yaitu kognitif, afektif dan motoric. Atau bisa dikatakan bahwa ada tiga ranah dalam diri manusia yang bisa dikembangkan yaitu kognitif, afektif dan motoric.
Jika kita menggunakan pembagian domain dalam diri manusia dengan teori Taksonomi Bloom, maka hampir kebanyakan terjebak mengatakan pandai pada orang yang sudah memenuhi satu domain saja yaitu kognitif. Padahal kogntif itu hanya berisi aspek yang cenderung menggunakan aspek intelektual saja, misalnya seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
Mengapa kebanyakan orang masih menilai pandai hanya dari aspek kognitif saja. Karena mereka masih berpola pikir lama mengukur kepandaian orang dengan angka-angka. Dan yang paling mudah diukur dengan angka-angka adalah domain kognitif. Sehingga tidak heran bila banyak orang pincang dalam memberikan pemahaman terhadap kepandaian orang.
Padahal di dalam diri manusia ada tiga domain yang harus dikembangkan secara seimbang antara kognitif, afektif dan motoric. Diri manusia tidak saja diasah dari aspek kognitif saja. Melainkan juga aspek afektif dan motorik. Pemahaman terhadap tiga domain yang harus dikembangkan ini juga tidaklah mudah. Butuh waktu yang lama agar setiap orang sadar bahwa dalam pendidikan tidaklah melulu satu aspek yang dikembangkan melainkan ada tiga.
Maka tidak heran, jika akibat pemahaman tersebut orang-orang akhirnya menjadi pincang. Aspek intelektualnya saja yang diasah tanpa diimbagi sikap dan perilakunya. Sehingga tidak heran bila sesudah dewasa mereka menjadi manusia yang rakus terhadap kepentingan dirinya sendiri. Tanpa memperdulikan orang lain. Karena rasa empati, kepedulian, kepekaan dan sifat sosial lainnya jarang atau bahkan tidak pernah diasah. Akibatnya banyak merajalela orang-orang yang hanya bisa memenuhi kualifikasi kognitif saja yang menduduki posisi-posisi strategis. Sehingga apa yang mereka lakukan tidak jauh-jauh dari kepentingan pribadinya.
Banyaknya perilaku menyimpang di sana-sini oleh karena kepandaian yang tidak seimbang. Perilaku menyimpang tidak saja dilakukan oleh anak-anak namun juga orang dewasa. Di segala lini banyak dipenuhi orang-orang yang menyimpang dari seharusnya. Hal ini sekali lagi dampak dari pemberian bekal pada diri yang tidak seimbang.
Memang menjadi orang pandai tidaklah cukup hanya puas dengan pandai pada satu aspek saja. Orang yang benar-benar pandai adalah orang yang bisa menyeimbangkan ketiga ranah itu secara seimbang. Bahkan kalau dalam agama tidak cukup hanya dengan tiga ranah tersebut. Tiga ranah ini adalah paling minimal yang harus dipenuhi oleh tiap manusia dalam mendidik dirinya.
Tidak ada kata terlambat untuk menyeimbangkan diri. Karena pada hakekatnya manusia bukanlah benda mati yang tidak bisa lagi berubah. Manusia masih bisa berubah untuk menjadi yang lebih baik. Tentu harus dengan kesadaran, kemauan dan kerja keras dari diri. Perubahan dalam diri manusia terlebih perilaku tidak cukup hanya mengandalkan pengaruh dari luar. Justru pengaruh yang kuat adalah dari dalam diri sendiri. Wallahu a’lam! []
*Penulis adalah guru di MI Muhammadiya Pare, tinggal di Kediri Jawa Timur