26.1 C
Jakarta

Pujian Sebelum Shalat, Bagaimana Hukumnya?

Artikel Trending

Asas-asas IslamAl-Qur’anPujian Sebelum Shalat, Bagaimana Hukumnya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Sebanyak lima waktu shalat, masjid-masjid di seantero negeri kita mengumandangkan adzan . Tidak lupa dilanjutkan dengan pembacaan puji-pujian. Bacaannya bisa berupa doa, dzikir, shalawat, syiir, senandung mauidzah, dan nasyid yang mengandung keindahan makna. Pujiaan sebelum shalat biasa diidentikkan dengan amaliyah kaum nahdiyyin. Bagi mereka, membaca pujian tersebut adalah bentuk dan tanda bukti kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW serta menjalankan amar maruf dan nahi mungkar.

Puji-puijan dibaca untuk menunggu para jamaah sudah berkumpul di masjid hingga iqamah akan dilakasanakan. Dengan begitu, para jamaah juga akan segera bergegas ke masjid sembari menunggu waktu iqamah. Pada beberapa masjid, bahkan di beri lampu LED yang menandakan berapa menit lagi iqamah akan dikumandangkan, tanda shalat berjamaah akan didirikan.

Akan tetapi, sebagai muslim sejati, hendaknya kita mengetahui bagaimana seluk beluk beserta hukum dari pembacaan puji-pujian setelah azan ini. Mengingat, di zaman Rasulullah belumlah ada tradisi ini. Sehingga tidak sedikit dari masyarakat kita yang masih menganggap hal tersebut adalah amalan bidah. Padahal, banyak manfaat yang akan didapat oleh jamaah shalat tersebut, baik bagi muazin, imam shalat dan makmum shalat.

Untuk lebih jelasnya, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi bernama Said bin Musayyab mengatakan seperti berikut:

عَنْ سَعِيْدِ ابْنِ المُسَيَّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثَابِتِ وَهُوَ يُنْضِدُ فِي المَسجِدِ فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أَنْشَدْتُ وَ فِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ إِلْتَفَتَ إِلَى أَبِيْ هُرَيْرَةِ فَقَالَ أَسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اَجِبْ عَنِّيْ اللَّهُمَّ اَيِّدْهُ بِرُوْحِ القُدُسِ قَالَ اللَّهُمَّ نَعَمْ (رواه أحمد و النسائي و أبو داود)

Artinya: Dari Said bin Musayyab, ia berkata “ Suatu saat ada Umar sedang berjalan bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang menyenandungkan nasyid di masjid. Lalu Umar menegurnya, ia pun berkata “Aku sedang menyanyikan nasyid di masjid yang di adalamnya ada orang yang lebih baik dan mulia daripada kamu”. Lalu ia menoleh kepada Abu Hurairah, dan Hassan melanjutkan dengan bertanya padanya, “Bukankah engkau telah mendengar sabda Rasulullah saw : Kabulkanlah ya Allah doaku ini, kuatkanlah dengan Ruhul Qudus”. Abu Hurairah menjawab “Benar ya Allah”.

BACA JUGA  Saat Ramadhan, Ini Waktu Utama untuk Membaca Al-Qur'an

(H.R Abu Dawud, al-NasaI, dan Ahmad)

Dan berdasarkan hadits diatas, ternyata Syaikh Ismail Utsman bin Zain memberikan pendapat bahwa hadits tersebut menjadi landasan diperbolehkannya membacakan puji-pujian sebelum shalat dilaksanakan di masjid. Hal tersebut ditegaskan di dalam buku Irsyadul Muminin yang berbunyi:

وَ مِمَّا يُسْتَأْنَسُ بِهِ فِيْ ذَلِكَ إِبَاحَةُ إِنْشَادِ الشِّعْرِ فِي المَسَاجِدِ إِذَا كَانَ مَدَائِحَ صَادِقَةً أَوْ مَوْعِطَةً وَ أَدَبًا أَوْ عُلُوْمًا نَافِعَةً لاَيَكُوْنُ إِلاَّ بِرَفْعِ صَوْتٍ فِي إِجْتِمَاعٍ

(إرشاد المؤمنين: 16)

Artinya : “Yang dapat diambil dari hadits tersebut ialah diperbolehkannya melantunkan syair di dalam masjid-masjid. Apabila syairnya mengandung puji-pujian yang baik, petuah-petuah, adab budi pekerti, atau uluman nafiah (bermanfaat), dan yang dilakukan dengan mengeraskan suara di masyarakat”

Dengan demikian, kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan oleh warga nahdhiyyin pada sejatinya adalah mubah, bahkan mendatangkan banyak manfaat. Diantaranya adalah untuk memberikan peringatan dan mauidzah kepada para jamaah sebelum melaksanakan shalat sembari menunggu waktu iqamah. Tentu sangat sesuai dengan perintah untuk saling mengingatkan yang digambarkan dalam al-Quran surat al-Dzariyat ayat 55 yang berbunyi:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِيْنَ

Artinya: “Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.”

الصَّلَاةُ بَعْدَ الأَذَانِ سًنَّةٌ للسَّامِعِ وَ المُؤَذِّنِ وَلَوْ بِرَفْعِ الصَّوْتِ, وَ عَلَيْهِ الشَّافِعِيَّةُ و الحَنَابِلَةُ وَ هِيَ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ

Artinya : “Membaca shalawat setelah adzan hukumnya Sunnah bagi orang yang mendengarnya dan bagi muadzin dan boleh dilakukan dengan mengeraskan suara. Pendapat ini didukung oleh ulama mazhab Syafiie dan Hanabilah, dan dianggap sebagai bidah hasanah.

Kesimpulannya ialah, pujian yang dilakukan oleh masyarakat kita pada padasarnya dibolehkan dan tidak melanggar syariat agama, bahkan sesuai dengan sunnah. Beberapa ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan bidah hasanah, sedangkan bidah hasanah itu tidak berarti tidak boleh. Selama puji-pujian yang dibacakan itu mengandung tujuan yang bagus (doa, shalawat, dzikir, syair, mauidzah) maka mubah hukumnya, bahkan sangat dianjurkan dengan tujuan untuk saling mengingatkan sesame kaum muslimin. Wallahu alam bishshawab.

 

Oleh Zakaria Adjie Pangestu

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru