30.8 C
Jakarta

Propaganda Khilafah; Mati dalam Politik, Tapi Hidup di Kampus Umum

Artikel Trending

Milenial IslamPropaganda Khilafah; Mati dalam Politik, Tapi Hidup di Kampus Umum
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam suatu forum, saya mendapati seseorang yang konsen dalam kontra-propaganda, bertanya, kepada salah seorang temannya, “Bagaimana kabar Gema Pembebasan di UGM?”. Pada kesempatan yang lain, terdengar wacana, dari para aktor kontra-narasi, untuk mengislamkan kembali UI. Apakah UGM jadi sarang narasi khilafah? Apakah UI belum berislam dengan benar? Pertanyaan-pertanyaan ini ternyata memiliki kesamaan esensial: propaganda khilafah di kampus.

Seorang rekan yang kuliah di UGM pernah, juga, bercerita ke saya, bahwa di kampusnya, Islamisme bergerilya. Posisi strategis senantiasa menjadi ajang rebutan kelompok sebelah, dan melalui cara tersebut, mereka menguasai medan indoktrinasi. Gema Pembebasan, misalnya, yang sempat jadi polemik beberapa waktu lalu. Atau Tarbiyah, misalnya, yang gerilya politiknya lebih masif. Jika itu berkelanjutan, tentu bahaya sekali. Itu panggung bagi mereka.

Padahal, secara politik, Juli mendatang, HTI sudah genap enam tahun mati. Mestinya tidak ada lagi kekhawatiran karena, harusnya, propaganda khilafah juga tidak lagi berjalan. Kenyataannya tidak demikian. Yang namanya propaganda tetap menemukan celah, melanggengkan eksistensi narasi khilafah atau keinginan mengganti pemerintah. Sementara itu di tataran birokratis, narasi moderasi beragama hanya berkiprah di PTKIN, belum ke PTUN.

Ini kemudian menjadi tantangan bagi dakwah moderasi beragama. Agar, dalam praktiknya, narasi moderat tidak sekadar menjadi proyek Kemenag belaka, sementara Kemendikbud hanya sibuk dengan birokrasi sistem pendidikan. Sampai kapan pun propaganda khilafah tidak akan berhenti selama peluang ke arah indoktrinasi masih lebar. Politik hanya satu bidang strategis, sementara pendidikan adalah strategi lainnya. Semua lini harus steril dari propaganda khilafah.

Haruskah Takut Propaganda Khilafah?

Tantangan dalam mengonter propaganda khilafah, sebetulnya, sering kali datang dari orang sekitar kita sendiri. Sebagai sebuah misi yang abstrak, propaganda tidak jarang disikapi secara apatis—rasa abai dan tidak percaya. Ketika saya berbicara mengenai topik tersebut, sebagian orang mencibirnya sebagai pengalihan isu. Ketika menjadi jelas bahwa gerakan radikalisme di kampus itu riil, berkedok kajian, diskusi, seminar, dll, baru yang menjadi persoalan ialah masih haruskah kita mengkhawatirkannya.

Sebabnya, setelah pembubaran satu per satu ormas berbahaya, tuduhan justru menyasar pemerintah sebagai pihak anti-Islam. HTI dan FPI yang banyak menjadi patron eksklusivisme di Indonesia, ikut meramaikan narasi tersebut. Sampai-sampai dalam perkembangannya, kontra-propaganda dan kontra-narasi menjelma sebagai sesuatu yang menakutkan, pengalih isu pemerintahan, pemaksaan stigmatis, dan anggapan lainnya yang semakin menumbuhsuburkan propaganda itu sendiri.

Padahal, polarisasi kelompok radikal merupakan suatu fakta yang mengemuka. Artinya, bahkan sekalipun tidak lagi terdengar lagi narasi khilafah Islamiyah palsu dan jargon kembali ke Al-Qur’an dan sunah, cita-cita kemajuan Islam cukup kentara yang sadisnya justru dengan cara memojokkan pemerintah yang tengah berkuasa sebagai orang zalim. Mereka menyatukan kekuatan untuk beraksi suatu waktu, sehingga ketakutan kita adalah manusiawi karenanya.

BACA JUGA  Khilafah Bukan Sistem Terbaik dan Bukan Solusi

Pemerintah hari ini adalah susunan kabinet terkuat. Lantas, apakah ancaman kebangsaan menjadi sedikit sehingga tidak lagi propaganda khilafah menjadi sesuatu yang tidak lagi perlu ditakutkan? Salah. Justru setelah kalah politik, dedengkot khilafahers akan menyasar pendidikan. Mereka tidak butuh kursi kabinet, namun ingin mendongkraknya. Intinya, yang penting pemerintah jadi semrawut.

Pendidikan di kampus keagamaan katakanlah sudah aman. Tetapi, pendidikan di kampus umum justru berada di tengah pusaran. Tidak ada pengaruhnya mati secara politik jika propaganda tersebut berkeliaran bebas di kampus-kampus. Di situlah semua pihak menemukan momentum untuk bersama memberantas segala rupa radikalisasi di kampus. Kita terlibat, Kemenag juga demikian dan Kemendikbud. Moderasi Islam harus menggema di seluruh kampus umum di Indonesia.

Tantangan Moderasi di Kampus Umum

The Wahid Institute sudah sejak lama memiliki misi Globalisasi Islam Lokal Indonesia (Globalizing Indonesian Local Islam), dengan mempersepsikan toleransi, sikap dialogis dan inklusif sebagai ciri khas Indonesia (Budhy Munawar Rachman, 2011: 216). Misi tersebut setali tiga uang dengan moderasi beragama dari Kemenag, Islam Nusantara dari Nahdlatul Ulama, atau Islam Berkemajuan dari Muhammadiyah. Saya pikir, di instansi atau komunitas keislaman, moderasi sudah masif.

PTKIN hari-hari ini punya komunitas bernama Rumah Moderasi Beragama (RMB). Masalahnya, yang menjadi target mereka masih lingkup internal keagamaan itu sendiri. Dengan kata lain, narasi moderasi beragama berputar di pihak-pihak yang sebenarnya tidak lagi butuh dimoderatkan, karena mereka sudah moderat. Sementara itu, kampus umum tetap kering dengan iklim moderasi. Mereka yang haus agama kemudian menjadi korban indoktrinasi. Siapa yang patut disalahkan?

Tantangan moderasi di kampus umum menemukan momentumnya melalui fakta tersebut. Harapannya, Kemenag bermitra dengan Kemendikbud secara riil, masif, dan berjangka panjang. Dengan demikian, moderasi tidak sekadar berputar-putar di kampus keislaman semata dan mengabaikan kampus umum. Moderasi tidak juga menjadi organisasi birokratis yang hanya konsen mengadakan seminar kemoderasian. Kampus umum butuh lebih dari itu, agar propaganda khilafah riil terhenti.

Ini, semua persoalan tadi, kembali kepada penggiat moderasi beragama sendiri. Kampus umum merupakan korban, dalam arti menjadi sasaran empuk para aktor propaganda khilafah atau Islamisme secara umum. Kita tidak bisa menyalahkan UI, UGM dan PTUN lainnya, sementara pada saat yang sama, moderasi beragama berkeliling hanya di kampus keislaman saja. Kita sudah menang secara politik melawan mereka. Tinggal satu langkah lagi, yakni kampus umum. Itulah tantangan kita.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru