Harakatuna.com. Aceh – Lima terduga teroris yang ditangkap di Aceh dua pekan lalu, kini resmi ditetapkan sebagai tersangka. Mereka positif terlibat kasus tindak pidana teroris, sehingga statusnya ditingkatkan Detesemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri dari terduga menjadi tersangka. Berdasarkan kasus ini Densus 88 menilai potensi terorisme di Aceh masih tinggi.
Hal itu disampaikan Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Winardy, saat dikonfirmasi Serambi, Sabtu (6/2/2021). “Kelima mereka (terduga teroris) kini sudah jadi tersangka,” ujarnya. Pihaknya meminta masyarakat agar terus waspada dengan potensi terorisme di Aceh yang terus meningkat.
Saat ini, menurutnya, kelima tersangka masih ditahan di Mapolda Aceh dan dipastikan nanti akan diboyong ke Mabes Polri untuk diproses hukum. Polda Aceh hingga kini masih menunggu arahan dari Mabes Polri kapan mereka dibawa ke Jakarta.
“Proses hukumnya tetap di Jakarta, tapi sampai saat ini mereka masih di Aceh. Kita masih menunggu informasi dari Mabes Polri kapan mereka digeser dari Aceh. Kemarin kan yang Makassar ada yang dibawa ke Jakarta, yang Aceh tinggal kita tunggu koordinasi,” kata Winardy.
Ia menyebutkan, Tim Densus 88 sudah merampungkan pemeriksaan awal terhadap lima terduga teroris tersebut. “Pemeriksaan awal sudah, sambil menyiapkan berkas-berkas,” katanya.
Ditanya apakah kemungkinan ada tersangka lain dalam kasus tersebut, Kabid Humas Polda Aceh mengatakan, “Ya, sementara sih belum ada.”
Serambi juga menanyakan apakah lima terduga teroris yang dibekuk di Aceh tersebut ada kaitannys dengan terduga teroris di provinsi lain. “Wah, kalau itu saya tidak bisa menjawabnya,” tutup Kombes Pol Winardy.
Nah, kasus ini bukanlah perkara sederhana, karena menyangkut teroris. Dengan ditetapkannya mereka sebagai tersangka teroris, berarti potensi terorisme masih tinggi di Aceh. Eksistensi mereka masih ada. Belum berakhir dengan digerebeknya puluhan terduga teroris yang berlatih menggunakan senjata tajam di pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar pada 2010 lalu.
Meski saat itu, dari 53 orang mereka banyak yang tertangkap dan tewas tertembak, selebihnya ngacir ke luar Aceh, eh, ternyata sepuluh tahun kemudian muncul lagi sosok teroris di Aceh. Orangnya tentu saja berbeda dan justru hal inilah yang bikin kita patut cemas. Sebab, kaderisasi teroris di Aceh diam-diam ternyata masih berlangsung.
Bisa saja kemungkinan mereka dikaderkan atau dibaiat di luar Aceh, tetapi toh mereka menjadikan Aceh sebagai basis pergerakannya. Di sini pula mereka menyusun target untuk meneror pejabat-pejabat di lembaga vertikal dan tak terkecuali Pemerintah Aceh.
Potensi terorisme di Aceh ini dibuktikan dengan pengakuan para teroris itu tentang target juga tak boleh dianggap enteng. Bisa saja, seperti di tempat lain, suatu saat mereka benar-benar mewujudkan apa yang sudah mereka targetkan.
Satu orang saja teroris di lingkungan kita sudah sangat patut dikhawatirkan, apalagi jika dua, tiga, bahkan lima orang. Dan mereka ada di Aceh, bukan di tempat lain. Salah satu di antaranya malah berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN), memiliki jabatan yang strategis pula, yakni sebagai Bendahara Majelis Adat Aceh (MAA).
Seperti diberitakan sebelumnya, pada 20-21 Januari lalu, Densus 88 Antiteror menciduk lima orang pria pada beberapa lokasi terpisah di kabupaten/kota berbeda di Aceh. Berdasarkan hasil pemeriksaan awal, terduga teroris tersebut ternyata punya rencana untuk melakukan aksi di Aceh.
Akar terorisme adalah radikalisme. Upaya untuk mengempangnya adalah melalui upaya deradikalisasi. Kita tahu, selama ini deradikalisasi inilah yang diupayakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Aceh bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme
(FKPT) di Aceh. Di provinsi ini bahkan sudah dibentuk Yayasan Jalin Perdamaian yang tujuannya untuk mengempang paham radikalisme dan menyadarkan mantan teroris yang sudah menjalani hukuman untuk tidak lagi berpikir dan tertarik menjadi teroris. Tapi faktanya, semua upaya ini pantas kita anggap gagal jika teroris baru terus muncul dan muncul di Aceh. Jadi, sudah seharusnya dilakukan evaluasi yang mendasar untuk mengetahui mengapa di daerah bekas konflik seperti Aceh figur-figur teroris bermunculan. Jika penyebabnya sudah diketahui, maka terapkanlah solusi yang relevan dan jitu untuk membendung dan mengatasinya. Kita ingin, Aceh sebagai satu-satunya provinsi bersyariat Islam di Indonesia terbebas total dari paham-paham radikalisme, apalagi terorisme, mengingat Islam itu agama yang damai dan antikekerasan.